Download Disini : http://www.ziddu.com/download/13322323/TestIQ.doc.html
5. Teori Primary Mental Ability
Teori ini dikembangkan oleh L.L. Thuestone, berdasarkan analisis faktor dengan jalan mengkorelasikan 60 tes, yang akhirnya disusun adanya kecakapan-kecakapan primer. Ada beberapa kecakapan primer dalam intelegensi, yaitu :
Verbal comperehesion (kemampuan verbal) : kemampuan menggunakan bahasa.
Word fluency (kefasihan kata-kata) : faktor kelancaran atau kefasihan menggunakan kata-kata dan faktor ini secara umum dianggap sesuatu indikator mudah tidaknya seseorang mengubah rasionya dan mengalihkan rasionya sesuai dengan kebutuhan.
Number facility (faktor bilangan) : kemampuan untuk bekerja dengan bilangan.
Spetail relation (relasi ruang) : suatu kemampuan untuk mengadakan orientasi dalam ruang.
Associative memory (faktor ingatan) : kemampuan untuk mengingat.
Perceptual speed (kecepatan persepsi) : kemampuan untuk mengamati dengan cermat dan tepat.
Induction (faktor induksi) : kemampuan untuk berpikir yang logis.
Menurutnya intelegensi merupakan suatu perpaduan dari beberapa faktor dalam suatu jumlah yang relatif pada diri seseorang.
6. Teori Hirarkis (Hirarchical theories)
Teori ini berusaha mengungkapkan skema organisasi faktor-faktor kecakapan intelek dan memberikan gambaran secra hirarkis hubungan antara faktor-faktor kecakapan intelek mulai dari yang bersifat umum sampai yang spesifik. Teori ini memadukan adanya faktor umum (faktor “g”) dan faktor spesifik (faktor “s”) juga faktor “c” yaitu terletak antara faktor “g” dan faktor “s”.
Binet-Simon
Tahun 1916, Lewis Terman, seorang psikolog dari Amerika membuat banyak perbaikan dari tes Binet-Simon. Ia menetapkan indeks numerikyang menyatakan kecerdasan sebagai rasio (perbandingan) antara usia mental (mental age) dengan usia kronologis (chronological age). Hasil perbaikan ini disebut tes Stanford-Binet. Tes Stanford-Binet ini banyak digunakan untuk mengukur kecerdasan anak-anak sampai usia
13 tahun. Tes Binet-Simon atau tes Stanford-Binet dinilai masih terlalu umum. Para ilmuwan kemudian mengetahui bahwa intelegensi tidak hanya terdiri dari satu faktor yang umum, namun juga terdiri dari faktor-faktor yang lebih spesifik.
Wichsler
Berdasarkan teori Binet-Simon,dikembangkanlah teori yang disebut teori faktor. Alat yang dikembangkan menurut teori faktor ini adalah WAIS (Wechsler Adult Intelligence Scale) untuk orang dewasa, dan WISC (Wechsler Intelligence Scale for Children) untuk anak-anak. Skala ini lebih dikenal dengan skala Wechsler, yang melihat intelegensi sebagai kapasitas seseorang untuk mengatasi masalah sehari-hari menggunakan pengetahuan yang dia miliki.
Sumber http://heru-ferdi.blogspot.com/2010/07/test-iq.html
Page 1
Bab6 TesIntelegensi
Dalam bab ini akan dibahas beberapa materi, antara lain:
A. Definisi Tes Intelegensi
B. Beberapa Sifat Tes Intelegensi
1. Tes Individual dan Tes Klasikal
2. Hubungan Antara Intelegensi dengan Kreativitas
3. Bebas Budaya dan Penggunaan Pada Anak Khusus
C. Syarat-syarat Tes Yang Baik
1. Keandalan (Validitas)
2. Keterandalan (Reliabilitas)
LATIHAN SOAL
A. DEFINISITES INTELEGENSI
Apabila anda sebagai psikolog ingin menguji perbendaharaan kata pada anak-anak,
ketelitian seorang akuntan, atau koordinasi tangan dan mata bagi pilot, maka anda tentu akan
menguji kinerja (performance) mereka dengan tes psikologi, masing-masing adalah tes
rangkaian kata, tes penjumlahan matematika, dan tes motorik. Masing-masing tes tersebut
dapat dibagi-bagi lagi menjadi beberapa sub tes. Lalu apa yang dimaksud dengan tes
psikologi?
Tes psikologi pada dasamya adalah sampel perilaku yang diambil pada suatu saat
tertentu. Tes seringkali dibedakan menjadi tes prestasi dan tes bakat. Tes prestasi digunakan
untuk mengukur ketrampilan yang telah dicapai/dipelajari dan menunjukkan apa yang dapat
dilakukan sesorang pada saat ini, sedangakn tes bakat adalah untuk memprediksi apa yang
dapat dilakukan seseorang apabila dilatih. Perbedaan ini akhimya tidak dianggap sebagai
perbedaan, melainkan dianggap sebagai begian dari suatu kesatuan (Atkinson dkk., 1993).
Suatu tes psikologi dalam mengukur sampel perilaku harus memiliki sifat standar dan
objektif. Standardisasi berhubungan dengan keseragaman tes dalam hal administrasi dan
skoring, sementara objektivitas berhubungan dengan standardisasi, terutama dalam hal
administrasi, skoring, dan interpr~asi skor yang hams tidak bergantung kepada penilaian
subjektif dari pengujinya (Anastasi, 1988). Keseragarnan tes beserta validitas dan reliabi-
litasnya akan dibahas dalam sub bab terakhir dalam babini.
95
________________________________________
Page 2
Intelegensi atau kecerdasan sering diasosiasikan dengan kecerdikan, kemengertian,
kemampuan untuk berpikir, kemampuan untuk menguasai sesuatu, kemampuan untuk
menyesuaikan diri dengan situasi atau lingkungan tetentu, dan sebagainya. Lalu apa pengertian
intelegensi itu?
Pada tahun 1982, Sternberg dkk. merancang suatu studi untuk menemukan keberagaman
orang-orang didalam mendefinisikan intelegensi. Subjek penelitiannya adalah duakelompok
yang berbeda, yaitu orang awam dan para ahli psikologi yang secara khusus mengkaji
mengenai intelegensi. Pada kedua kelompok tersebut, para peneliti memberikan daftar
beberapa orang dengan beberapa karakteristik tertentu dan kemudian diminta untuk menilai
keragaman kemampuan yangdidasarkan kepadakarakteristik tersebut. Hasilnya menunjukkan
bahwa pada kebanyakan orang awam mengira bahwa intelegensi adalah kemampuan untuk
memecahkan masalah secara praktis, kemampuan verbal, dan kompetensi sosial. Kemampuan
untuk memecahkan masalah secara praktis termasuk di dalamnya penggunaan logika,
menghubungkan ide-ide, dan pandangan kepada masalah secara keseluruhan. Kemampuan
verbal meliputi penggunaan dan pemahaman bahasa secara lisan dan tulisan dengan cara
yang baik. Kompetensi sosiallebih menekankan kepada interaksi yang baik dengan orang
lain, yaitu tentang pemikiran yang terbuka pada perbedaan jenis manusia dan menunjukkan
minat dalam topik-topik yang beragam. Sementara itu para pakar psikologi menyebutkan
bahwa intelegensi dapat diperoleh dari intelegensi verbal, kemampuan dalam memecahkan
masalah, dan intelegensi praktis. Ini berarti terdapat hubungan yang dekat dengan pendapat
orang awam. Perbedaan pemikiran utama di antara dua kelompok tersebut adalah satu
penekanan, dimana awam menekankan kompetensi sosial, sementara para pakar tidak
mempertimbangkan hal tersebut sebagai hal yang esensial dalam intelegensi. Di lain pihak,
para pakar mempertimbangkan motivasi sebagai faktor yang penting, dimana motivasi ini
tidak terlihat di daftar yang diberikan oleh orang awam (Morris, 1990).
Banyak ahli yang berbeda pendapat dalam mendefinisikan apa itu intelegensi. Seperi
misalnya pada pertentangan antara kubu Spearman dan kubu Thurstone/Guilford, yang
kemudian dikenal dengan dua buah teori mengenai lumpers (gumpalan) dan splitters
(pecahan) (Mayr dalam Morris, 1990). Spearman berpendapat bahwa intelegensi adalah
kemampuan urnurn untuk berpikir dan mempertimbangkan. Sementara Thurstone melihat
kecerdasan sebagai suatu rangkaian kemampuan
yang terpisah. Thurstone meyakini
bahwa kemampuan seperti numerik, ingatan, dan kefasihan berbicara, secara bersama-sama
akan membentuk perilaku pandai. Bahkan Guilford lebih tegas mengatakan bahwakecerdasan
terbentuk dari 120faktor yang berbeda-beda. Perdebatan seperti ini masih tetap aktual sampai
kini.
J.P. Guilford (dalam Morris, 1990) membedakan tiga macam kemampuan mental dasar,
yaitu: operation (tindakan berpikir), contents (istilah-istilah dari hal-hal yang kita pikirkan,
seperti kata-kata atau simbol-simbol), dan product (ide-ide yang dapat kita hasilkan). Lihat
Gambar V.2. pada bab 5.
