clicksor

Clicksor

bisnis paling gratis

Tuesday, April 26, 2011

Analisis Perbedaan antara Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004

Download Disini : http://www.ziddu.com/download/14749233/PerbandingandananalisisUndang.docx.html

Analisis :
Bahwa pada Pasal 2 huruf (f) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 segala Keputusan Tata Usaha Negara, terdapat klausa untuk segala tata usaha Angkatan Bersenjata Republik Indonesia tidak dapat menjadi kompetensi Peradilan TUN berubah menjadi segala Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia tidak dapat menjadi kompetensi Peradilan TUN pada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004. Hal ini disebabkan adanya perkembangan Nama dari Setelah bergulirnya reformasi 1998, maka sesuai keputusan pimpinan ABRI yang memutuskan mulai 1 April 1999 adanya pemisahan POLRI dari ABRI dan ABRI menjadi TNI.
Sedangkan pada Pasal 2 huruf (g) bahwa PTUN tidak memiliki kompetensi terhadap segala keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum. Panitia Pemilihan Umum ini berdasarkan Pasal 1 Angka 4 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1985 tentang PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1969 TENTANG PEMILIHAN UMUM ANGGOTA-ANGGOTA BADAN PERMUSYAWAARATAN/PERWAKILAN RAKYAT SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1975 DAN UNDANG-UNDANGNOMOR 2 TAHUN 1980 menyebutkan bahwa, Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemflihan Umum Pusat, Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilihan Umum Daerah Tingkat I, Panitia Peng-awas Pelaksanaan Pemilihan Umum Daerah Tingkat II, dan Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilihan Umum Kecamatan masing-masing berturut-turut sesuai dengan tingkatannya terdiri dari seorang Ketua merangkap Anggota yang dijabat oleh pejabat Pemerintah dan 5 (lima) orang Wakil Ketua merangkap anggota serta beberapa orang Anggota yang diambilkan dari unsur Pemerintah, Golongan Karya, Partai Demokrasi Indonesia, Partai Persatuan Pembangunan, dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Maka dapat disimpulkan berdasarkan undang-undang diatas pada tahun 1995, yakni setahun setelah UUPTUN dicatat dalam lembaran Negara yang dikenal adalah panitia-panitia pemilihan umum.
Panitia Pemilu yang sekarang dikenal sebagai Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang ada sekarang merupakan KPU ketiga yang dibentuk setelah Pemilu demokratis sejak reformasi 1998. KPU pertama (1999-2001) dibentuk dengan Keppres No 16 Tahun 1999 yang berisikan 53 orang anggota yang berasal dari unsur pemerintah dan Partai Politik dan dilantik oleh Presiden BJ Habibie. KPU kedua (2001-2007) dibentuk dengan Keppres No 10 Tahun 2001 yang berisikan 11 orang anggota yang berasal dari unsur akademis dan LSM dan dilantik oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada tanggal 11 April 2001.
Dalam praktek dan dalam pandangan beberapa pakar ahli bahwa Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum memang tidak menjadi wewenang dari PTUN karena untuk segala perselisihan hasil pemilu menjadi wewenang dari Mahkamah Konstitusi berdasarkan pada Perubahan UUD 1945 yang juga melahirkan sebuah lembaga negara baru di bidang kekuasaan kehakiman, yaitu Mahkamah Konstitusi dengan wewenang sebagai berikut:
• menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar;
• memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar;
• memutus pembubaran partai politik;
• memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Analisis :
Bahwa pada Pasal 2 huruf (f) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 segala Keputusan Tata Usaha Negara, PTUN sebagai pelaksana sedangkan pada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, PTUN sebagai pelaku. Pada bagian penjelasan pasal ini pad undang-undang yang baru tidak ada perbahan. Perbaikan pada pasal ini sebenarnya hanya ingin menyesuaikan dengan konstitusi sebagai nyawa bagi setiap undang-undang. Sementara itu, UUD 1945 menentukan, MA dan badan peradilan di bawahnya adalah pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka, selain Mahkamah Konstitusi, dalam menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Selain itu, MA berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU, dan kewenangan lain yang diberikan UU. Dapat disimpulkan bahwa setiap peradilan dibawah ruang lingkup MA adalah pelaku dan bukanlah pelasana kekuasaan kehakiman.
Analisis :
Bahwa pada pasal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tidak ada perbedaan mencolok dan hanya menganti kotamadya yang sekarang berubah namanya menjadi kota yang mulai diperkenalkan pada Undang-undang Otonomi Daerah. Namun secara konsep bahwa PTUN berada pada setiap kotamadya dan kabupaten maka diperlukan biaya yang sangay besar atas pengadaan fasilitas PTUN pada setiap kabupaten dan kotamadya. Sedangkan pada prakteknya perkara PTUN yang masuk setiap tahunnya hanya berkisar antara 3 hingga 10 kasus per tahun, da sangat berbeada dengan PN yang bisa menyelesaikan sekitar 30 hingga 200 perkara per tahun. Dalam hal ini terlihat sangat tidak efisien untuk membentuk PTUN pada setiap kabupaten atau kota.
