clicksor

Clicksor

bisnis paling gratis

Saturday, January 8, 2011

Contoh LANDASAN TEORI Skripsi Belajar

Download Disini : http://www.ziddu.com/download/13303141/BAB2.doc.html

BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Belajar
Belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya (Slameto, 2003:2). Ciri-ciri perubahan tingkah laku dalam pengertian belajar :
a. perubahan terjadi secara sadar
b. perubahan dalam belajar bersifat kontinu dan fungsional
c. perubahan dalam belajar bersifat positif dan aktif
d. perubahan dalam belajar bukan bersifat sementara
e. perubahan dalam belajar bertujuan atau terarah
f. perubahan mencakup seluruh aspek tingkah laku (Slameto, 2003:3).
Belajar dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis yaitu sebagai berikut.
a. Belajar bagian (part learning, fractioned learning)
Individu memecah seluruh materi pelajaran menjadi bagian-bagian yang satu sama lain berdiri sendiri apabila materi tersebut bersifat luas dan ekstensif.
b. Belajar dengan wawasan (learning by insight)
Menurut Miller, wawasan merupakan kreasi dari “rencana penyelesaian” yang mengontrol rencana-rencana subordinasi lain (pola tingkah laku) yang telah terbentuk.
c. Belajar diskriminatif (discriminatif learning)
Belajar diskriminatif diartikan sebagai suatu usaha memilih beberapa sifat situasi / stimulus dan kemudian menjadikannya sebagai pedoman dalam bertingkah laku.
d. Belajar global / keseluruhan (global whole learning)
Bahan pelajaran dipelajari secara keseluruhan sampai pelajar menguasainya.
e. Belajar insidental (incidental learning)
Belajar disebut insidental apabila tidak ada sama sekali kehendak untuk belajar.
f. Belajar instrumental
Reaksi-reaksi siswa yang diperlihatkan diikuti oleh tanda-tanda yang mengarah pada apakah siswa tersebut akan mendapat hadiah, hukuman, berhasil, atau gagal.
g. Belajar intensional
Belajar dalam tujuan, lawan dari belajar insidental.
h. Belajar laten
Perubahan-perubahan tingkah laku yang terlibat tidak terjadi secara segera.
i. Belajar mental
Belajar dengan cara melakukan observasi dari tingkah laku orang lain.
j. Belajar produktif
Belajar disebut produktif bila individu mampu mentransfer prinsip menyelesaikan satu persoalan dalam satu situasi ke situasi lain.
k. Belajar verbal
Belajar mengenai materi verbal melalui latihan dan ingatan (Slameto, 2003:5).
2.2 Hasil Belajar
Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya (Nana Sudjana, 2001:22). Dalam pembelajaran, hasil belajar ini sangat dibutuhkan sebagai petunjuk untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan siswa dalam kegiatan belajar yang sudah dilaksanakan.
Hasil belajar dapat diketahui melalui evaluasi untuk mengukur dan menilai apakah siswa sudah menguasai ilmu yang dipelajari sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.
Howard Kingsley (dalam Nana Sudjana, 2001:22) membagi tiga macam hasil belajar yaitu:
a. keterampilan dan kebiasaan,
b. pengetahuan dan pengertian, dan
c. sikap dan cita-cita.
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi hasil belajar, yang dikelompokkan menjadi dua yaitu sebagai berikut.
a. Faktor Internal
Faktor internal berasal dari dalam individu yang belajar yang meliputi faktor fisik atau jasmani dan faktor mental psikologis. Faktor fisik misalnya keadaan badan lemah, sakit atau kurang fit dan sebagainya, sedang faktor mental psikologis meliputi kecerdasan atau intelegensi, minat, konsentrasi, ingatan, dorongan, rasa ingin tahu, dan sebagainya.
b. Faktor Eksternal
Faktor ini berasal dari luar individu yang belajar, meliputi faktor alam fisik, lingkungan, sarana fisik dan non fisik, pengajar serta strategi pembelajaran yang dipilih pengajar dalam menunjang proses belajar mengajar.
2.3 Pembelajaran
Pembelajaran adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh guru sedemikian rupa sehingga tingkah laku siswa berubah ke arah yang lebih baik. Pembelajaran juga berarti usaha guru membentuk tingkah laku yang diinginkan dengan menyediakan stimulus (Darsono, 2000:24).
Pembelajaran adalah upaya menciptakan iklim dan pelayanan terhadap kemampuan, potensi, minat, bakat, dan kebutuhan, siswa yang beragam agar terjadi interaksi optimal antara guru dengan siswa serta antara siswa dengan siswa (Suyitno, 2004:2).
Gagne dalam Sanjaya (2006:100) menyatakan instruction is a set of event that effect learners in such a way that learning is facilitated. Oleh karena itu, mengajar merupakan bagian dari pembelajaran, di mana peran guru lebih ditekankan kepada bagaimana merancang atau mengaransemen berbagai sumber dan fasilitas yang tersedia untuk digunakan siswa dalam mempelajari sesuatu.