Menurut Morgan dkk. (1984) setiap teori tentang intelegensi di atas tentunya akan
membawa pengaruh pada perbedaan cara dalam pengukuran untuk memperkirakan
96
________________________________________
Page 3
kemampuan mental seseorang. Sebagai contoh, teori Faktor G akan menyarankan bahwa
skor tunggal akan dapat mewakili intelegensi secara adekuat. Sementara ahli-ahli lain yang
menyarankan perbedaan perangkat dari faktor-faktor memisahkannya ke dalam subtes-
subtes. Kita kenaI dua buah tes intelegensi individual yang terbaik yaitu Binet dan Wechsler.
B. BEBERAPA SIFAT TES INTELEGENSI
Menurut Atkinson dkk. (1993) intelegensi oleh beberapa pakar psikologi dipandang
sebagaikapasitasumumuntukmemahamidanmenalarsesuatuyangkemudiandiejawantahkan
ke dalam berbagai cara. Asumsi Binet adalah meski suatu tes intelegensi terdiri dari berbagai
macam butir soal (yang mengukur kemampuan seperti rentang ingatan, berhitung, dan kosa
Tabel VI.I. Beberapa Contoh Item-item dalam Skala Intelegensi Stanford-Binet
Usia
TUGAS
2
3
4
5
6
8
14
Dewasa
(15 th.
ke atas)
Menyebut bagian-bagian tubuh: Kepadaanakditunjukkansebuahkertasyangbesar
dan diminta untuk menunjukkan berbagai bagian tubuh.
Ketrampilan visual motorik: Kepada anak ditunjukkan sebuah jembatan yang
disusun dari tiga balok dandiminta untuk membangun jembatan seperti itu; Dapat
meniru sebuah lingkaran.
Analogi yang berlawanan: Mengisi titik-titik dengan kata yang tepat jika di-
tanya:"Saudara laki-Iakiseorang pria adalah ; Saudaraperempuan adalah seorang ;
Siang hari terang, malam hari.........
Penalaran: Menjawab dengan tepatjika ditanya:
"Mengapa kita memerlukan rumah?"
"Mengapa kita memerlukan buku?"
Perbendaharaan kata: mendefinisikan kata seperti:
bola, topi, dan tungku.
Ketrampilan visual motorik: Dapat meniru gambar sebuah persegi empat.
Konsep angka: Dapat memberikan 9 buah balok kepada penguji jika diminta
melakukannya.
Ingatan tentang cerita: Mendengarkan sebuah ceritadan menjawab pertanyaan tentang
cerita tersebut
Kesimpulan: Penguji melipat sehelai kertas beberapa kali, menggunting sudutnya
setiap kali melipat.
Subjek ditanya tentang cara menetapkanjumlah lubang yang akan terjadi bila kertas
itu dibentangkan.
Perbedaan: Dapat menjelaskan perbedaan antara "kesengsaraan dan kemiskinan";
"watak ke dan reputasi"
Ingatan tentang angka yang dibalik: Dapat mengulangenam angka secara mundur
(dalam susuna terbalik) setelah dibaca keras oleh penguji.
Sumber: Atkinson dkk.(1993)
97
________________________________________
Page 4
kata) seperti dalam tes Binet, akan tetapi anak yang cerdas akan cenderung mendapatkan skor
yang lebih tinggi dari pada anak yang bodoh. Dengan demikian, Binet dan Simon lalu
berasumsi bahwa tugas yang berbeda-beda tersebut menggali kecakapan atau kemampuan
dasar. Dalam intelegensi kecakapan tersebut jika mengalami perubahan dan kekurangan
akan mempengaruhi kehidupan praktis. Kecakapan ini berupa daya timbang, akal sehat, cita
rasa praktis, inisiatif, dan kecakapan untuk menyesuaikan diri terhadap situasi. Menimbang
dengan baik, memahami dengan baik, menalar dengan baik, kesemua- nya itu merupakan
kegiatan intelegensi yang sangat penting.
David Wechsler (dalam Atkinson dkk., 1993) meski dengan tes intelegensi dengan
beragam skala, juga meyakini bahwa intelegensi merupakan himpunan kapasitas untuk
bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan berhubungan dengan lingkungan
secara efektif.
Tabel VI.2. Beberapa Contoh Item-item dalam WISC
(Wechsler Intelligence Scale for Children)
TES
URAIAN
Skala verbal
Information
Comprehension
Arithmetic
Similarities
Digit Span
(Deret angka)
Vocabulary
Pertanyaan-pertanyaan tentang infonnasi yang umum: misalnya, "Satu kilo-
gram sarna dengan berapa pon?"
Mengukur infonnasi praktis dan kemampuan untuk mengevaluasi pengalaman
masa lampau; misalnya, Mengapa kita perlu menabung?"
Soal-soal verbal yang mengukur penalaran aritmetika
Menanyakan kesamaan objek atau konsep tertentu (misalnya: telur & benih);
mengukur pemikiran abstrak.
Serangkaian angka yang disajikan
secara auditoris (misalnya 7-5-6-3-8) diulang dari depan atau dari belakang;
mengukur perhatian dan ingatan luar kepala
Mengukur pengetahuan kita
Skala performance
Digit symbol
Tugas pengkodean yang diberi batas waktu dimana angka diasosiasikan
dengan berbagaimacam bentuk tanda; mengukur kemampuan belajar menulis.
Picture
Bagian yang hilang dari gambar yangcompletation tidak lengkap hams dicari
dan disebutkan; mengukur kemampuan untuk memahami dan menganalisis
pola.
Block design
Susunan yang tergambar hams ditim dengan menggunakan balok; mengukur
kemampuan untuk memahami dan menganalisis pola.
Picture
Serangkaian gambar hams disusun arrangement menjadi cerita yang hidup
dengan urutan ke kanan; mengukur pemahaman tentang situasi sosial.
Object
Potongan-potongan kayu hams disatukan assembly untuk membentuk suatu
bendayangsempurna;mengukurkemampuanyangberkaitandenganhubungan
bagian-keselumhan.
98
Sumber: Atkinson dkk.(1993)
________________________________________
Page 5
Beberapasifatintelegensidiatasadalahsifat-sifatyangbersifatteknisdalamhubungannya
dengan penyusunan tes intelegensi. Beberapa sifat lain dari tes intelegensi dan hasil
pengukurannya antara lain adalah sebagai berikut:
a. Tes individual dan tes klasikal;
b. Hubungan antara intelegensi dengan kreativitas;
c. Bebas budaya dan penggunaan pada anak khusus.
1. Tes Individual dan Tes KIasikal
Pada bagian terdahulu dikatakan bahwa tes Binetdan tes Wechsler adalahteskemampuan
individual, karena kedua tes tersebut dilaksanakan pada satu individu oleh seorang penguji
yang dilatih secara khusus. Sementara itu kitajuga mengenal tes kemampuan klasikal, yang
dapat dilakukan terhadap sejumlah orang dengan satu orang penguji, serta biasanya dalam
bentuk tertulis. Tes kemampuan yang bersifat klasikal tersebut berfungsijika sejumlah orang
harus segera dievaluasi, sementara hanya terdapat sedikit orang penguji. Salah satu bentuk
tes klasikal adalah SPM (Standard Proggresive Matrices).
2. Hubungan Antara Intelegensi Dengan Kreativitas
Menurut Atkinson dkk. (1993) tes intelegensi umum (seperti Binet dan Wechsler)
ternyata berkorelasi cukup tinggi dengan prestasi belajar di sekolah, serta berkorelasi yang
lebih rendah dengan prestasi intelektual di kemudian hari (bila dibandingkan prestasi
belajar). Akan tetapi tes intelegensi tidak dapat mengukur aspek penting dari intelegensi yaitu
pemikiran kreativitas atau pemikiran orisional.
Dalam suatu pemecahan masalah umumnya meliputi dua fase yaitu mencari beberapa
alternatif dan kemudian memilih salah satu alternatif tersebut yang tampaknya dianggap
paling tepat. Fase yang pertama dapat diasumsikan sebagai pemikiran divergen, dimana
pemikiran individu menyebar pada sejumlah alur yang berbeda. Sedangkan yang kedua
diasumsikan sebagai pemikiran konvergen, dimana pengetahuan dan aturan logika digunakan
untuk memperkecil kemungkinan guna memperoleh kemungkinan pemecahan masalah
yang tepat.
Sebagian besar tes intelegensi menekankan kepada pemikiran konvergen, yang
menyajikan masalah yang memiliki jawaban tepat yang dirumuskan dengan baik. Tes-tes
intelegensi tradisional tersebutumumnya tidak dapat menggali kemampuan berpikirdivergen
pada subjek yang dikenai tes.
Dua pertanyaan mendasar yang kemudian muncul: apakah kemampuan yang diukur
melalui tes kreativitas berbeda dengan tes yang diukur melalui tes intelegensi umum?
Apakah skor pada tes intelegensi tersebut dapat memprediksi prestasi kreatif dalam
kehidupan sehari-hari?
Menurut Atkinson dkk. (1993) kemamapuan yang akan digali melalui tes intelegensi dan
tes kreativitas tampaknya akan selalu tumpang tindih. Untuk suatu populasi, tes intelegensi
cenderung berkorelasi positif dengan skor pada tes kreativitas; dimana orang yang memiliki
IQ di atas rata-rata cenderung mencapai skor di atas rata-rata pada tes kreativitas. Akan tetapi
99
________________________________________
Page 6
pada tahap intelegensi tertentu (IQ sekitar 120), terdapat korelasi yang rendah antara skor
intelegensi dengan skor kreativitas. Beberapaindividu yang memiliki skoryang sangat tinggi
pada tes intelegensi akan memperoleh skor yang rendah pada tes kreativitas. Sedangkan
individu yang memiliki intelegensi sedikit di atas rata-rata akan memperoleh skor yang tinggi
pada tes kreativitas. Sehingga dapat dikatakan bahwa pada distribusi bagian atas, kreativitas
tidak tergantung pada intelegensi.