Bahwa pada ayat (2) pasal yang sama menyebutkan kata propinsi menjadi provinsi. Analisis terhadap pasal ini bukanlah analsis yang menekankan hukum, karena pada ayat (2) ini hanyalah bertujuan untuk memperbaiki undang-undag secara gramatikal mengikuti suatu panduan gramatikal mengnai kebakuan suatu kata sebagaimana diatur dalam Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (selanjutnya disingkat PUEBI), yakni dengan menggunakan provinsi dan bukanlah propinsi. Hal ini juga sesuai dengan propinsi dan provinsi dalam KBBI, tetapi yang baku adalah provinsi. Alasannya, kata tersebut berasal dari province (Inggris). Selain itu dalam KBBI kata provinsi-lah yang mendapat penjelasan tentang makna kata. Kata province ini, menurut Webster’s New World Dictionary adalah: 1) any of the outside territories controlled dan ruled by ancient Rome; 2) an administrative divission of a country; specif., any of the ten main administrative divission of Canada; 3) a territorial district; territory. Demikian antara lain beberapa makna dari kata province.
Analisis :
Bahwa pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 wewenang dari Mahkamah Agung terbatas mengenai pembinaan teknis peradilan, sedangkan pembinaan organisasi serta keuangan yang berada ditangan Departemen Kehakiman. Dalam hal ini pada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 mengatur secara tegas bahwa Mahakmah Agung memiliki kewenangan untuk melakukan pembinaan teknis peradilan, organisasi, administrasi, dan finansial Pengadilan.
Perubahana ini berangkat dari Kebijakan atap tunggal atau one roof system adalah persoalan independensi kekuasaan kehakiman (yudikatif). Berangkat dari ajaran pemisahaan kekuasaan Montesquieu bahwa setiap percampuran (di satu tangan) antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif (semua atau dua di antara tiga), niscaya akan melahirkan kekuasaan yang sewenang-wenang. UUD 1945 menentukan, MA dan badan peradilan di bawahnya adalah pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka, selain Mahkamah Konstitusi, dalam menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Selain itu, MA berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU, dan kewenangan lain yang diberikan UU. Kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah satu pilar untuk memulihkan demokrasi dan negara berdasar hukum. Secara konseptual, hal tersebut akan tercapai dengan melepaskan keikutsertaan pemerintah mengelola unsur-unsur keorganisasian, administrasi, dan finansial kekuasaan kehakiman.
Didahului Tap MPR X/1998 yang menetapkan kekuasaan kehakiman bebas dan terpisah dari kekuasaan eksekutif, kebijakan satu atap kemudian diatur dan dijabarkan dalam UU Nomor 35/1999 tentang Perubahan UU Nomor 14/1970, dan telah dicabut serta dinyatakan tidak berlaku oleh UU Nomor 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Adapun tentang MA diatur dalam UU Nomor 5/2004 tentang Perubahan atas UU Nomor 14/1985. Selanjutnya, Keppres Nomor 21/2004 tentang Pelaksanaan Pengalihan Urusan Organisasi, Administrasi, dan Finansial Lembaga Peradilan dari Depkeh ke MA.
UU Nomor 4/2004 menentukan, untuk lingkungan peradilan umum dan peradilan tata usaha negara, peralihan sudah selesai paling lambat 31 Maret 2004. Untuk peradilan agama, dan peradilan militer, peralihan harus selesai paling lambat 30 Juni 2004. Dengan UU Nomor 5/2004, struktur MA mengalami perubahan, ada dua wakil ketua dari sebelumnya yang hanya satu. Jabatan panitera dan sekretaris MA dipisahkan. Pada sekretariat MA dibentuk beberapa direktorat jenderal dan kepala badan. Diharapkan, struktur baru ini bisa memikul beban yang dialihkan.
Putaran pertama peradilan mandiri telah dilalui dengan keterpilihan dua wakil ketua MA, yakni Mariana Sutadi dan Syamsuhadi, lewat pemungutan suara yang dilakukan para hakim agung. Wakil ketua bidang yudisial membawahi ketua muda perdata, ketua muda pidana, ketua muda agama, ketua muda mili-ter, dan ketua muda tata usaha negara akan menangani urusan administratif yang terkait dengan teknis peradilan seperti pembagian perkara. Soal administrasi umum termasuk pengawasan, promosi, dan mutasi hakim, diserahkan kepada wakil ketua nonyudisial yang membawahi ketua muda pembinaan dan ketua muda pengawasan.
Mandirinya hakim dalam arti mengurus administrasi, keuangan, pembangunan gedung sendiri, menurut pendapat penulis merupakan dilemma. Jika Departemen Kehakiman mengurus pengangkatan, kenaikan pangkat dan pemindahan hakim, jelas dapat mempengaruhi independensi hakim, karena hakim akan memperhatikan "isyarat tak tampak" menteri (eksekutif) dalam pengambilan keputusan.Sebaliknya jika hakim mengurus keuangannya, pembangunan gedungnya pembelian peralatannya sendiri berarti bahwa dia masuk ke dalam wilayah eksekutif. Dia harus mempertanggung jawabkan kepada BAPPENAS, BPK dan DPR.
Analisis :
Bahwa pasal sisispan ini pada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 adalah tidak lain dan tidak bukan adalah dengan adanya ketentuan yang menyebutkan bahwa kedudukan dan peranan Mahkamah Agung adalah pengadilan Tertinggi dari semua lingkungan Peradilan dan prinsip yang dianut bahwa peradilan adalah peradilan sederhana, cepat, tepat, adil dan biaya ringan merupakan upaya dalam mewujudkan system peradilan yang lebih efektif dan efisien dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman di negara hukum Republik Indonesia.