2.4 Teori Belajar
a. Teori Dienes
Teori yang dikemukakan oleh Dienes berorientasi pada anak-anak, sehingga sistem yang dikembangkannya itu menarik bagi anak yang mempelajari matematika. Matematika pada dasarnya dapat dianggap sebagai studi tentang struktur, memisah-misahkan hubungan-hubungan di antara struktur-struktur. Tiap-tiap konsep atau prinsip dalam matematika yang disajikan dalam bentuk konkret akan dipahami dengan baik. Ini mengandung arti bahwa benda-benda atau objek-objek dalam bentuk permainan akan sangat berperan bila dimanipulasi dengan baik dalam pengajaran matematika.
Permainan bebas merupakan tahap belajar konsep yang aktivitasnya tidak berstruktur dan tidak diarahkan. Aktivitas ini memungkinkan anak melakukan percobaan dan memanipulasi benda-benda konkret dan abstrak dari unsur-unsur yang sedang dipelajarinya itu.
Anak-anak sudah mulai meneliti pola-pola dan keteraturan yang terdapat dalam konsep tertentu dalam permainan yang disertai aturan. Anak yang telah memahami aturan-aturan yang terdapat dalam konsep akan dapat mulai melakukan permainan tadi. Melalui permainan anak-anak diajak untuk mulai mengenal dan memikirkan bagaimana struktur matematika itu (Tim MKPBM, 2001:49).


Dienes membagi tahap-tahap belajar menjadi empat tahap, yaitu sebagai berikut.
1) Permainan Bebas (Free Play)
Tahap yang paling awal dalam setiap tahap belajar dari pengembangan konsep bermula dari permainan bebas. Permainan bebas merupakan tahap belajar konsep yang aktifitasnya tidak berstruktur dan tidak diarahkan. Siswa diberi kebebasan untuk mengatur benda. Selama permainan pengetahuan anak muncul. Anak mulai membentuk struktur mental dan struktur sikap dalam mempersiapkan diri untuk memahami konsep yang sedang dipelajari.
2) Permainan yang Menggunakan Aturan (Games)
Siswa sudah mulai meneliti pola-pola dan keteraturan yang terdapat dalam konsep tertentu dalam permainan yang disertai aturan. Keteraturan ini mungkin terdapat dalam konsep tertentu tetapi tidak terdapat dalam konsep yang lainnya. Jelaslah dengan melalui permainan siswa diajak untuk mulai mengenal dan memikirkan bagaimana struktur matematika itu. Makin banyak bentuk-bentuk berlainan yang diberikan dalam konsep tertentu, akan semakin jelas konsep yang dipahami siswa, karena akan memperoleh hal-hal yang bersifat logis dan matematis dalam konsep yang dipelajari itu. Menurut Dienes, untuk membuat konsep abstrak, anak didik memerlukan suatu kegiatan untuk mengumpulkan bermacam-macam pengalaman, dan kegiatan untuk yang tidak relevan dengan pengalaman itu.