Lalu apakah hasHtes kreativitas dapat diprediksi sebagai alat untuk melihat kreativitas
dalam kehidupan sehari-hari?
Menurut Kogan dan Pankove (dalam Atkinson dkk., 1993)kita hanya dapat berspekulasi
tentang apakah tes kreativitas dapat memprediksi prestasi kreatif yang sebenamya. Beberapa
penelitian jangka panjang telah dilakukan, yang hasilnya tidak menggembirakan. Salah
satunya menyimpulkan bahwa terdapat korelasi yang rendah antara skor berpikir divergen
dengan kecakapan ekstrakurikuler yang membutuhkan bakat dalam hal kepemimpinan,
drama, seni, atau ilmu pengetahuan pada siswa-siswa sekolah lanjutan.
Tabel VI.3. Beberapa Contoh Item-item dalam Tes Kreativitas
1. Penggunaan yang tidak biasa (Guilford, 1954)
Sebutkansebanyaktnungkin .penggunaan:
a. tusukgigi
b. batubara
c. p~njepitkerta$
2. A.kibat(GQilford, 1954)
Bayangkan §emua hal yang mungkio terjadi bila tiba-tibahukum nasional dan
hukum daerah dihapuskan
3. A.s()siasijauh (Mednik, 1962)
Carila.hkatakeempa.tyal1gdhpa.tdia.Sosiasika.ndengan setiap kata dari ketiga.kata.
di bawah ini:
a. tikus- biru -pondok
b. keluar - anjing- kucing
c. roda -listrik- tinggi
d. heran - garis"ulangtahQn
4. A.$osiasikhta(Getzels dal1Jackson, 1962)
Tuli§kan sebanyakmllngkip makna setiap kata.di bawah ini:
a. itik
b. saku
c. bllbungan
d. adil
Sumber: Atkinson dkk.(1993)
100
________________________________________
Page 7
Agaknya untuk memperoleh prestasi kreatif, dibutuhkan keduanya baik kreativitas
untuk berpikir divergen maupun intelegensi untuk berpikir konvergen. Para peneliti yang
melakukan penelitian terhadap para ilmuwan dan seniman menyimpulkan bahwa faktor
kepribadian seperti kebebasan berpendapat, motifberprestasi, inisiatif, dan adanya toleransi
terhadap ambiguitas (kemenduaan), merupakan syarat penting bagi prestasi kreatif, yang
kesemuanya itu tidak dapat diukur melalui tes kreativitas (Atkinson dkk., 1993).
3. Bebas Budaya dan Penggunaan Pada Anak Khusus
Menurut Atkinson dkk. (1993) penampilan seseorang dalam suatu tes amat tergantung
pada kebudayaan mana seseorang itu dibesarkan. Hal ini akan nyata benar terutama pada tes
verbal yang membutuhkan pemahaman bahasa tertentu.
Suatu tes umumnya memang dirancang untuk mengukur intelegensi pada orang yang
berada di dalam kebudayaan dimana tes tersebut dirancang. Suatu tes yang bebas budaya
(culturefair) dikembangkan dengan cara meminimalkan penggunaan bahasa, ketrampilan,
dan nilai-nilai yang berbeda-beda dari kebudayaan satu dengan yang lain. Suatu contoh dari
tes bebas budaya adalah Goodenough-Harris Drawing Test. Dalam tes ini subjek diminta
menggambar manusia semampunya (semaksimal yan£dia dapat). Gambar manusia tersebut
diskor dari proporsi, ketepatannya, dan kelengkapannya yang kesemuanya itu dapat diwakili
dari bagian tubuh, detil pakaian, dan sebagainya. Bukannya diskor dari bakat artistiknya
(Morris, 1990).
Contoh lain dari tes bebas budaya adalahStandard Progressive Matrices, yang berisikan
60 rancangan. Subjek diminta untuk memilih dari 6 sampai 8 pilihan jawaban dari setiap
pertanyaan.
Pilih salahsatu huruf di bawah ini sebagai penutup yang terbaik untuk melengkapi pola
gambar
a
b
c
EZ)
+
..::::.
CD
+ +
v
+ +
......
d
e
f
I+~) CD ~tt>
Gambar VI.I. Salah Satu Item dalam SPM (Standard Progressive Matrices)
Sumber: Morris (1990).
Cattel (dalam Morris, 1990)mengembangkan Culture Fair Intelligence Test (CFIT), yang
berusaha mengkombinasikan beberapa pertanyaan pemahaman verb engetahuan yang bebas
budaya. Dengan membandingkan skor-skor dalam dua macam pertanyaan, maka faktor
budaya dapat dikesampingkan.
101
________________________________________
Page 8
Pilihlah salah satu item untuk melengkapi rangkaian empat gambar di sebelah kiri
Gambar VI.2. Salah Satu Item dalam CFIT (Culture Fair Intelligence Test)
Sumber: Morris (1990)
Anak yang tuli akan membutuhkan waktu lebih lama untuk mempelajari kata-kata dari pada
anak normal. Para imigran atau tenaga kerja asing yang berprofesi sebagai pengacara atau
insinyur tentu akan membutuhkan waktu yang lama dalam mempelajari bahasa Indonesia.
Bayi di bawah tiga tahun tentu akan mengalami kesulitan dalam menjawab beberapa
pertanyaan verbal. Lalu muncul pertanyaan: bagaimanakitamengukurdengan tes intelegensi
terhadap orang-orang seperti itu?
Cara yang digunakan adalah dengan meminimalkan penggunaan kata-kata, yaitu dengan
perform ace test atau tes kinerja, yang merupakan tes non-verbal. Salah satu contoh tes
kinerja yang pertama kali dikembangkan adalah pada tahun 1866 adalahSeguin Form Board,
yang merupakan suatupuzzle yang dipakai pada anak-anak yang mengalami retardasi mental.
Tes kinerja lainnya yang terkenal adalah Porteus Maze, yang berupajaringan jalan yang rumit
dan memiliki tingkat kesulitan yang bertingkat (Morris, 1990).
Bagi anak-anak yang masih kecil, salah satu tes yang paling efektif digunakan adalah
Bayley Scales of Infant Development. Skala Bayley digunakan untuk mengevaluasi
perkembangan kemampuan anak dari umur 2 bulan hingga 1,5 tahun. Skala-skalanya
meliputi persepsi, memori, komunikai verbal, dan beberapa skala motorik seperti duduk,
berdiri, berjalan, dan ketangkasan. Skala Bayley inijuga dapat digunakan untuk mendeteksi
tanda-tanda awal dari kerusakan sensoris dan neurologis, gangguan emosional, dan kesulitan
beradaptasi dengan lingkungan fisik (Morris, 1990).
c. SYARAT-SYARAT
TES YANG BAlK
Sebuah tes dapat dikatakan baik apabila skornya dapat dikatakan sudah sahih (valid) dan
andal (reliable).
1. Keandalan
(Validitas)
Validitas berasal dari kata validity yang berarti sejauhmana ketepatan dan kecermatan
suatu tes dalam melakukan fungsi ukurnya. Suatu tes dapat dikatakan mempunyai validitas
yang tinggi apabila tes tersebut menjalankan fungsi ukurnya, yang sesuai dengan maksud
dikenakannya tes tersebut. Suatu tes yang menghasilkan data yang tidak relevan dengan
tujuan diadakannya pengukuran dikatakan sebagai tes yang memiliki validitas yang rendah.
Sisi lain dari konsep validitas adalah kecermatan pengukuran. Suatu tes yang validitasnya
102
________________________________________
Page 9
tinggi bukan saja akan rnenjalankan fungsi ukurnya dengan tepat, akan tetapi harus juga
rnerniliki kecermatan tinggi (Azwar, 1989).
Estirnasi validitas suatu pengukuran pada urnurnnya dinyatakan secara ernpiris oleh
suatu koefisien yang kernudian disebut koefisien validitas. Koefisien ini dinyatakan oleh
korelasi antara distribusi skor tes yang bersangkutan dengan distribusi suatu skor suatu
kriteria. Kriteria ini dapat berupa skor tes lain yang rnernilikifungsi yang sarna, dan dapat pula
berupa ukuran-ukuran yang lain yang relevan (Azwar, 1989).
Apabila suatu tes diberi sirnbol X dan skor kriteria diberi sirnbol Y, rnaka koefisiensi
korelasi antara tes dan kriteria rnerupakan suatu koefisien validitas dengan sirnbol 'XY
(Azwar, 1989).
2.
Keterandalan (Reliabilitas)
Reliabilitas berasal dari kata reliability, yang berasal dari kata rely (=dipercaya) dan
ability (=kernarnpuan). Suatu tes dapat dikatakan reliabel apabila rnerniliki reliabilitas yang
tinggi.