Sedangkan sesuai Pasal 9A Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2000 tengang amandemen Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara di jelaskan bahwa: Dilingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dapat diadakan pengkhususan yang diatur dengan Undang-Undang. Kemudian dalam penjelasannya dikatakan bahwa : “Yang dimaksud dengan “Pengkhususan” adalah deferensiasi atau spesialisasi di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, misalnya Pengadilan Pajak”. Atas kuasa tersebut eksistensi Pengadilan Pajak sebagamana diatur Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang pengadilan pajak tetap diterima keberadaannya dalam system Peradilan di Indonesia. Lembaga Peradilan Pajak merupakan lembaga peradilan karena memenuhi persyaratan sebagamana dikemukakan oleh Sjahran Basah yaitu : “Peradilan adalah segala sesuatu yang bertalian dengan tugas memutus perkara dengan menerapkan hukum, menentukan hukum, “in concreto”
Karena sebelum kemerdekaannya dijajah oleh Belanda, dari ciri negara hukum yang dianut adalah mengikuti tipe Negara hukum berdasarkan Rechts Sovereiniteit dengan mengadopsi ciri-ciri dari tipe Negara Hukum Anglo Saxon disana sini, berkenaan dengan pengaruh globalisasi dan reformasi. Untuk jelasnya berikut ini dikemukakan pendapat dari Rocmat Soemitro dan Sjahran Basah (Sjahran Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia 1997), Unsur-unsur pradilan pada umumnya :
Rochmat Soemitro Sjachran Basah
• Adanya suatu aturan hukum yang abstrak yang mengikat umum, yang dapat diterapkan pada suatu persoalan,
• Adanya suatu perselisihan hukum yang konkrit,
• Ada sekurang-kurangnya dua pihak.
• Adanya suatu aparatur peradilan, yang berwenang memutuskan perselisihan. a. Adanya aturan hukum yang dapat diterapkan pada suatu persoalan,
• Adanya suatu sengketa hukum yang konkrit,
• Adanya sekurang-kurangnya dua pihak,
• Adanya badan peradilan yang berwenang memutuskan sengketa,
• Adanya hukum formal dalam rangka menerapkan hukum (Rechtstoe passing) dan menemukan hukum (Rechtsvinding) in concreto untuk menjamin ditaatinya hukum materiil diatas.
Dari penjelasan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa : Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Rechts Sovereiniteit dengan mengadopsi ciri-ciri dari tipe negara hukum Auglo Saxon, karena pengaruh globalisasi dan reformasi.
• Pengadilan Pajak adalah badan peradilan karena memenuhi ciri-ciri peradilan pada umumnya, dan sesuai dengan Pasal 9 A, Undang-undang Nommor 9 Tahun 2004, tentang Amandemen Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara dan penjelasannya.
Analisis :
Bahwa pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 hanya menyebutkan adanya kata hakim sedangkan pada pasal 12 yang sama yakni pada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 adalah Hakim Pengadilan. Bahwa secara kasat mata memang seolah tidak ada perbedaan antara hakim dan hakim pengadilan. Hal ini seolah hanya penambahan keterangan bahwa hakim disini dimaksudkan adala Hakim dalam pengadilan Tata Usaha Negara baik di tinggat pertama maupun di tingkat banding yakni di PTTUN.
Analisis :
Bahwa pada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 yang menghilangkan unsure hakim sebagai pegawai negeri bukan berarti semenjak disahkannnya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 maka hakim PTUN bukan lagi adalah pegawai negeri. Sedangkan untuk kewenangan Mahkamah Agung yang tadinya berada dibahwa Mentri Kehakiman sama dengan pembahasan teori satu atap yang pernah dikemukakan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004.
Analisis :
Bahwa Hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, adalah salah satu unsur penting dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum (rechtsstaat). Hanya pengadilan yang memenuhi kriteria mandiri (independen), netral (tidak berpihak), dan kompeten yang dapat menjamin pemenuhan hak asasi manusia. Oleh karena itu, posisi hakim sebagai aktor utama lembaga peradilan menjadi amat vital, terlebih lagi mengingat segala kewenangan yang dimilikinya. Melalui putusannya, hakim dapat mengubah, mengalihkan, atau bahkan mencabut hak dan kebebasan warga negara, dan semua itu dilakukan dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan. Besarnya kewenangan dan tingginya tanggung jawab hakim ditunjukkan melalui putusan pengadilan yang selalu diucapkan dengan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hal ini menegaskan bahwa kewajiban menegakkan keadilan tidak hanya dipertanggungjawabkan kepada sesama manusia, tetapi juga kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Sehingga dalam menerima seorang Hakim maka undang-undang haruslah menentukan secara tegas mengenai syarat demi syarat yang harus diperhatikan pada saat penyeleksiannya. Tetapi yang menarik bahwa sebelum menjadi Hakim PTUN, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 memperkenalkan calon hakim (Cakim PTUN) yang berbeda dengan makna calon hakim pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986. Perbedaannya calon hakim pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 adalah bukan sebuah jabatan hanya merupakan orang yang ingin memenuhi prasarat yang ditentukan. Namun dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 mengisyaratkan Calon Hakim adalah jabatan Cakim sebelum menjadi Hakim PTUN. Hal ini dibuktikan dalam pasal ( 2) yakni untuk dapat diangkat menjadi Hakim, harus pegawai negeri yang berasal dari calon hakim, berarti Calon Hakim adalah jabatan karena ia sudah dianggap sebagai pegawai negeri.