3) Permainan Kesamaan Sifat (searching for communalities)
Siswa mulai diarahkan pada kegiatan menemukan kesamaan sifat-sifat dalam permainan yang sedang diikuti. Guru perlu mengarahkan mereka untuk melatih dalam mencari kesamaan sifat-sifat ini dengan menstranslasikan kesamaan struktur dari bentuk permainan lain. Translasi ini tentu tidak boleh mengubah sifat-sifat abstrak yang ada dalam permainan semula.
4) Permainan Representasi (Representation)
Representasi adalah tahap pengambilan sifat dari beberapa situasi yang sejenis. Para siswa menentukan representasi dari konsep-konsep tertentu. Setelah mereka berhasil menyimpulkan kesamaan sifat yang terdapat dalam situasi-situasi yang dihadapinya itu. Representasi yang diperoleh ini bersifat abstrak, dengan demikian telah mengarah pada pengertian struktur matematika yang sifatnya abstrak yang terdapat dalam konsep yang sedang dipelajari.
5) Permainan dengan Simbolisasi (Symbolization)
Simbolisasi termasuk tahap belajar konsep yang membutuhkan kemampuan merumuskan representasi dari setiap konsep-konsep dengan menggunakan simbol matematika atau melalui perumusan verbal.
6) Permainan dengan Formalisasi (Formalization)
Formalisasi merupakan tahap belajar konsep yang terakhir. Siswa-siswa pada tahap ini dituntut untuk mengurutkan sifat-sifat konsep dan kemudian merumuskan sifat-sifat baru konsep tersebut, sebagai contoh siswa yang telah mengenal dasar-dasar dalam struktur matematika seperti aksioma, harus mampu merumuskan teorema dalam arti membuktikan teorema tersebut. Karso (1999:120) menyatakan, pada tahap formalisasi anak tidak hanya mampu merumuskan teorema serta membuktikannya secara deduktif, tetapi mereka sudah mempunyai pengetahuan tentang sistem yang berlaku dari pemahaman konsep-konsep yang terlibat satu sama lainnya. Misalnya bilangan bulat dengan operasi penjumlahan beserta sifat-sifat tertutup, komutatif, asosiatif, adanya elemen identitas, dan mempunyai elemen invers, membentuk sebuah sistem matematika (Tim MKPBM, 2001:50).
b. Teori Vygotsky
Teori Vygotsky berpendapat bahwa interaksi sosial, yaitu interaksi individu tersebut dengan orang-orang lain, merupakan faktor yang terpenting yang mendorong atau memicu perkembangan kognitif seseorang. Interaksi dengan orang-orang lain memberikan rangsangan dan bantuan bagi si anak untuk berkembang. Vygotsky berpendapat pula bahwa proses belajar akan terjadi secara efisien dan efektif apabila si anak belajar secara kooperatif dengan anak-anak lain dengan suasana lingkungan yang mendukung (supportive), dalam bimbingan seseorang yang lebih mampu atau lebih dewasa, misalnya seorang guru.
Menurut Vygotsky, setiap anak mempunyai apa yang disebut zona perkembangan proksimal (zone of proximal development) yang oleh Vygotsky didefinisikan sebagai “jarak” atau selisih antara tingkat perkembangan si anak yang aktual, yaitu tingkat yang ditandai dengan kemampuan si anak untuk menyelesaikan soal-soal tertentu secara independen, dengan tingkat perkembangan potensial yang lebih tinggi, yang bisa dicapai oleh si anak jika ia mendapat bimbingan dari seseorang yang lebih dewasa atau lebih kompeten. Bantuan kepada seorang yang lebih dewasa atau lebih kompeten dengan maksud agar si anak mampu untuk mengerjakan tugas-tugas atau soal-soal yang lebih tinggi tingkat kerumitannya daripada tingkat perkembangan kognitif yang aktual dari anak yang bersangkutan disebut dukungan dinamis atau scaffolding. Scaffolding berarti memberikan sejumlah besar bantuan kepada siswa selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah ia dapat melakukannya. Bentuk dari bantuan itu berupa petunjuk, peringatan, dorongan, penguraian langkah-langkah pemecahan, pemberian contoh, atau segala sesuatu yang dapat mengakibatkan siswa mandiri.
Vygotsky yakin bahwa fungsi mental yang lebih tinggi umumnya muncul dalam percakapan/kerjasama antar siswa sebelum fungsi mental yang lebih tinggi itu terserap (Asikin, 2004:39).
2.5 Fungsi dan Tujuan Pembelajaran Matematika
Dalam Suyitno (2004:2), pembelajaran matematika adalah suatu proses atau kegiatan guru mata pelajaran matematika dalam mengajarkan matematika kepada para siswanya, yang di dalamnya terkandung upaya guru menciptakan iklim dan pelayanan terhadap kemampuan, potensi, minat, bakat, dan kebutuhan, siswa tentang matematika yang beragam agar terjadi interaksi optimal antara guru dengan siswa serta antara siswa dengan siswa dalam mempelajari matematika tersebut.
Untuk mewujudkan pembelajaran matematika, setidaknya dirumuskan lima tujuan umum pembelajaran matematika, yaitu:
a. memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah
b. menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika
c. memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh
d. mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah
e. memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Sedangkan fungsi dari pembelajaran matematika adalah:
a. mengembangkan kemampuan menghitung, mengukur, menurunkan, dan menggunakan rumus yang diperlukan dalam kehidupan sehari- hari.
b. mengembangkan kemampuan dalam mengkomunikasikan gagasan melalui model matematika yang berupa kalimat-kalimat dan persamaan-persamaan matematika.