Reliabilitas seringkali rnerniliki beragarn istilah lain seperti keterpercayaan, keterandalan,
keajegan, konsistensi, kestabilan, dan sebagainya yang kesernuanya itu rnengacu kepada
konsep reliabilitas yang berarti sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya. Artinya
hasil ukur yang dapat dipercaya apabila dalarn beberapa kali pengukuran terhadap kelornpok
subjek yang sarna akan diperoleh hasil yang relatif sarna,jikalau aspek yang diukur dalarn diri
subjek rnernang belurn berubah. Pengertian relatif tersebut rnenunjukkan bahwa terdapat
toleransi terhadap perbedaan-perbedaan kecil diantara hasil pengukuran. Apabila perbedaan
hasil pengukuran tersebut besar dari waktu ke waktu, rnaka tes tersebut tidak dapat dipercaya
atau tidak reliabel (Azwar, 1989).
Untuk rnengukur reliabilitas dapat dilakukan dengan perolehan dua nilai dari orang yang
sarna pada tes yang sarna, yakni dengan cara rnengulanginya atau dengan rnernberikan dua
bentuk tes yang berbeda tetapi setara. Jika setiap individu dapat rnencapai skor yang kurang
lebih sarna pada kedua pengukuran tersebut, rnaka berari bahwa tes tersebut reliabel. Meski
suatu tes dapat dikatakan reliabel, beberapa perbedaan dapat rnuncul di antara kedua karena
adanya perbedaan peluang dan kesalahan pengukuran. Oleh karena itu,dibutuhkan pengukuran
statistik mengenai tingkat hubungan di antara seperangkat pasangan skor. Tingkat hubungan
tersebut ditetapkan dengan koefisien korelasi (Atkinson dkk., 1993).
Menurut Azwar (1989) koefisien korelasi dilambangkan dengan huruf r. Apabila skor
pada tes pertarna diberi larnbang X dan skor yang kedua (paralelnya) diberi larnbang X' , rnaka
koefisien korelasi antara keduanya diberi larnbang rxx" dirnana sirnbol ini kernudian
digunakan sebagai sirnbol koefisien reliabilitas.
Secara teoritis, besarnya koefisien reliabilitas berkisar dari 0sarnpai I. Akan tetapi pada
kenyataannya koefisien korelasi sebesar 1 tidak akan pernah dijurnpai. Di sarnping itu,
rneskipun koefisien korelasi dapat saja positif (+) rnaupun negatif (-), akan tetapi hal
reliabilitas koefisien yang besarnya kurang dari 0 tidak ada, karena interpretasi reliabilitas
selalu rnengacu kepada koefisien yang positif (Azwar, ]989).
103
________________________________________
Page 10
Apabila koefisien reliabilitas sebesar rxx.=l, berarti adanya konsistensi yang sempurna
pada alat ukur yang bersangkutan. Konsistensi sempurna ini tidak akan pernah terjadi, karena
dalam pengukuran psikologis, manusia merupakan sumber error yang potensial (Azwar,
1989).
Selain validitas dan reliabilitas, suatu tes yang baik juga harus memenuhi syarat
keseragaman prosedur tes. Untuk menghindari pengaruh variabel yang mengganggu,
maka suatu tes harus seragam di dalam prosedur. Keseragaman tersebut meliputi: instruksi,
batas waktu (speed test atau power test), dan cara skoring. Dalam instruksi misalnya,
penjelasan yang diberikan oleh penguji mengenai cara penyajian materi tes seyogyanya harus
bersifat standar dari waktu ke waktu (Atkinson dkk., 1993).
Akan tetapi tidak semua variabel yang mengganggu dapat kita kendalikan dengan baik,
seperti misalnya penampilan umum (ekspresi wajah, nada suara, pakaian, dan sebagainya),
jenis kelamin dan suku bangsa penguji juga akan mempengaruhi hasil tes subjek (Atkinson
dkk., 1993) . Apabila seorang anak perempuan dari Jawa Tengah mengerjakan tes dengan
hasil buruk ketika diuji oleh seorang penguji pria dari Batak, harus dipertimbangkan pula
bahwa kecemasan dan motivasi anak tersebut mungkin akan berbeda apabila diuji oleh
penguji perempuan dari Jawa.
LA TIHAN SOAL
1. Suatu tes psikologi dalam mengukur sampel perilaku harus memiliki sifat standar dan
objektif. Pernyataan ini dikemukakan oleh:
a. Anastasi
b. Terman
c. Guilford
d. Atkinson
2. Tes psikologi padadasarnyahanyamengambil beberapadari perilaku secarakeseluruhan,
sehingga dapat dikatakan hanya mengambil
perilaku.
a. populasi
b. sampel
c. aspek
d. unsur
3. Tes yang digunakan untuk mengukur ketrampilan yang telah dicapai/dipelajari dan
menunjukkan apa yang dapat dilakukan sesorang pada saat ini disebut:
a. tes kepribadian
b. asesmen
c. tes bakat
d. tes prestasi
4. Tes untuk memprediksi apa yang dapat dilakukan seseorang apabila dilatih adalah:
a. tes kepribadian
b. asesmen
c. tes bakat
d. tes prestasi
5. Syarat yang berhubungan dengan keseragaman tes dalam hal administrasi dan skoring
disebut
a. validitas
b. reliabilitas
c. standar
d. objektif
104
________________________________________
Page 11
6. Teori mengenai lumpers (gumpalan) dalam intelegensi dipelopori oleh :
a. Spearman
b. Thurstone
c. Guilford
d. Terman
7. 120 faktor yang berbeda-beda dalam intelegensi dipelopori oleh
a. Spearman
b. Thurstone
c. Guilford
d. Terman
8. Aktivitas-aktivitas mental melibatkanoperation,content,danproductdipelopori oleh:
a. Spearman
b. Thurstone
c. Guilford
d. Terman
9. Tes Binet dan tes Wechsler adalah tes yang bersifat
a. individual
b. klasikal
c. kinerja -
d. bebas budaya
10. Tes Standard Progressive Matrices adalah tes yang bersifat
a. individual
b. klasikal
c. kinerja
d. bebas budaya
11. Dalam suatu pemecahan masalah diperlukan:
a. pemikiran divergen yang dapat diukur dengan IQ
b. pemikiran konvergen dapat diukur dengan IQ
c. a dan b benar
d. a dan c salah
12. Faktor yang paling banyak berpengaruh terhadap prestasi kreatif adalah:
a. IQ
b. CQ
d. IQ dan CQ
d. Faktor kepribadian
13. Suatu tes yang bebas budaya (culturefair) dikembangkan dengan cara:
a. meminimalkan penggunaan bahasa
b. meminimalkan penggunaan ketrampilan
c. meminimalkan penggunaan nilai-nilai
d. a, b, c benar.
14. Contoh dari tes bebas budaya :
a. Goodenough-Harris Drawing Test
b. Standard Progressive Matrices
c. Culture Fair Intelligence Test
d. a, b, c benar
105
---
________________________________________
Page 12
15. Contoh dari tes kinerja:
a. Goodenough-Harris Drawing Test
b. Standard Progressive Matrices
c. Culture Fair Intelligence Test
d. Puzzle dan Maze
16. Sebuah tes dapat dikatakan baik apabila :
a. skomya sudah sahih (valid)
b. skomya sudah andal (reliable)
c. standar dan objektif
d. sernua benar
17. Apabila suatu tes telah dapat rnelakukan fungsi ukumya, rnaka tes dapat dikatakan
rnernpunYal
a. validitas yang tinggi
b. reliabilitas yang tinggi
c. objektivitas yang tinggi
d. standardisasi yang tinggi
18. Suatu tes dapat dilihat dari sejauh mana hasil ukur yang dapat dipercaya apabila dalarn
beberapa kali pengukuran terhadap kelornpok subjek yang sarna akan diperoleh hasil
yang relatif sarna,jikalau aspek yang diukur dalarn diri subjek rnernang belurn berubah.
Kepercayaan tersebut disebut sebagai
tes.
a. validitas
b. reliabilitas
c. objektivitas
d. standardisasi
19. Korelasi antara distribusi skor tes yang bersangkutan dengan distribusi suatu skor suatu
kriteria disebut dengan:
a. koefisien validitas
b. koefisien reliabilitas
c. objektivitas
d. standardisasi
20. Perolehan dua nilai dari orang yang sarna pada tes yang sarna, yakni dengan cara
rnengulanginya atau dengan rnernberikan dua bentuk tes yang berbeda tetapi setara,
disebut sebagai:
a. koefisien validitas
b. koefisien reliabilitas
c. objektivitas
d. standardisasi
21. Koefisien reliabilitas sebesar rxx'=I, berarti adanya konsistensi yang sernpuma pada alat
ukur yang bersangkutan. Konsistensi sernpuma ini tidak akan pemah terjadi, karena :
a. item tes arnbigius
b. human error
c. jurnlah item tidak rnernadai
d. jurnlah subjek tidak rnernadai
106
________________________________________
Page 13
KUNCI JAWABAN:
I. A
6. All.
C
2.B
7.C
12.D
3. D
8. C
13. D
4.C
9.A
14.D
5. C
10. B
15. D
16. D
17. A
18. B
19. A
20.B
21. B
Sumber http://www.pdfqueen.com/macam-macam-tes-psikologi
Page 1
MORALITAS PESERTA DIDIK PADA PENDIDIKAN
INKLUSIF
(Studi Kasus pada Sekolah Inklusi SD Hj.Isriati
Semarang)
TESIS
Diajukan sebagai Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Magister
Studi Islam dalam Konsentrasi Etika/Tasawuf
Oleh :
Siti Barokah
NIM. 065112072
PROGRAM MAGISTER
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
WALISONGO
2008
________________________________________
Page 2
2
DR. H.Abdul Muhaya, MA.