Analisis :
Bahwa tidak jauh berbeda bahwa hakim pada PTUN maupun hakim pada PTTUN menurut para pakar Ketatanegaraan masih dapat dikatakan hakim. Selanjutnya, hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, adalah salah satu unsur penting dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum (rechtsstaat). Hanya pengadilan yang memenuhi kriteria mandiri (independen), netral (tidak berpihak), dan kompeten yang dapat menjamin pemenuhan hak asasi manusia. Oleh karena itu, posisi hakim sebagai aktor utama lembaga peradilan menjadi amat vital, terlebih lagi mengingat segala kewenangan yang dimilikinya. Melalui putusannya, hakim dapat mengubah, mengalihkan, atau bahkan mencabut hak dan kebebasan warga negara, dan semua itu dilakukan dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan. Besarnya kewenangan dan tingginya tanggung jawab hakim ditunjukkan melalui putusan pengadilan yang selalu diucapkan dengan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hal ini menegaskan bahwa kewajiban menegakkan keadilan tidak hanya dipertanggungjawabkan kepada sesama manusia, tetapi juga kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Bahwa pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tidak ada persoalan mendasar atas perubahan pada pasal 15 ini. Perbedaannya hanya berkisar pada pengalaman yang harus dibutuhkan untuk menjadi hakim PTTUN.
Analisis :
• Perubahan mengenai pengangkatan hakim dan diberhentikannya hakim seperti yang dijelaskan pada Pasal 16 ayat (1) UU No.5 tahun 1986 pada awalnya mengacu pada adanya Kekuasaan eksekutif, misalnya Kekuasaan Kehakiman yang dibantu oleh menteri-menteri yang biasanya memiliki suatu depertemen tertentu, yang dalam hal ini Menteri Kehakiman. Namun dikarenakan adanya berbagai pertimbangan mengenai pengangkatan dan diberhentikannya hakim, maka Lembaga-lembaga negara harus membentuk suatu kesatuan proses yang satu sama lain saling berhubungan dalam rangka penyelengaraan fungsi negara meskipun dalam praktiknya tipe lembaga-lembaga negara yang diadopsi setiap negara bisa berbeda, secara konsep, lembaga-lembaga tersebut harus bekerja dan memiliki relasi sedemikian rupa sehingga membentuk suatu kesatuan untuk merealisasikan secara praktis fungsi negara dan ideologis mewujudkan tujuan negara jangka panjang. Sehingga dengan adanya UU 4 tahun 2004, maka mengenai pengangkatan dan diberhentikannya hakim dialihkan dari Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Ke Mahkamanh Agung, oleh karena itu Hakim Pengadilan diangkat dan diberhntikan oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung sebagaimana yang dijelaskan pada Pasl 16 ayat (1) UU no.9 tahun 2004
• Hal pengaturan pada Pasal (1) diberlakukan juga pada ayat (2), sehingga Kekuasaan Kehakiman dianggap sebagai peraturan pelaksanaan yang sesuai dengan perkembangan saat ini.
Analisis :
• Perubahan dalam Pasal ini hanya terdapat pada disebutkannya sumpah atau janji Pada Ayat (1) UU no. 5 tahun 1986, sedangkan Pada Pasal 17 ayat (1) hanya menjelaskan tentang kewajiban Hakim untuk mengucapkan janji atau sempah sebelum memangku jabatannya sebagai Hakim. Mengenai substansi isi dari sumpah atau janji, pembedaannya dijelaskan pada Pasal 17 ayat (2) UU No.9 tahun 2004, sedangkan pada Pasal 17 ayat (1) UU No.5 tahun 1986 isi sumpah atau janji tidak dibedakan.
Analisis :
• Mengenai perubahan kata Penasihat hukum menjadi advokat, hal tersebut dikarenakan pada saat diberlakukannya UU No.5 tahun 1986, di Indonesia belum dikenalnya UU tentang advokat sehingga yang digunakan yaitu dengan istilah penasihat hukum. Namun dengan seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, maka pada tahun 2003 muncul undang-undang mengenai advokat, sehingga pada saat rumusan UU no.9 tahun 2004 dibahas, maka istilah penasihat hukum ini diganti menjadi advokat.
Analisis :
• Pada pasal ini ada sedikit perubahan yaitu mengenai istilah “Hakim” menjadi “Hakim Pengadilan”. Awalnya istilah Hakim berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi mempunyai arti yaitu hakim yang berada dibawah kekuasaan Mahkamah Agung. Namun dengan adanya pendapat para ahli hukum maka pengertian Hakim diubah menjadi Hakim Pengadilan yang artinya hakim tersebut hanya hakim yang ada di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, tidak termasuk hakim agung.
Analisis :
• Perubahan pertama yaitu mengenai perubahan kata “Hakim” menjadi “Hakim Pengadilan”, hal ini sama dengan pasal 19 UU no. 5 tahun 1986 jo. UU No.9 tahun 2004.