2.6 Model Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran berarti proses, cara, pembuatan menjadikan orang atau makhluk hidup belajar (KBBI, 2005:17). Sedangkan belajar adalah berusaha untuk memperoleh kepandaian atau ilmu (KBBI, 2005:17).
Pembelajaran dapat pula diartikan sebagai upaya untuk menciptakan iklim dan pelayanan terhadap kemampuan, potensi, dan kebutuhan siswa yang beragam agar terjadi interaksi optimal antara guru dengan siswa serta antara siswa dengan siswa (Suyitno, 2004:1).
Menurut Sugandi (2004:6), unsur utama dari pembelajaran adalah pengalaman anak sebagai seperangkat event sehingga terjadi proses belajar. Sedangkan menurut Briggs (1992) dalam Sugandi (2004:7), pembelajaran juga dapat diterjemahkan dari kata instruction, yaitu seperangkat peristiwa (events) yang mempengaruhi si pembelajar sedemikian rupa sehingga si pembelajar itu memperoleh kemudahan dalam berinteraksi berikutnya dengan lingkungan.
Model pembelajaran adalah suatu pola atau langkah-langkah pembelajaran tertentu yang diterapkan agar tujuan atau kompetensi dari hasil belajar yang diharapkan akan cepat dapat tercapai dengan lebih efektif dan efisien (Suyitno, 2004:28).
Sedangkan menurut Depdiknas (2004) dalam Suyitno (2004:28), suatu tindakan pembelajaran akan disebut sebagai model pembelajaran jika mempunyai ciri-ciri sebagai berikut.
a. Ada rasional teoritik yang logis atau kajian ilmiah yang disusun oleh penemunya.
b. Ada tujuan pembelajaran yang ingin dicapai melalui tindakan pembelajaran tersenut.
c. Ada tingkah laku belajar mengajar yang khas yang diperlukan guru dan siswa.
d. Diperlukan lingkungan belajar yang spesifik, agar tujuan pembelajaran dapat tercapai.