Perum BPI Blok K-17 Ngaliyan Semarang
Telpon, 024 – 7625443
NOTA PEMBIMBING
Pembimbing dengan ini menerangkan bahwa Tesis Saudari Siti
Barokah NIM. 065112072 yang berjudul : “MORALITAS PESERTA
DIDIK PADA PENDIDIKAN INKLUSIF” telah siap dan memenuhi
syarat untuk diujikan sebagai tesis pada konsentrasi Etika
Islam/Tasawuf, Program Pascasarjana IAIN Walisongo tahun
akademik 2007/2008
Semarang, Juli 2008
Pembimbing
DR.H. Abdul Muhaya, M.A.
NIP. 150245380
________________________________________
Page 3
3
DEPARTEMEN DEPARTEMEN AGAMA
iiiiiI
IAIN WALISONGO
PROGRAM PASCASARJANA
Jln. Raya Ngaliyan (kampus 3) Semarang
50185. Telp./Fax (024) 7614454. E-mail :
Pascaws @ plasa.com Home Page :
www.pascawalisongo.cjb.com
PENGESAHAN
Tesis berjudul
: MORALITAS PESERTA DIDIK PADA
PENDIDIKAN INKLUSIF
(Studi Kasus pada Sekolah Inklusi SD
Hj.Isriati Semarang)
Ditulis oleh
: Siti Barokah
NIM
: 065112072
Telah dapat diterima sebagai salah satu syarat
memperoleh gelar Magister
Studi Islam dalam Konsentrasi Etika/Tasawuf
Semarang, Juli 2008
Direktur
Dr. H. Achmad Gunaryo, M.SocSc
NIP. 150247012
________________________________________
Page 4
4
DEKLARASI
DENGAN PENUH KEJUJURAN DAN TANGGUNG JAWAB,
PENULIS MENYATAKAN BAHWA TESIS INI TIDAK BERISI
MATERI YANG TELAH PERNAH DITULIS OLEH ORANG LAIN
ATAU DITERBITKAN, KECUALI INFORMASI YANG TERDAPAT
DALAM REFERENSI YANG DIJADIKAN SEBAGAI BAHAN
RUJUKAN DALAM PENELITIAN INI.
Semarang, Juli 2008
Penulis,
Siti Barokah
NIM. 065112072
________________________________________
Page 5
5
Abstraksi
Moralitas Peserta Didik pada Pendidikan Inklusif, merupakan
judul yang dipilih dalam penelitian ini untuk mendukung tersedianya
fakta dengan mengungkapkan data dan penalaran moralitas peserta
didik yang dikemas dengan landasan moral budaya Jawa, yaitu prinsip
hormat dan prinsip rukun, yang merupakan moralitas yang
memberikan dukungan untuk menjaga harmoni kehidupan demi
kelangsungan hidup manusia. Gagasan tersebut dilatar belakangi
adanya :
1. Keresahan yang terjadi pada dunia pendidikan tentang
moralitas peserta didik yang berada pada degradasi moral,
hal tersebut sering disaksikan pada tayangan televisi, mass
media dan suguhan-suguhan internet.
2. Pendidikan inklusif sebagai solusi dengan memberikan
pelayanan pendidikan untuk semua, menerima keberbedaan
dan tidak ada diskriminasi.
Fokus pada penelitian ini mengajukan rumusan masalah untuk
mengetahui bagaimana moralitas peserta didik pada SD Hj. Isriati
sebagai penyelenggara pendidikan inklusif yang sekaligus
mengkombinasikan kurikulum dengan syariah Islam dan apakah ada
perbedaan antara peserta didik berkebutuhan khusus dengan peserta
didik non berkebutuhan khusus.
Untuk menjawab permasalahan tersebut diatas, menggunakan
metode pengumpulan data dengan observasi, wawancara, dan telaah
dokumen. Data tersebut diidentivikasi untuk menentukan data yang
mewakili untuk selanjutnya dianalisis. Analisis yang dipergunakan
untuk menguatkan fakta yang ada adalah SPSS.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa peserta didik pada usia 6
sampai dengan 12 tahun yang sederajad dengan peserta didik Sekolah
Dasar yang memiliki kecenderungan untuk menjadi manusia yang
bermoral baik terhadap orang tua, guru dan teman sebayanya, pada
SD Hj Isriati Semarang sebagai penyelenggara Pendidikan Inklusif
menunjukkan hasil yang sangat baik bagi peserta didik berkebutuhan
khusus dengan prosentase, 71, 43 %, moralitas peserta didik non
berkebutuhan khusus, yang tempat duduknya berdekatan dengan
peserta didik berkebutuhan khusus atau normal 1 serta peserta didik
yang tempat duduknya berjauhan atau normal 2 menunjukkan
peringkat baik dengan prosentase, 52, 63 %, sampai dengan 64, 28 %
Fakta tersebut memberikan kontribusi bahwa pendidikan inklusif
adalah wadah pelayanan education for future yang sesuai dengan
fitrah manusia, yaitu kesucian, tanpa melihat perbedaan.
Kata Kunci : Moralitas Peserta Didik terhadap Orang tua, Moralitas
terhadap Guru, serta Moralitas terhadap Teman Sebaya.
________________________________________
Page 6
6
Kata Pengantar
Dengan memanjatkan sembah sujud dan penuh ketaatan hanya
untuk mengabdi kepada Tuhan yang Maha segalanya, kami bersimpuh
tak berdaya kecuali mencari ridhoNya, dan shalawat serta salam kami
panjatkan kepada junjungan dan tauladan seluruh umat manusia,
Muhammad SAW, yang akan kita nantikan syafaatnya di yaumul
kiyamah. Amiin.
Penulisan tesis ini, berusaha untuk mengungkapkan data-data
dan fakta yang berkaitan dengan moralitas peserta didik pada
pendidikan inklusif. Moralitas peserta didik yang akan diteliti dalam
tesis ini dikaitkan dengan moralitas budaya Jawa yaitu prinsip hormat
dan prinsip rukun.
Dalam proses penulisan sampai dengan penyelesaian tesis ini,
tidak lepas dari dorongan semangat, dukungan, tegur sapa, masukan,
bimbingan dari semua pihak, utamanya yang terkait langsung pada diri
penulis, untuk itu perkenankan penulis mengucapkan terima kasih
yang tidak terhingga dan dengan iringan do’a, semoga Yang Maha
Kuasa, selalu melimpahkan ketetapan Iman, Islam serta kesehatan,
sehingga tetap akan terus berbuat kebaikan untuk semua.
Ucapan terima kasih, penulis tujukan kepada :
1. Dr.H. Achmad Gunaryo, M.SocSc, selaku rektor program
Pascasarjana IAIN Walisongo;
2. Prof. Dr. H. Amin Syukur, M.A., selaku penasehat akademik, dan
sekaligus mursyid yang memberi dorongan untuk terus maju
dalam mengikuti perkuliahan di Pasca IAIN Walisongo, serta Drs.
HM. Darori Amin, M.A., selaku penasehat akademik;
3. DR. H.Abdul Muhaya, M.A., selaku pembimbing yang penuh
kesabaran dan kecerdikan, yang telah meluangkan waktu pada
proses penulisan tesis ini;
4. Seluruh dosen pada program Pascasarjana IAIN Walisongo yang
menorehkan ilmunya dan tersirat pada diri penulis untuk terus
________________________________________
Page 7
7
semangat menapaki hidup dengan ilmu, amal dan kebijakan, serta
seluruh perangkat tenaga administrasi yang tidak mampu disebut
namanya satu persatu yang telah membantu terselesainya
penulisan tesis ini;
5. Suamiku, Drs. Pudji Tikno, M.M, Putri-putriku, Puti Widya
Ekasani SE, Osi Isna Sabela dan putra bungsuku Ikhsan Salasa,
yang memberikan dukungan besar berupa dorongan, semangat,
serta mampu menimbulkan persaingan dalam berbuat kebaikan,
yang insya Allah menuju kepada yang diridhoiNya
6. Teman-teman sejawat di Seksi Kurikulum Subdin Pendidikan Luar
Biasa (PLB) Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa
Tengah, yang pada bulan Juli 2008 ini telah bubar dengan
diberlakukannya Susunan Organisasi dan Tenaga Kerja (SOTK)
yang baru dan melebur menjadi Dinas Pendidikan Provinsi Jawa
Tengah
7. Dan seluruhnya yang memberikan dukungan, dorongan, semangat
,bimbingan, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu,
semoga semuanya selalu pada kebaikan yang dilandasi dengan
akal dan syariah yang mampu menuntunnya ke jalan bimbingan
Tuhan.
Dan dengan kerendahan hati, dimohon kritik, saran dan
masukan dari semua pihak untuk perkembangan Pendidikan
Inklusif di masa mendatang, sebagai Pendidikan yang berorientasi
pada rasa atau hati sebagai fitrah yang suci untuk menuju sang
Illahi.