• Perubahan kedua yaitu penetapan terhadap pembentukan, susunan, dan tata keda Majelis Kehormatan Hakim serta tata cara pembelaan diri. Hal ini dikarenakan mulai diberlakukannya implikasi peradilan satu atap di Mahkamah Agung. Kebijakan atap tunggal atau one roof system adalah persoalan independensi kekuasaan kehakiman (yudikatif). UUD 1945 menentukan, MA dan badan peradilan di bawahnya adalah pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka, selain Mahkamah Konstitusi, dalam menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan. Selain itu, MA berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU, dan kewenangan lain yang diberikan UU. Kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah satu pilar untuk memulihkan demokrasi dan negara berdasar hukum. Secara konseptual, hal tersebut akan tercapai dengan melepaskan keikutsertaan pemerintah mengelola unsur-unsur keorganisasian, administrasi, dan finansial kekuasaan kehakiman. Satu atap menimbulkan pula konsekuensi cakupan pertanggungjawaban kekuasaan kehakiman. Kini, kekuasaan kehakiman tidak hanya bertanggung jawab dalam menjalankan kekuasaan atau fungsi yudisial, tetapi juga kekuasaan atau fungsi adminsitrasi negara seperti mengangkat dan memberhentikan pegawai, mengelola keuangan dan sebagainya. Oleh karena itu, ketentuan tersebut dapat diatur oleh Ketua Mahkamah Agung.
Analisis :
• Pada pasal ini tidak dilakukan perubahan dikarenakan ketentuan pasal ini masih mempunyai hubungan yang komphrensif dengan keadaan saat ini.
Analisis :
• Pada perubahan ayat (1) disebabkan pada adanya Kekuasaan eksekutif, misalnya Kekuasaan Kehakiman yang dibantu oleh menteri-menteri yang biasanya memiliki suatu depertemen tertentu, yang dalam hal ini Menteri Kehakiman, hal ini berhubungan dengan peradilan satu atap terhadap Mahkamah Agung. Satu atap menimbulkan pula konsekuensi cakupan pertanggungjawaban kekuasaan kehakiman. MA dan badan peradilan di bawahnya adalah pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka, selain Mahkamah Konstitusi, dalam menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan.
• Pasal 22 UU No.5 tahun 1986 hanya memuat 2 ayat saja, sedangkan pada UU no.9 tahun 2004 memuat 3 ayat yang menjelaskan bahwa pemberhentian sementara hakim berlaku paling lama 6 bulan. Hal tersebut dikarenakan karena untuk menjamin kepastian hukum mengenai jangka waktu pemberhentian sementara.
Analisis :
• Alasan mengenai mengapa pada UU No.9 tahun 2004 tidak dijelaskan tentang keberadaan Pasal 23 karena pemberhentian sementara tidak diberlakukan lagi, sebab apabila hakim tersebut melakukan kesalahan, maka ia harus diberhentikan dari jabatannya sebagai pegawai negeri (hakim), dan tidak diberhentikan sementara.
Analisis :
• Tidak diberlakukannya lagi pasal 24 di UU no.9 tahun 2004 dikarenakan tata cara pemberhentian sementara baik secara hormat maupun tidak hormat , secara tegas tidak diberlakukan lagi. Saat ini pemberhentian yang berlaku yaitu pemberhentian secara total.
Analisis :
• Tidak diberlakukannya lagi pasal 25 ayat (1) UU no.9 tahun 2004 dikarenakan kedudukan protokol hakim tidak lagi diatur lagi dengan keputusan presiden, karena dianggap tidak lagi berkesinambungan dengan undang-undang yang berlaku. Begitu juga dengan ayat (2) UU No.5 tahun 1986.
Analisis :
• Perubahan pasal ini tentang pengaturan mengenai penangkapan tanpa perintah terhadap Hakim, Wakil Ketua, dan Hakim. Hal ini tidak lagi diatur secara tegas karena hal tersebut dianggap bertentangan dengan prinsip penangkapan, dan dalam penangkapan diberlakukan prosedur yang sesuai dengan aturan hukum agar terjadi kepastian hukum.
Analisis :
• Tidak diberlakukannya lagi pasal 27 UU no.9 tahun 2004 dikarenakan peran Panitera pengganti kurang begitu signifikan. Panitera Pengganti adalah pegawai Pengadilan yang bertugas mencatat segala kegiatan yang berkaitan dengan pemeriksaan perkara di Pengadilan. Tugas Panitera/PaniteraPengganti adalah:
a. Menyelenggarakan administrasi negara
b. Membuat berita acara (proces verbal) sidang pemeriksaan di persidangan dan menandatanganinya bersama dengan ketua sidang (psl 186 hir).
c. Melaksanakan putusan pengadilan
d. Membuat salinan putusan
e. Wajib menghadiri sidang-sidang
f. Mengumpulkan, memelihara dan menyimpan semua argumentasi yang dilimpahkan oleh para pihak dimuka sidang.
g. Membuat acara pemeriksaan sidang-sidang.
Analisis :
• Perbedaannya mengenai syarat tentang pengalaman si panitera pengadilan tata usaha negara. Hal ini hanya menyangkut pengalaman saja jadi hal tersebut tidak terlalu mempengaruhi dalam substansi peraturan dari Pasal 28 UU no.5 tahun 1986 jo. UU No.9 tahun 2004.
Persyaratan berikutnya yaitu sehat jasmani dan rohani, agar panitera tersebut cakap dalam melakukan perbuatan hukum atau sesuai dengan tugas dari panitera tersebut.
Analisis :
 Dalam undang-undang yang baru terdapat perbedaan yaitu bertambahnya syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara, syarat yang baru adalah sehat secara jasmani dan rohani. Aspek ini berkaitan erat dengan kecakapan dari panitera dalam menjalankan tugas-tugasnya. Selain diatur dalam undang-undang HAPTUN, mengenai sehat secara jasmani dan rohani juga diatur dalam Kode Etik Panitera yang dibuat oleh Ikatan Panitera/Sekeretaris Pengadilan Indonesia (IPASPI) yaitu pada Pasal 6 ayat (1).