Pemilihan model-model pembelajaran yang akan digunakan oleh seorang guru dalam menyampaikan materi dapat berbeda-beda. Pada dasarnya pemilihan model-model pembelajaran ini berdasar pada tujuan yang akan dicapai.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah model pembelajaran kooperatif tipe NHT berbantuan alat peraga lebih efektif jika dibandingkan dengan model pembelajaran kooperatif tipe CTL terhadap hasil belajar matematika pada siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP). Oleh karena itu, model pembelajaran yang dipilih dalam mencapai tujuan ini adalah model pembelajaran kooperatif (cooperative learning) agar hasil belajar siswa lebih optimal.
Kooperatif adalah bersifat kerja sama (KBBI, 2005:593). Jadi model pembelajaran kooperatif merupakan suatu pola atau langkah- langkah pembelajaran tertentu dan bersifat kerja sama yang diterapkan agar tujuan atau kompetensi dari hasil belajar yang diharapkan akan cepat dapat tercapai dengan lebih efektif dan efisien.
Pembelajaran kooperatif dapat juga berarti strategi pembelajaran yang menitikberatkan pada pengelompokan siswa dengan tingkat kemampuan akademik yang berbeda ke dalam kelompok-kelompok kecil.
Setidaknya terdapat empat prinsip utama dalam pembelajaran kooperatif.
a. Terjadinya saling ketergantungan secara positif (positive interdependence)
b. Terbentuknya tanggung jawab personal (individual accountability)
c. Terjadinya keseimbangan dan keputusan bersama dalam klompok (equal participation)
d. Interaksi menyeluruh (simultaneous interaction)
Untuk mengembangkan kemampuan komunikasi seluruh siswa, maka seluruh siswa dituntut untuk mampu berbicara dan mampu tampil percaya diri. Untuk itu, dipilihlah model pembelajaran kooperatif tipe NHT dan model pembelajaran kooperatif tipe CTL.
2.7 Model Pembelajaran Kooperatif tipe NHT
Model pembelajaran kooperatif tipe NHT terdiri atas empat tahap yang digunakan untuk mereview fakta-fakta dan informasi dasar yang berfungsi untuk mengatur interaksi siswa. Model pembelajaran ini juga dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang tingkat kesulitannya terbatas.
Struktur NHT biasanya juga disebut berfikir secara kelompok adalah suatu pendekatan yang dikembangkan oleh Spencer Kagen. NHT digunakan untuk melibatkan lebih banyak siswa dalam menelaah materi yang tercakup dalam suatu pelajaran dan mengecek pemahaman mereka terhadap isi pelajaran tersebut sebagai gantinya mengajukan pertanyaan kepada seluruh siswa.
NHT sebagai model pembelajaran pada dasarnya merupakan sebuah variasi diskusi kelompok. Adapun ciri khas dari NHT adalah guru hanya menunjuk seorang siswa yang mewakili kelompoknya. Dalam menunjuk siswa tersebut, guru tanpa memberi terlebih dahulu siapa yang akan mewakili kelompok tersebut. Menurut Nur (2005: 78) dengan cara tersebut akan menjamin keterlibatan total semua siswa dan merupakan upaya yang sangat baik untuk meningkatkan tanggungjawab individual dalam diskusi kelompok. Selain itu model pembelajaran NHT memberi kesempatan kepada siswa untuk membagikan ide-ide dan mempertimbangkan jawaban yang paling tepat.
Dengan adanya keterlibatan total seluruh siswa ini tentunya akan berdampak positif terhadap motivasi belajar siswa. Siswa akan berusaha memahami konsep-konsep atau memecahkan permasalahan yang disajikan oleh guru seperti yang telah diungkapkan oleh Ibrahim, dkk (2000: 7) bahwa dengan belajar kooperatif akan memperbaiki prestasi siswa atau tugas-tugas akademis penting lainnya serta akan memberi keuntungan baik pada siswa kelompok bawah maupun kelompok atas yang bekerja bersama menyelesaikan tugas-tugas akademisnya.
Menurut Ibrahim, dkk (2000: 27-28 ) ada 4 tahapan dalam pembelajaran NHT.
Tahap 1: Penomoran
Guru membagi siswa ke dalam kelompok beranggotakan 3-5 orang dan setiap anggota kelompok diberi nomor 1 sampai 5.
Tahap 2: Mengajukan Pertanyaan
Guru mengajukan sebuah pertanyaan kepada siswa. Pertanyaan dapat bervariasi, pertanyaan dapat spesifik dan dalam bentuk kalimat tanya atau bentuk arahan.
Tahap 3: Berfikir Bersama
Siswa menyatukan pendapatnya terhadap jawaban pertanyaan itu dan menyakinkan tiap anggota dalam timnya mengetahui jawaban itu.
Tahap 4: Menjawab
Guru memanggil siswa dengan nomor tertentu. Siswa yang nomornya sesuai mengacungkan tangannya dan mencoba untuk menjawab pertanyaan untuk seluruh kelas.
Menurut Ibrahim (2000:19) pelaksanaan pembelajaran kooperatif tipe NHT adalah sebagai berikut:
a. Tugas-tugas perencanaan
(1) Memilih pendekatan
(2) Pemilihan materi yang sesuai
(3) Pembentukan kelompok siswa
(4) Pengembangan materi dan tujuan
(5) Mengenalkan siswa pada tugas dan peran
(6) Merencanakan waktu dan tempat
b. Tugas-tugas interaktif
(1) Menyampaikan tujuan dan motivasi siswa
(2) Menyampaikan informasi
(3) Mengorganisasikan dan membantu kelompok belajar
Pelaksanaan yang ditempuh dalam pembelajarn NHT dalam penelitian ini adalah:
a. Tugas-tugas perencanaan
(1) Memilih pendekatan yaitu pembelajaran kooperatif tipe NHT
(2) Pemilihan materi yaitu segitiga
(3) Pembentukan kelompok siswa, tiap kelompok terdiri dari 1-5 anak
(4) Pengembangan materi dan tujuan pembelajaran
(5) Mengenalkan siswa pada tugas dan peran
(6) Merencanakan waktu dan tempat yaitu setiap jam pelajaran matematika
b. Tugas-tugas interaktif
(1) Menyampaikan tujuan dan motivasi siswa
(2) Menyampaikan informasi
(3) Mengorganisasikan dan membantu kelompok belajar