Semarang, Juli 2008
Penulis
________________________________________
Page 8
8
DAFTAR SINGKATAN
ABK
: Anak Berkebutuhan Khusus
ADHD
: Attention Deficit Hyperactivity Disorder
AIDS
: Acquired Immune Deficiency Syndrome
CIBI
: Cerdas Isimewa Bakat istimewa
Dirjen
: Direktorat Jenderal
Dikdasmen : Pendidikan Dasan dan Menengah
Depdiknas : Departemen Pendidikan Nasional
HIV
: Human Immunedeviciency Virus
HAM
: Hal Azasi Manusia
LIRP
: Lingkungan Inklusif Ramah terhadap Pembelajaran
MAN
: Madrasah Aliyah Negeri
Pildacil
: Pilihan Dai Kecil
PLB
: Pendidikan Luar Biasa
PUS
: Pendidikan Untuk Semua
PBB
: Persatuan Bangsa-Bangsa
SLB
: Sekolah Luar Biasa
SD
: Sekolah Dasar
SMP
: Sekolah Menengah Pertama
SMA
: Sekolah Manengah Atas
SPSS
: Statistical Products and Solution Services
SOTK
: Susunan Organisasi dan Tata Kerja
Sisdiknas
: Sistim Pendidikan Nasional
SAW
: Sollallahu a’laihi wa Sallaam
UNESCO : United Nations Educational Scientific and Cultural
Organization
UU
: Undang-Undang
________________________________________
Page 9
9
MOTTO
فرﻌﯾمﻟقذﯾمﻟنﻣ
”Barang siapa yang tidak pernah merasakan, maka
ia tidak akan pernah tahu”
(Sufi)
DAFTAR ISI
________________________________________
Page 10
10
Halaman Judul .............................................................
i
Halaman Persetujuan ...................................................
ii
Halaman Pengesahan ...................................................
iii
Pernyataan Keaslian Karya Tulis Tesis ......................
iv
Abstraksi ......................................................................
v
Kata Pengantar ............................................................
vi
Daftar Singkatan ..........................................................
viii
Motto ............................................................................
ix
Daftar Isi ......................................................................
x
Daftar Tabel ................................................................
xiii
Daftar Lampiran ..........................................................
xiv
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...................................
1
B. Rumusan Masalah .............................................
8
C. Tujuan ...............................................................
8
D. Signifikansi ........................................................
8
E. Telaah Pustaka ..................................................
9
F. Metode Penelitian .............................................
12
1. Pendekatan Penelitian ..................................
12
2. Metode Pengumpulan Data ..........................
12
3. Teknik Analisis Data .....................................
13
G. Sistimatika Penulisan .........................................
13
II. LANDASAN TEORI
A. Definisi Moral, Etika dan Akhlak ....................
16
B. Perbedaan Moral, Etika dan Akhlak ...............
23
C. Persamaan Moral, Etika dan Akhlak ...............
25
D. Teori Moral, Etika dan Akhlak ........................
26
1. Emotivisme ...................................................
26
2. Intuisionisme ................................................
28
3. Konsekuensialisme .......................................
31
________________________________________
Page 11
11
4. Deontologi ....................................................
31
5. Etika Hak ......................................................
33
6. Teori-teori Akhlak ........................................
33
E. Strategi Pembentukan Moralitas .......................
34
- Mujahadah dan Riyadhah ...............................
35
- Kebijakan atau Jalan Tengah .........................
36
- Kepatuhan terhadap Agama ...........................
39
- Kekuatan Ilmu .................................................
42
F. Cakupan Moralitas Peserta Didik
1. Moralitas Peserta Didik ..............................
43
2. Faktor-faktor Pembentuk Moralitas
Peserta Didik ...............................................
46
III. MORALITAS PESERTA DIDIK PENDIDIKAN
INKLUSIF
A. Pengertian dan Konsep Pendidikan Inklusif ......
52
B. Landasan Kekuatan Pendidikan Inklusif ........... 62
C. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus ............ 64
D. Sekilas Perkembangan SD Hj. Isriati Semarang .. 67
E. Aplikasi Pendidikan Inklusif pada SD Hj. Isriati
Semarang ........................................................... 69
F. Moralitas Peserta Didik SD Hj. Isriati Semarang
1. Moralitas Peserta Didik terhadap Orang Tua .. 84
2. Moralitas Peserta Didik terhadap Guru ....... 85
3. Moralitas Peserta Didik terhadap Teman
Sebaya ............................................................ 86
IV. DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA
A. Deskripsi Data Penelitian .................................... 88
B. Hasil Analisis Data Penelitian .............................
105
V. KESIMPULAN DAN SARAN
________________________________________
Page 12
12
A. Kesimpulan ........................................................... 107
B. Saran dan Penutup ............................................... 108
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
________________________________________
Page 13
13
Tabel 1.1. : Data Peserta Didik Berkebutuhan Khusus
SD Hj. Isriati Semarang .........................
6
Tabel 2.1. : Perbedaan Moral, Etika dan Akhlak .......
24
Tabel 2.2. : Ciri-ciri Pemikir Heteronomous dan
Otonomous ...........................................
45
Tabel 3.1. : Kegiatan Pelayanan Guru Pembimbing
terhadap Peserta Didik Berkebutuhan
Khusus ................................................
77
Tabel 4.1. : Deskripsi Subyek Berdasarkan Kelompok
Peserta Didik ......................................
89
Tabel 4.2. : Skor Subyek pada Nilai Rerata, Minimal
dan Maksimal .....................................
90
Tabel 4.3. : Skor Subyek pada Nilai Rerata, Minimal
dan Maksimal untuk ABK ....................
90
Tabel 4.4. : Kategori Moralitas Peserta Didik Berke-
butuhan Khusus berdasarkan Rerataan
Teoritik dan Standar Deviasi ...............
91
Tabel 4.5. : Kategori Moralitas Peserta Didik Normal 1
berdasarkan Rerataan Teoritik dan Standar
Deviasi .............................................
92
Tabel 4.6. : Kategori Moralitas Peserta Didik Normal 2
berdasarkan Rerataan Teoritik dan Standar
Deviasi .............................................
93
Tabel 4.7. : Rekapitulasi Hasil Penelitian Kategori
Moralitas Peserta Didik Berkebutuhan
Khusus, Normal 1 dan Normal 2 .........
94
Tabel 4.8. : Kategori Moralitas Peserta Didik Berke-
s-d
butuhan Khusus berdasarkan Rerataan
Teoritik dan Standar Deviasi ...............
95
Tabel 4.16. : Kategori Moralitas Peserta Didik Berke-
butuhan Khusus berdasarkan Rerataan
Teoritik dan Standar Deviasi ...............
104
DAFTAR LAMPIRAN
________________________________________
Page 14
14
Lampiran 1 : Daftar kuesioner peserta didik
Lampiran 2 : Butir Jawaban Peserta Didik Berkebutuhan Khusus
Lampiran 3 : Butir Jawaban Non Peserta Didik Berkebutuhan
Khusus (Normal 1)
Lampiran 3 : Butir Jawaban Non Peserta Didik Berkebutuhan
Khusus (Normal 2)
Lampiran 4 : Rekapitulasi Butir Jawaban Peserta Didik
Lampiran 5 : Lampiran-lampiran Hasil Analiysis SPSS
________________________________________
Page 15
15
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Moralitas peserta didik merupakan persoalan yang aktual dan
penting untuk dibicarakan, hal itu disebabkan, pertama, adanya
kecendrungan menurunnya moralitas peserta didik terutama di kota
kota besar, kedua, peserta didik merupakan generasi muda yang akan
memegang estafet kepemimpinan bangsa. Ketiga, peserta didik juga
merupakan aset utama bagi kemajuan bangsa dan negara.
Peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha
mengembangkan potensi diri melalui proses pengembangan
pembelajaran yang tersedia melalui jalur, jenjang, dan jenis
pendidikan tertentu (UU Sisdiknas no. 20 tahun 2003).
Dalam proses pengembangan pembelajaran yang dijalani
peserta didik diarahkan pada pembentukan manusia dewasa, memiliki
tanggung jawab menjalankan kewajiban-kewajibannya. Oleh karena
itu, idealnya peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritial keagamaan, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UU Sisdiknas no.
20 tahun 2003).
Bagi peserta didik masa sekolah adalah masa untuk belajar
menjadi orang dewasa, bukan untuk menjadi remaja yang sukses
(Elias, Maurice J.et all, 2003,h.33), berkaitan dengan pendapat
tersebut peserta didik yang dalam proses menuju kedewasaannya
(pendidikan) disiapkan untuk mampu berperilaku baik, memiliki sopan
santun, sehingga memberikan ciri kekhasan sebagai manusia yang
bernilai, mampu menunjukkan jati dirinya, bertanggung jawab dengan
apa yang menjadi pilihan hatinya. Dengan kata lain, pendidikan
tidaklah semata sebagai proses pencerdasan peserta didik, akan tetapi
________________________________________
Page 16
16
pendidikan juga bertujuan untuk menciptakan peserta didik yang
bermoral. Moralitas adalah sopan santun, segala sesuatu yang
berhubungan dengan etiket atau adat sopan santun (Kamus Besar
Bahasa Indonesia, 1990, Balai Pustaka, cet.Ke III: 2288)
Perilaku baik yang dapat disebut moralitas yang sesungguhnya
tidak saja sesuai
dengan standar sosial melainkan juga
dilaksanakan dengan sukarela. Ia muncul bersamaan dari peralihan
dari kekuasaan eksternal ke internal dan terdiri atas tingkah laku yang
diatur dari dalam, yang disertai tanggung jawab pribadi untuk
tindakan masing-masing (Elizabeth B.Hurlock, 1978: 75).