 Selain hal diatas, yang diperbaharui adalah persyaratan pengalaman yang dibutuhkan untuk menjadi seorang panitera. Pengalaman merupakan suatu modal yang penting bagi seorang panitera dimana seorang panitera memiliki tugas:
a. Menyelenggarakan administrasi negara
b. Membuat berita acara (proces verbal) sidang pemeriksaan di persidangan dan menandatanganinya bersama dengan ketua sidang (psl 186 hir).
c. Melaksanakan putusan pengadilan
d. Membuat salinan putusan
e. Wajib menghadiri sidang-sidang
f. Mengumpulkan, memelihara dan menyimpan semua argumentasi yang dilimpahkan oleh para pihak dimuka sidang.
g. Membuat acara pemeriksaan sidang-sidang.
Melihat tugas-tugas yang dirasa memerlukan kecermatan serta ketelitian seperti yang dikemukakan diatas memang pengalaman-lah yang berbicara. Dalam UU No.9 tahun 2004, persyaratan mengenai pengalaman lebih dikurangkan. Dalam UU No. 5 tahun 1986 dirasakan oleh pemerintah bahwa persyaratan yang dituntut mengenai pengalaman terlalu lama. Hal ini sudah tidak relevan lagi dengan keadaan sekarang, jika pemerintah tetap menetapkan standar yang sama maka regenerasi akan sulit terjadi. Padahal dari regenerasi tersebut akan didapatkan suatu pemikiran yang lebih maju dalam bidang hukum.
Analisis :
 Menyadari pentingnya peran dari wakil panitera yang membantu panitera dalam persidangan , maka pemerintah juga merubah ketentuan mengenai persyaratan menjadi wakil panitera. Perubahan persyaratan tersebut mengacu pada perubahan syarat pada perubahan syarat menjadi panitera.
Analisis:
• Mengenai Pengangkatan Wakil Panitera Pengadilan Tinggi Tata usaha Negara haruslah memenuhi syarat sehat jasmani dan rohani.syarat ini wajib terpenuhi,karena cakap atau tidaknya seorang dalam segala bidang dapat dilihat dari faktor syarat kesehatan jasmani dan rohani.jika seseorang tidk sehat jasmani dan rohani,bagaimana bisa ia melakukan pekerjaannya dengan cakap.
• Dengan dirubahnya pasal 31 butir c kedalam Undang-undang No 9 tahun 2004,diharapkan bahwa dengan dikuranginya prasyarat mengenai pengalaman kerja,maka tiadak akan memeatikan karir dari si panitera tersebut,karena dengan lamanya syarat pengalaman bekerja,hanya akan membuat masa efektif bekerja panitera tersebut semakin berkurang,sehingga bisa mematikan karir si panitera tersebut.
Analisis:
• Sama halnya seperti pasal tersebut sebelumnya di atas,faktor sehat jasmani dan rohani haruslah terpenuhi.Terlebih lagi ketika itu menyangkut panitera muda yang kecakapannya diharapkan secara optimal.
• Dengan dikuranginya pengalaman dari 3 tahun menjadi 2 tahun,maka produktivitas kerja dari si muda dapat lebih ditingkatkan.
Analisis:
 Dalam undang-undang yang baru terdapat perbedaan yaitu bertambahnya syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengganti Pengadilan Tata Usaha Negara, syarat yang baru adalah sehat secara jasmani dan rohani. Aspek ini berkaitan erat dengan kecakapan dari panitera dalam menjalankan tugas-tugasnya. Selain diatur dalam undang-undang HAPTUN, mengenai sehat secara jasmani dan rohani juga diatur dalam Kode Etik Panitera yang dibuat oleh Ikatan Panitera/Sekeretaris Pengadilan Indonesia (IPASPI) yaitu pada Pasal 6 ayat (1).
 Selain hal diatas, yang diperbaharui adalah persyaratan pengalaman yang dibutuhkan untuk menjadi seorang panitera. Pengalaman merupakan suatu modal yang penting bagi seorang panitera dimana seorang panitera memiliki tugas:
h. Menyelenggarakan administrasi negara
i. Membuat berita acara (proces verbal) sidang pemeriksaan di persidangan dan menandatanganinya bersama dengan ketua sidang (psl 186 hir).
j. Melaksanakan putusan pengadilan
k. Membuat salinan putusan
l. Wajib menghadiri sidang-sidang
m. Mengumpulkan, memelihara dan menyimpan semua argumentasi yang dilimpahkan oleh para pihak dimuka sidang.
n. Membuat acara pemeriksaan sidang-sidang.
Melihat tugas-tugas yang dirasa memerlukan kecermatan serta ketelitian seperti yang dikemukakan diatas memang pengalaman-lah yang berbicara. Dalam UU No.9 tahun 2004, persyaratan mengenai pengalaman lebih dikurangkan. Dalam UU No. 5 tahun 1986 dirasakan oleh pemerintah bahwa persyaratan yang dituntut mengenai pengalaman terlalu lama. Hal ini sudah tidak relevan lagi dengan keadaan sekarang, jika pemerintah tetap menetapkan standar yang sama maka regenerasi akan sulit terjadi. Padahal dari regenerasi tersebut akan didapatkan suatu pemikiran yang lebih maju dalam bidang hukum.