2.8 Model Pembelajaran Kooperatif tipe CTL
Model pembelajaran kontekstual bertujuan membekali siswa dengan pengetahuan yang fleksibel, yang dapat diterapkan dari suatu permasalahan ke permasalahan lain, dari satu konteks ke konteks lainnya.
Model pembelajaran kontekstual dapat dikatakan sebagai sebuah pendekatan pembelajaran yang mengakui bahwa belajar hanya terjadi jika siswa memproses informasi atau pengetahuan baru sedemikian rupa sehingga dirasakan masuk akal sesuai dengan kerangka berpikir yang dimilikinya. Pemaduan materi pelajaran dengan konteks keseharian siswa di dalam model pembelajaran kontekstual akan menghasilkan dasar-dasar pengetahuan yang kuat dan mendalam sehingga siswa kaya akan pemahaman masalah dan cara untuk menyelesaikannya.
Tujuh komponen pelaksanaan model pembelajaran CTL adalah sebagai berikut.
1) Konstruktivisme (constructivism)
Konstruktivisme (constructivism) merupakan landasan berpikir (filosofi) pendekatan CTL, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak sekonyong-konyong. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.
2) Menemukan (Inquiry)
Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan dari hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Guru harus selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan, apapun materi yang diajarkannya
3) Bertanya (Questioning)
Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu bermula dari ‘bertanya’. Questioning (bertanya) merupakan strategi utama pembelajaran yang berbasis CTL. Bertanya dalam pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Bagi siswa, kegiatan bertanya merupakan bagian penting dalam melaksanakan pembelajaran inquiri, yaitu menggali informasi, mengkonfirmasikan apa yang sudah diketahui, dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya.
4) Masyarakat Belajar (Learning Community)
Konsep ini menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh dari sharing antara teman, antar kelompok, dan antara yang tahu ke yang belum tahu.
5) Pemodelan (Modelling)
Dalam sebuah pembelajaran keterampilan atau pengetahuan tertentu, ada model yang bisa ditiru. Dalam pendekatan CTL guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa.
6) Refleksi (Reflection)
Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah kita lakukan dimasa lalu. Siswa mengendapkan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru, yang merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru diterima.
7) Penilaian yang Sebenarnya (Authentic Assesment)
Assesment adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar siswa. Pembelajaran yang benar memang seharusnya ditekankan pada upaya membantu siswa agar mampu mempelajari (learning how to learn), bukan ditekankan pada diperolehnya sebanyak mungkin informasi di akhir periode pembelajaran. Karena assement menekankan proses pembelajaran, maka data yang dikumpulkan harus pada saat melakukan proses pembelajaran. (Tim Depdiknas, 2003:10-19)
2.9 Alat Peraga Matematika
Alat peraga adalah media atau perlengkapan yang digunakan untuk membantu guru mengajar (Anderson dalam Hidayah, 2005:5). Alat peraga dapat mempertinggi proses belajar siswa dalam pengajaran yang pada gilirannya dapat diharapkan dapat mempertinggi hasil belajar yang dicapainya.
Alat peraga juga digunakan untuk membantu proses belajar mengajar karena berkenaan dengan taraf berpikir siswa. Taraf berpikir manusia mengikuti taraf perkembangan dimulai dari berpikir konkret sampai berpikir abstrak, dari berpikir sederhana menuju ke taraf yang lebih kompleks.
Dengan menggunakan alat peraga, diharapkan:
a. Baik siswa maupun guru menjadi lebih termotivasi dalam proses belajar mengajar, minatnya akan timbul, ia akan senang, terangsang, tertarik, dan karena itu akan bersifat positif terhadap pengajaran matematika.
b. Konsep abstrak matematika tersajikan dalam bentuk konkret dan karena itu dapat dipahami dan dimengerti, dapat ditanam pada tingkat-tingkat yang lebih dapat dipahami.
c. Hubungan antara konsep abstrak matematika dengan benda-benda di alam sekitar akan lebih dapat dipahami.
d. Konsep-konsep abstrak yang disajikan dalam bentuk konkret, yaitu dalam bentuk model matematika yang dapat dipakai sebagai obyek penelitian maupun sebagai alat untuk meneliti ide-ide baru dan relasi baru bertambah banyak. (Suherman, 2003:7)
2.10 Lembar Kerja
Menurut Suyitno, lembar kerja siswa (LKS) adalah media cetak yang berapa lembaran–lembaran kertas yang berisi informasi soal–soal/pertanyaan yang harus dijawab. LKS merupakan salah satu media pengajaran matematika, yang dibuat sendiri oleh guru/tim khusus dengan tujuan mengajarkan suatu konsep dengan metode NHT , siswa dapat menemukan prinsip umum berdasarkan bahan yang diajarkan guru. Penggunaan LKS juga merupakan salah satu variasi pengajaran siswa tidak menjadi bosan.
Lembar kerja siswa terbagi menjadi 2 kategori sebagai berikut :
1) LKS tak berstruktur
LKS tak berstruktur adalah LKS yang berisi saran untuk menunjang materi pelajaran sebagai alat bantu kegiatan belajar siswa yang dipakai guru untuk menyampaikan pelajaran. Contohnya tabel, kertas bertitik, kertas millimeter, kertas berpetak.
2) LKS berstruktur
LKS ini dirancang untuk membimbing siswa dalam suatu program kerja dengan sedikit bantuan guru, untuk mencapai sasaran yang ditujukan dalam pelajarannya pada lembar kerja ini telah disusun petunjuk dan pengarahannya.