Bertingkah laku baik, bagi peserta didik, seharusnya terwujud
dalam seluruh pola kehidupan yang berimplikasi pada keluarga, guru,
dan teman. Ciri tersebut harus merupakan trade mark yang menjadi
jati dirinya untuk dijadikan bekal menuju kedewasaan peserta didik.
Secara sosiologis, peserta didik merupakan bagian dari
lingkungan dimana mereka hidup, berbuat dan berkarya dengan apa
yang dimilikinya dan apa yang didapatkannya termasuk nilai baik
buruk yang didapatkan secara turun-temurun..
Kondisi-kondisi yang masih konsisten dan mampu memberikan
kekuatan bagi mereka dan merupakan warisan dari nenek moyang
yang tidak pernah luntur oleh perkembangan kehidupan bangsa yang
menggeser nilai-nilai kehidupan bangsa ini ialah prinsip rukun1 dan
prinsip hormat2. Warisan tersebut merupakan warisan budaya yang
luhur, sebagaimana tertuang dalam peribahasa “Rukun agawe santoso,
crah agawe bubrah”. Yang artinya pertikaian membuat perceraian,
rukun membangun kekuatan (Purwadi, Djoko Dwiyanto, 2006: 257).
1 Rukun adalah kesatuan perasaan antar individu dalam melaksanakan sebuah
visi bersama dengan menyingkirkan segala jenis pertengkaran dan pertentangan
(Purwadi, 2006:257)
2 Berdasarkan pendapat, bahwa semua hubungan dalam masyarakat teratur
secara hirarkis, bahwa keteraturan hirarkis itu bernilai pada dirinya sendiri dan
oleh karena itu orang wajib untuk mempertahankannya dan untuk membawa diri
sesuai dengannya (H. Geertz dalam Franz Magnis-Suseno, 2001:60).
________________________________________
Page 17
17
Sikap saling menghargai, saling menghormati, saling
mengasihi, saling berempati, saling tolong menolong dan saling
bekerja sama, seharusnya dipertahankan atau diuri-uri sebagai filosofi
bangsa supaya manusia menjadi manusia yang sehat jasmani, sehat
rokhani, sehat sosial maupun sehat spiritualnya, sebagaimana kriteria
sehat menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Ironisnya, fenomena yang terjadi dalam dunia pendidikan,
mengisyaratkan bahwa telah terjadi degradasi moral, tayangan
Televisi, kupasan media cetak, berita di dalam internet marak dengan
berita-berita tentang sikap-sikap negatif, seperti tidak menghargai, dan
menghormati kepada para guru-guru, bahkan sampai terjadi
perkelaian, tawuran, pelecehan, pemerkosaan dan juga pembunuhan
yang dilakukan oleh peserta didik di jenjang Sekolah Dasar (SD),
Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) di
berbagai kota besar di negara ini. Hal ini merupakan indikasi
merosotnya moralitas yang mustinya dijunjung tinggi demi
terwujudnya manusia yang bermoral. Sehingga yang tercipta sekarang
ini adalah sebuah ras yang non manusiawi, dan inilah mesin berbentuk
manusia yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan dan kehendak alam
yang fitrah (Ary Ginanjar Agustian, 2001: xliii).
Untuk membentuk dan mengarahkan peserta didik pada
moralitas baik atau berperilaku baik diperlukan kondisi dan situasi
yang benar-benar berada dalam keadaan selaras, tenang, tentram,
tanpa perselisihan, pertentangan, damai satu sama lain, suka bekerja
sama, saling menerima, dalam suasana tenang dan sepakat.
Situasi dan kondisi tersebut diatas dianggap sebagai asumsi
bahwa jiwa manusia dalam mengambil keputusan sangat dipengaruhi
oleh kondisi jiwa dan lingkungan dimana mereka hidup, mereka
bersosialisasi, mereka meniru. Menurut Jensen & Kingston (1986),
sebagaimana dikutip oleh John W. Santrock, peniruan merupakan
suatu bagian yang penting dari proses membujuk peserta didik/anak-
________________________________________
Page 18
18
anak untuk berperilaku dengan baik kepada orang lain (John W.
Santrock, 2002: 49)
Dalam perspektif Jawa, pendidikan moral harus diarahkan
pada dua kaidah yang paling menentukan dalam pola pergaulan
masyarakat. Kaidah yang pertama menegaskan bahwa dalam setiap
situasi manusia hendaknya bersikap sedemikian rupa sehingga tidak
menimbulkan konflik. Kaidah kedua adalah sikap hormat, kaidah ini
menuntut agar manusia dalam cara bicara dan membawa diri selalu
menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain sesuai dengan derajat
kedudukannya (Frans Magnis Suseno, 2001: 38). Dua kaidah tersebut
seharusnya dijadikan dasar dalam pendidikan moralitas, khususnya
bagi peserta didik, yang berada di SD Hj. Isriati Semarang memiliki
latar belakang budaya Jawa.
Ary Ginanjar menyatakan bahwa proses pendidikan moralitas
itu harus dilakukan secara kronologis. Ary mengungkapkan bahwa
dengan menabur gagasan, akan memetik perbuatan, dengan menabur
perbuatan akan memetik kebiasaan, dengan menabur kebiasaan akan
memetik karakter, dan dengan menabur karakter, akan memetik nasib
(Ary Ginanjar, 2003: lviii).
Secara psikologis, pendidikan moral sangatlah tepat diberikan
pada anak berusia 6 s-d 12 tahun. Menurut Kohlberg3, anak pada usia
6 s-d 12 dalam perkembangan moralnya berada pada tingkat tiga,
dimana mereka berfokus pada orientasi keserasian interpersonal dan
konformitas (Sikap anak baik), dan tingkat empat, mereka juga berada
3 Teori ini berpandangan bahwa penalaran moral, yang merupakan dasar dari
perilaku etis, mempunyai enam tahapan perkembangan yang dapat teridentifikasi.
Ia mengikuti perkembangan dari keputusan moral seiring penambahan usia yang
semula diteliti Piaget, yang menyatakan bahwa logika dan moralitas berkembang
melalui tahapan-tahapan konstruktif. Kohlberg memperluas pandangan dasar ini,
dengan menentukan bahwa proses perkembangan moral pada prinsipnya
berhubungan dengan keadilan dan perkembangannya berlanjut selama kehidupan,
walaupun ada dialog yang mempertanyakan implikasi filosofis dari penelitiannya
.(http.www //google. Moral).
________________________________________
Page 19
19
pada orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial (Moralitas
hukum dan aturan), (http://id.wikipedia.org/wiki/Moral).
Pengetahuan yang disampaikan oleh guru-guru dalam proses
pembelajaran diharapkan sebagai sesuatu gagasan yang selanjutnya
perlu dibarengi dengan perbuatan nyata dengan melihat keberbedaan,
memperlakukan sentuhan kasih sayang dan kesabaran, karena
tanggung jawab yang dihadapinya untuk segera bertindak begitu saja,
sebagaimana Prinsip Pendidikan. Karena itulah pendidikan hendaknya
tidak hanya diarahkan pada kecakapan yang bersifat intelektual
semata, tetapi harus diarahkan pada penemuan tujuan pendidikan,
sebagaimana dirumuskan oleh UNESCO yaitu Learning how to know,
Learning how to learn, Learning how to do, Learning how to be,
Learning how to live together. Dalam kurikulum yang telah dibakukan
disebutkan pentingnya menyeimbangkan tiga ranah yaitu ranah proses
berpikir, ranah nilai dan ranah keterampilan4.
Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Dirjen Management
Dikdasmen Departemen Pendidikan Nasional, merekomendasikan ada
9 jenis anak berkebutuhan khusus atau sering disingkat ABK5 yang
perlu ditangani. Di Jawa Tengah terdapat 155 (seratus lima puluh
lima) sekolah penyelenggara inklusif6. Pendidikan Inklusif adalah
suatu komitmen untuk melibatkan siswa-siswi yang memiliki
hambatan dalam setiap tingkat pendidikan mereka yang
4 Benjamin S.Bloom dan kawan-kawannya berpendapat bahwa taksonomi
(pengelompokan) tujuan pendidikan harus senantiasa mengacu kepada tiga jenis
domain (=daerah binaan atau ranah) yang melekat pada diri peserta didik, yaitu (1)
Ranah proses berpikir (coknitive domain), (2) Ranah nilai atau sikap (affektive
domain), dan (3) Ranah keterampilan (psychomotor domain) (Anas Sudijono, 2007:
49).
5 Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) adalah anak yang secara signifikan
(bermakna) mengalami kelainan atau penyimpangan (phisik, mental-intelektual,
social, emosional) dalam proses pertumbuhan atau perkembangannya dibandingkan
dengan anak-anak lain seusianya sehingga mereka memerlukan pelayanan
pendidikan khusus.
6 Data ini diperoleh dari Seksi Kurikulum, Subdin Pendidikan Luar Biasa Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah. Jalan Pemuda Nomor 134
Semarang.
________________________________________
Page 20
20
memungkinkan (Denis, Enrica, 2006, hal. 44). Pendidikan Inklusi di
Jawa Tengah tersebar di 24 (dua puluh empat) Kabupaten/Kota, terdiri
dari 138 (seratus tiga puluh delapan) Sekolah Dasar (SD), 14 (empat
belas) Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan 2 (dua) Sekolah
Menengah Atas (SMA), serta 1 Madrasah Aliyah Negeri (MAN).