Analisis:
 Dalam undang-undang yang baru terdapat perbedaan yaitu bertambahnya syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengganti Pengadilan Tata Usaha Negara, syarat yang baru adalah sehat secara jasmani dan rohani. Aspek ini berkaitan erat dengan kecakapan dari panitera pengganti dalam menjalankan tugas-tugasnya. Tugas-tugasnya adalah :
a. Menyelenggarakan administrasi negara
b. Membuat berita acara (proces verbal) sidang pemeriksaan di persidangan dan menandatanganinya bersama dengan ketua sidang (psl 186 hir).
c. Melaksanakan putusan pengadilan
d. Membuat salinan putusan
e. Wajib menghadiri sidang-sidang
f. Mengumpulkan, memelihara dan menyimpan semua argumentasi yang dilimpahkan oleh para pihak dimuka sidang.
g. Membuat acara pemeriksaan sidang-sidang
Analisis :
 Pada ayat 2, perubahan yang terlihat adalah perubahan kata pensiahat hukum menjadi advokat. Hal ini karena undang-undang no. 5 tahun 1986 belum mengenal istilah advokat. Istilah advokat ini baru dikenal setelah Indonesia memiliki undang-undang advokat pada tahun 2003. Sehingga untuk menyesuaikan hal tersebut, perubahan ini dinilai perlu untuk dilakukan.
 Pada ayat 3 dalam UU no. 9 tahun 2004, jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh panitera diatur lebih lanjut oleh Mahkamah Agung, dimana pada UU yang lama diatur oleh Menteri kehakiman berdasarkan persetujuan Mahakamah Agung. Perubahan ini menyesuaikan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 355/m tahun 1999 tentang Pengangkatan Menteri Hukum dan Perundang-Undangan Republik Indonesia. Keluarnya Undang-Undang Nomor 35 tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang menegaskan bahwa di Lingkungan Peradilan Umum dikeluarkan dari Departemen Kehakiman Republik Indonesia ke Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Analisis :
 Pengangkatan dan pemberhentian dalam UU no. 5 tahun 1986 dilakukan oleh Menteri Kehakiman, sementara UU no. 9 tahun 2004 dilakukan oleh Mahkamah Agung. Seperti sudah dijelaskan pada analisis pasal 36 diatas, Perubahan ketentuan mengenai kekuasaan kehakiman ini juga dimaksudkan untuk mempertegas bahwa tugas kekuasaan kehakiman dalam sistem ketatanegaraan Indonesia adalah untuk menyelenggarakan peradilan yang merdeka, bebas dari intervensi pihak mana pun, guna menegakkan hukum dan keadilan. Ketentuan ini merupakan perwujudan prinsip Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.
Analisis :
 Dalam Pasal 38 ini terdapat perubahan dimana dalam UU yang lama dikatakan bahwa sebelum memangku jabatannya, Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti diambil sumpah atau janjinya menurut agama atau kepercayaannya, sementara dalam UU yang baru hanya menurut agamanya. Unsur kepercayaan dihapuskan, karena kepercayaan merupakan bagian dari agama. Hal ini sesuai dengan UUD 1945 terutama Pasal 29, dimana pada ayat 1 negara didasarkan pada Ketuhanan Yang MahaEsa dan ayat 2 bahwa negara melindungi penduduknya dalam memeluk agamanya. Dengan bercermin pada pasal tersebut, maka pengambilan sumpah tersebut sangat sesuai sehingga diharapkan Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda dan Panitera Pengganti dapat bertindak sesuai dengan hati nurani dalam menegakkan hukum dan keadilan.
 Dalam undang-undang no. 9 tahun 2004 Pancasila ditekankan sebagai suatu ideologi negara yaitu cara pandang dan metode bagi seluruh bangsa Indonesia untuk mencapai cita-citanya, yaitu masyarakat yang adil dan makmur. Pancasila adalah ideologi kebangsaan karena ia digali dan dirumuskan untuk kepentingan membangun negara bangsa Indonesia. Pancasila yang memberi pedoman dan pegangan bagi tercapainya persatuan dan kesatuan di kalangan warga bangsa dan membangun pertalian batin antara warga negara dengan tanah airnya.
Analisis :
 Pasal 39 A,B,C,D,E dalam UU no.9 tahun 2004 ini adalah bentuk penjabaran dari pasal 39 UU no.5 tahun 1986, dimana yang dijabarkan lebih lanjut adalah mengenai jurusita.
 Peradilan sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman yang mempunyai tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya, dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Untuk mencapai sasaran dan tujuan tersebut diperlukan pembangunan aparatur hukum melalui pembinaan profesi hukum serta pemantapan semua organisasi dan lembaga hukum, sehingga aparatur hukum mampu melaksanakan tugas kewajibannya yang mencakup penyuluhan, penerapan dan penegakan serta pelayanan hukum secara profesional. Kejurusitaan Pengadilan merupakan sub sistem dari sistem dari Peradilan Tata Usaha Negara.Diperlukan peranannya agar dapat terselenggaranya peradilan yang objektif dalam mewujudkan keadilan dan kebenaran serta kepastian hukum dalam masyarakat Indonesia. Oleh karena itu diperlukan kualitas dan kemampuan jurusita yang harus dikembangkan melalui kualitas manusianya, baik tingkat kemampuan profe-sionalnya maupun kesejahteraan sehingga kualitas jurusita harus tercermin dalam sikap yang menjunjung tinggi KEJUJURAN, KEBENARAN dan SIKAP KEADILAN, BERSIH, BERWIBAWA dan BERTANGGUNG JAWAB DALAM PERILAKU
KETELADANAN.