Kegunaan lembar kerja siswa berstruktur ini adalah :
1) merupakan alternatif bagi guru untuk mengarahkan atau memperkenalkan suatu kegiatan tertentu sebagai variasi pengajaran;
2) menghemat waktu;
3) dapat disiapkan sewaktu jam bebas mengajar;
4) dapat memudahkan penyelesaian tugas perorangan;
5) meringankan tugas dalam memberi bantuan perorangan

2.11 Segitiga
a. Pengertian Segitiga
Segitiga adalah bangun datar yang dibatasi oleh tiga buah titik yang tidak terletak pada satu garis lurus dan saling dihubungkan (Cunayah, 2007: 247). Segitiga biasanya dinotasikan dengan “Δ”. Unsur-unsur yang terdapat pada segitiga yaitu titik sudut dan sisi segitiga.
b. Jenis-jenis Segitiga
Menurut Cunayah, 2007: 247, jenis segitiga ditinjau dari sisi-sisinya yaitu:
1) Segitiga Samakaki
Segitiga sama kaki mempunyai dua sisi yang sama panjang. Akibatnya, segitiga sama kaki memiliki dua sudut yang sama besar.
Sifat-sifat dari segitiga sama kaki antara lain dapat menempati bingkainya dengan tepat menurut dua cara serta mempunyai satu sumbu simetri.


2) Segitiga Samasisi
Segitiga sama sisi memiliki tiga buah sisi yang sama panjang, akibatnya ketiga sudutnya sama besar yaitu sebesar 60°.
Sifat-sifat dari segitiga sama sisi antara lain dapat menempati bingkainya dengan tepat menurut enam cara, mempunyai tiga sumbu simetri, sertamempunyai simetri putar tingkat tiga.
3) Segitiga Sebarang
Segitiga sebarang memiliki tiga buah sisi yang tidak sama panjang, akibatnya ketiga sudutnya tidak sama besar.





Menurut Cunayah, 2007: 249, jenis segitiga ditinjau dari ukuran sudutnya yaitu:
1) Segitiga Lancip
Segitiga lancip adalah segitiga yang ketiga ukuran sudutnya lancip.
2) Segitiga Siku-Siku
Segitiga siku-siku merupakan segitiga yang ukuran salah satu sudutnya siku-siku.


3) Segitiga Tumpul
Segitiga tumpul adalah segitiga yang salah satu ukuran sudutnya tumpul.




c. Jumlah Sudut-sudut pada Segitiga
Menurut Cunayah, 2007: 250, jumlah sudut-sudut suatu segitiga adalah180°.
d. Sifat-sifat Segitiga
1) Ketidaksamaan Sisi Segitiga
Menurut Cunayah, 2007: 250, sifat-sifat segitiga yang berhubungan dengan sisi segitiga adalah sebagai berikut.
(1) Jumlah panjang kedua sisi segitiga lebih dari panjang sisi yang lainnya.
(2) Selisih panjang kedua sisinya kurang dari panjang sisi yang lainnya.
2) Hubungan Sudut dan Sisi Segitiga
Menurut Cunayah, 2007: 250, ukuran sudut terkecil suatu segitiga berhadapan dengan ukuran sisi terpendek suatu segitiga, begitupun ukuran sudut terbesar suatu segitiga berhadapan dengan ukuran sisi terpanjang suatu segitiga.
3) Hubungan Sudut dalam dan Sudut Luar Segitiga
Menurut Cunayah, 2007: 251, sudut dalam suatu segitiga adalah sudut yang berada di dalam segitiga. Sedangkan sudut luar segitiga adalah sudut pelurus dari sudut dalam segitiga tersebut. Ukuran sudut luar dari salah satu sudut dalam segitiga sama dengan jumlah dua sudut dalam yang lainnya.
e. Keliling dan Luas Daerah Segitiga
1. Keliling Segitiga
Menurut Cunayah, 2007: 251, keliling segitiga adalah jumlah panjang sisi-sisi segitiga itu atau jumlah panjang ketiga sisinya. Keliling segitiga dinotasikan dengan K.
2. Luas Daerah Segitiga
Menurut Cunayah, 2007: 251, alas suatu segitiga dinotasikan dengan “a”, tingginya dinotasikan dengan “t”, dan luas dinotasikan dengan ”L”, maka rumus luas daerah segitiga yaitu :

Contoh soal:
Diketahui: panjang alas suatu segitiga adalah 18 cm dan tingginya 13 cm. Luas daerah segitiga tersebut adalah … cm2.
Pembahasan:
Tulis a : ukuran alas segitiga,
t : ukuran tinggi segitiga, dan
L : ukuran luas segitiga.
Dipunyai a =18 dan t =13.


Jelas


Jadi, Luas segitiga tersebut adalah 117 cm2.

2.12 Kerangka Berpikir
Salah satu contoh pembelajaran baru yang juga merupakan salah satu contoh strategi pembelajaran adalah dengan menerapkan model pembelajaran NHT. Dalam pembelajaran NHT ini siswa dituntut untuk lebih aktif dalam mengembangkan sikap dan pengetahuannya tentang matematika sesuai dengan kemampuan masing-masing sehingga akibatnya memberikan hasil belajar yang lebih bermakna pada siswa. Dengan demikian pembelajaran NHT merupakan pendekatan yang sangat berguna dalam pembelajaran matematika. Dengan pembelajaran NHT selain siswa belajar matematika, mereka juga mendapatkan pengertian yang lebih bermakna tentang penggunaan matematika tersebut di berbagai bidang.
Model pembelajaran NHT ini jika diterapkan dengan menggunakan media pembelajaran berupa alat peraga akan diperoleh hasil yang lebih optimal. Alat peraga diperlukan untuk membantu siswa dalam memahami konsep yang diajarkan. Konsep matematika seperti segitiga bersifat abstrak sehingga siswa SMP akan merasa kesulitan memahami konsep tersebut. Dengan menggunakan alat peraga matematika, konsep abstrak tersebut dapat dihadirkan dalam bentuk konkret sehingga siswa akan lebih mudah memahami konsep tersebut.
SMP Al Islam Gunungpati merupakan salah satu sekolah di wilayah kecamatan Gunungpati Barat wilayah kodya Gunungpati. Kurikulum yang digunakan di SMP Kesatrian 2 Gunungpati adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Dalam KTSP, kegiatan lebih terpusat pada siswa. Atas dasar tersebut, maka pembelajaran sehari-hari yang digunakan adalah pembelajaran dengan model Contextual Teaching And Learning (CTL). Meski telah menerapkan CTL, namun pada pelaksanaannya pembelajaran tersebut belum sepenuhnya dilakukan secara total. Hal ini dikarenakan belum sepenuhnya komponen CTL dilaksanakan. Oleh sebab itu, dengan model pembelajaran NHT berbantuan alat peraga diharapkan hasil belajar matematika di SMP Al Islam lebih baik daripada dengan model pembelajaran CTL.
Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang harus di kuasai oleh siswa pada kelas VII salah satunya adalah tetang segitiga. Materi yang mendukung dalam penguasaan segitiga pada kelas VII adalah jenis–jenis segitiga; sifat-sifat segitiga; sudut dalam dan sudut luar segitiga; keliling dan luas segitiga. Dalam mengajarkan materi segitiga dengan model pembelajaran NHT, guru bisa memberikan cara baru dalam mengajar. Dengan model pembelajaran NHT ini, siswa bisa merasakan nuansa baru dalam belajar matematika, sehingga diharapkan bisa mengurangi rasa jenuh siswa dalam belajar matematika di sekolah.
Dengan menerapkan model pembelajaran NHT berbantuan alat peraga pada materi segitiga maka diharapkan rata-rata hasil belajar siswa bisa mencapai batas ketuntasan maksimal, yaitu 60 serta rata-rata hasil belajar siswa dengan model pembelajaran NHT, lebih baik dari pada rata-rata hasil belajar siswa yang menggunakan pembelajaran CTL.

2.13 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka berpikir di atas, maka dirumuskan hipotesis:
1. Hasil belajar siswa kelas VII SMP Al Islam Gunungpati pada materi pokok segitiga yang diajar dengan model pembelajaran NHT berbantuan alat peraga telah memenuhi kriteria ketuntasan minimal sebesar ≥60.
2. Rata-rata hasil belajar siswa kelas VII SMP Al Islam Gunungpati pada materi pokok segitiga yang diajar dengan model pembelajaran NHT berbantuan alat peraga lebih baik daripada rata-rata hasil belajar siswa kelas VII SMP Al Islam Gunungpati pada materi pokok segitiga yang diajar dengan model pembelajaran CTL.
3. Aktivitas siswa kelas VII SMP Al Islam Gunungpati pada materi pokok segitiga yang diajar dengan model pembelajaran kooperatif tipe NHT berbantuan alat peraga lebih baik daripada yang diajar degan model pembelajaran tipe CTL.

No comments:

Post a Comment