 Oleh sebab itu, hendaknya Jurusita tidak boleh merangkap menjadi wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan perkara yang di dalamnya ia sendiri berkepentingan. Karena akan berakibat terhadap profesionalitas dari pekerjaaan jurusita itu sendiri. Dan akan berakibat buruk terhadap proses pemeriksaan perkara yang sedang berjalan.
 Dalam hal ini jelaslah dengan ketentuan dalam UU baru akan membuat pekerjaan Jurusita lebih baik dan professional.
Analisis :
Perbedaan antara UU lama dan UU baru pada pasal 42,hanyalah terletak pada ketentuan mengenai kesehatan saja. Pada UU baru terdapat aturan bahwa untuk menjadi Wakil sekretaris pengadilan harus sehat jasmani dan rohani. Menurut analisis saya, ketentuan ini sudah sangatlah jelas.
Analisis :
Menurut analisis saya, alasan mengapa terdapat perbedaan mengenai aturan UU lama dan UU baru adalah, bahwa UU lama menghendaki Wakil sekertaris pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Kehakiman dikarenakan UU ini masih mengacu pada ketentuan UU no.14 tahun 1970 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang menentukan bahwa, Badan – badan Peradilan secara Organisatoris,admisnistrative dan finansiil tetap berad di bawah masing-masing department. Hal ini mengakibatkan PTUN kewenangannya berada di bawah department kehakiman, yang juga mnegakibatkan beberapa kewenangan tertinggi dipunyai oleh menteri kehakiman.
Sedangkan pada UU baru, alasan kewenangan berpindah kepada Mahkamah Agung , berarti dapat dikatakan UU ini telah mengacu pada UU no. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman, yang pada pasal 10 menyebutkan bahwa Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang di bawahnya , dan oleh sebuah Mahkmah Konstitusi. Oleh karena itu maka PTUN , secara organisasi , administrasi dan financial telah berada di bawah kekuasaan Mahkmah Agung.
Analisis :
Sebenarnya perbedaan pada pasal ini menurut analisis saya hanya terletak pada bagian penyusunan kata-kata di waktu sekertaris dan wakil sekertaris diambil sumpah, akan tetapi maknanya sebenarnya sama saja.
Analisis :
Seperti yang telah saya jelaskan di atas, UU baru telah mengacu pada UU no. 4 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman, yang pada pasal 10 menyebutkan bahwa Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang di bawahnya , dan oleh sebuah Mahkmah Konstitusi. Oleh karena itu maka PTUN , secara organisasi , administrasi dan financial telah berada di bawah kekuasaan Mahkmah Agung.
Analisis:
Perbedaan antara UU lama dan UU baru pada pasal ini adalah terletak pada Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan.
Persamaanya :
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
Perbedaan :
Pada UU lama
b. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut;
c. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputsan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak pengambilan keputusan tersebut.
Pada UU baru
Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik
Yang dimaksud dengan “asas-asas umum pemerintahan yang baik” adalah meliputi asas:
- kepastian hukum;
- tertib penyelenggaraan negara;
- keterbukaan;
- proporsionalitas;
- profesionalitas;
- akuntabilitas,
Analisis :
Pada pasal ini UU lama maupun UU baru, cenderung ditekankan pada hal Eksekusi. Pada UU lama Jika tergugat masih tetap tidak mau melaksanakannya, Ketua Pengadilan mengajukan hal ini kepada instansi atasannya menurut jenjang jabatan. Sedangkan Pada UU baru, Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif.
Di sini bisa kita lihat jelas bahwa, eksekusi pada UU lama cenderung menerapkan eksekusi hierarkis dan otomatis, sehingga cenderung tidaj efektif, bahkan jika tergugat dengan pejabat atasan saling kenal, atau mempunyai relasi yang kuat,maka dapat terjadi eksekusi tidak dilaksanakan dengan baik.
Sedangkan pada UU baru dapat diktakan eksekusi yang diatur sangat efektif, karena, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif. Dengan begitu, dapa dikatakan proses eksekusi ini telah dilaksanakan dengan adil.
Analisis:
Pasal ini mengatur tentang intervensi pihak ketiga.
Alasan dicabutnya Pasal 118 UU No 5 Tahun 1986 karena di dalam praktek gugatan per-lawanan dari pihak ke tiga da-lam suatu sengketa tidak mungkin dilakukan dalam peradilan TUN.
Analisis:
Alasan disisipkannya pasal 143 a,dapat kita lihat dengan jelas, bahwa pada saat UU baru ini mulai berlaku , maka peraturan perundang-undangan UU lama masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini. Karena pada UU baru hanya beberapa pasal saja yang diubah dari UU lama, sedangkan banyak ketentuan pasal UU lama yang tidak diubah.
Analisis:
Pasal II ini bias juga dikatakan sebagai ketentuan penutup dari UU baru ini. Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Jadi setelah dicetak oleh lembaran Negara, maka dianggap semua orang telah mengetahuinya.

1 comment:

  1. If you'd like an alternative to casually dating girls and trying to find out the right thing to do...

    If you'd rather have women chase YOU, instead of spending your nights prowling around in crowded bars and restaurants...

    Then I urge you to view this short video to find out a amazing secret that has the potential to get you your own harem of beautiful women:

    FACEBOOK SEDUCTION SYSTEM...

    ReplyDelete