Anak Berkebutuhan Khusus pada umumnya sudah inheren pada
sekolah reguler. Salah satu sekolah inklusi adalah SD Isriati
Semarang, dijadikan sebagai obyek dalam penelitian ini dengan
pertimbangan bahwa (1) Memiliki keberagaman peserta didik
berkebutuhan khusus, ada 57 (lima puluh tujuh) anak, meliputi jenis
kebutuhan gangguan pendengaran 1 (satu) anak, lambat belajar (slow
learner) 40 (empat puluh) anak, berkesulitan belajar/gangguan
pemusatan perhatian (hyper aktif ringan ada 2 (dua) anak dan hyper
aktif berat ada 2 (dua) anak), Tunalaras/gangguan emosi 9 (lima)
anak, gangguan belajar 1 (satu) anak dan Authis ada 1 (satu) anak, (2)
Menerapkan pendidikan Islami, dengan menambah kurikulum agama
Islam sebagai bekal penanaman akhlak.Untuk lebih jelasnya bisa
melihat tabel dibawah ini.
Tabel 1.1.
Data Peserta Didik Berkebutuhan Khusus SD Hj. Isriati Semarang
Tahun Pelajaran 2007/2008
Kelas
Jenis Anak Berkebutuhan Khusus
Jumlah
I I
I s-d VI
I,III,IV
I, III
III
I,II, III, V
III
1. Gangguan pendengaran
2. Lambat belajar
3. Berkesulitan belajar
- Gangguan pemusatan perhatian
- hyper aktif berat
- hyper aktif ringan
4. Tuna Laras
5. Authis
1
40
2
2
2
9
1
Jumlah
57
________________________________________
Page 21
21
Fokus dalam penelitian ini akan mendiskripsikan perilaku
peserta didik, dengan mejadikan peserta didik berkebutuhan khusus
sebagai operan condition, mereka yang tampak dalam kondisi fisik,
gerak fisik maupun memiliki perilaku yang berbeda, sehingga bisa
menimbulkan perhatian bagi teman sebayanya, peserta didik
berkebutuhan khusus tersebut memiliki jenis kebutuhan sebagai
berikut :
1. Tunagrahita/lambat belajar/slow learner, yang memiliki ciri-ciri: 1)
Penampilan fisik tidak seimbang, misalnya kepala terlalu kecil
atau besar, 2) Tidak dapat mengurus diri sendiri sesuai usia, 3)
Perkembangan bicara atau bahasa terlambat, 4) Tidak ada atau
kurang sekali perhatiannya terhadap lingkungan seperti pandangan
kosong, 5) Koordinasi gerakan kurang (gerakan sering tidak
terkendali), 6) Sering keluar ludah atau cairan dari mulut (ngiler).
2. Tunalaras (Dysruptive) atau Gannguan Emosi dan perilaku,
memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1).Cenderung membangkang, 2)
Mudah terangsang emosinya, emosional, dan mudah marah, 3)
Sering melakukan tindakan agresif, merusak, mengganggu, 4)
Sering bertindak melanggar norma sosial, norma susila atau
hukum (Buku II : Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Terpadu
/Inklusi ,2004) .
3. Authis, memiliki ciri-ciri: a) Komunikasi: Kemampuan berbahasa
mengalami keterlambatan atau sama sekali tidak dapat berbicara.
Menggunakan kata kata tanpa menghubungkannya dengan arti
yang lazim digunakan. Berkomunikasi dengan menggunakan
bahasa tubuh dan hanya dapat berkomunikasi dalam waktu
singkat, b). Bersosialisasi atau berteman lebih banyak
menghabiskan waktunya sendiri daripada dengan orang lain. Tidak
tertarik untuk berteman. Tidak bereaksi terhadap isyarat isyarat
dalam bersosialisasi atau berteman seperti misalnya tidak menatap
mata lawan bicaranya atau tersenyum, c) Kelainan penginderaan
sensitif terhadap cahaya, pendengaran, sentuhan, penciuman dan
rasa (lidah) dari mulai ringan sampai berat, d) Bermain tidak
spontan/reflek dan tidak dapat berimajinasi dalam bermain. Tidak
dapat meniru tindakan temannya dan tidak dapat memulai
permainan yang bersifat pura pura, e) Perilaku dapat menjadi
sangat hiperaktif atau sangat pasif (pendiam). Marah tanpa alasan
yang masuk akal. Amat sangat menaruh perhatian pada satu
benda, ide, aktifitas ataupun orang. Tidak dapat menunjukkan akal
sehatnya. Dapat sangat agresif ke orang lain atau dirinya sendiri.
Seringkali
sulit
mengubah
rutinitas
sehari-hari
(http.www.google.ciri-ciri authis).
________________________________________
Page 22
22
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah diatas, maka fokus penelitian ini
dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana moralitas baik peserta didik pada sekolah inklusi
SD Hj. Isriati Semarang.
2. Apakah ada perbedaan moralitas peserta didik antara peserta
didik berkebutuhan khusus dengan non berkebutuhan khusus
pada pendidikan inklusif SD Hj. Israti Semarang.
C. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui moralitas baik peserta didik pada SD Hj.
Isriati Semarang.
b. Untuk mengetahui perbedaan moralitas baik peserta didik
antara peserta didik berkebutuhan khusus7
dengan non
berkebutuhan khusus pada pendidikan inklusif SD Hj. Isriati
Semarang.
D. Signifikansi
Berdasarkan uraian latar belakang, rumusan masalah dan tujuan
dari penelitian ini, diharapkan memiliki nilai manfaat secara
praktis.
Manfaat Praktis
1. Dengan diketahui moralitas baik peserta didik berkebutuhan
khusus maupun normal yang belajar bersama-sama mengikuti
proses pembelajaran pada SD Hj. Isriati Semarang sebagai
penyelenggara Pendidikan Inklusif, maka akan bisa diambil
manfaat dari pembelajaran hidup bersama (learning to live
together).
7
Anak yang dalam proses pertumbuhan/perkembangan secara signifikan
(bermakna) mengalami kelainan/penyimpangan pada (phisik, mental-intelektual,
social, emosional) dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya, sehingga perleu
memperoleh pelayanan Pendidikan Inklusif.
________________________________________
Page 23
23
2. Dengan diketahui perbedaan moralitas peserta didik
berkebutuhan khusus dengan non berkebutuhan khusus pada SD
Hj. Isriati Semarang sebagai penyelenggara Pendidikan
Inklusif, maka secara umum suguhan-suguhan teman-teman
(anak berkebutuhan khusus) memberikan sentuhan batiniah
sehingga memberikan manfaat pada semua (orang tua, guru dan
teman sebaya).
E. Telaah Pustaka
Pendidikan Inklusif disosialisasikan oleh Direktorat Pembinaan
Sekolah Luar Biasa Dirjen Manajemen Dikdasmen Depdiknas di
Jakarta pada tahun 2003-2004, merupakan program pelayanan
pendidikan yang diharapkan mampu mengakses pendidikan untuk
semua (educational for all), tanpa diskriminasi dan menerima
keberbedaan. Program Pendidikan Inklusif merupakan program
pendidikan yang terus disosialisasikan dan diupayakan
keberadaannya dengan memberikan sarana prasarana dan
beasiswa. Ada beberapa penelitian yang telah dilakukan
diantaranya sebagai berikut :
1. Pengembangan Program Bimbingan Sosial untuk Siswa
Sekolah Dasar yang melaksanakan program Inklusi (Studi Kasus
di SD Lab. UPI Kampus Cibiru dan SD Sains Al Biruni), (Pudji
Asri, 2005), dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa :
(a) Profil perkembangan sosial yang berkaitan dengan hubungan
sosial, karakteristik kelompok, perkembangan etika pada anak
berkebutuhan khusus tidak berbeda dengan anak pada
umumnya hanya mengalami hambatan yang disebabkan
kelainannya, besarnya peranan keluarga dan lingkungan
sekolah dalam pembentukan perilaku sosial mereka;
________________________________________
Page 24
24
(b) Program dan pelaksanaan layanan bimbingan konseling
termasuk bimbingan sosial sudah ada tetapi dalam realisasinya
belum optimal;
(c) Jenis layanan bimbingan sosial yang diberikan ada yang
mengikut sertakan anak berkebutuhan khusus dalam semua
kegiatan sekolah, dan ada yang mengikut sertakan orangtua
dalam program kegiatan tersebut;
(d) Kendala yang dihadapi guru adalah ketidak pahamannya
tentang anak berkebutuhan khusus, tidak adanya panduan
untuk melaksanakan pendidikan inklusi, kurangnya tenaga
profesional dan sarana prasarana untuk menunjang kelancaran
program pendidikannya.
Rekomendasi kepada Sekolah untuk mengembangkan sistem
“sekolah yang ramah”, meningkatkan kepedulian dan layanan
pendidikan dengan kerja team yang solid antara pengajar, orang
tua, tenaga ahli, masyarakat dan pemerintah.
Dari kesimpulan penelitian dikemukakan terkait dengan
hubungan sosial peserta didik yang berkebutuhan khusus, tidak
ada perbedaan dalam profil perkembangan sosial yang berkaitan
dengan hubungan sosial, karakteristik kelompok, perkembangan
etika pada anak berkebutuhan khusus tidak berbeda dengan anak
pada umumnya hanya mengalami hambatan yang disebabkan
kelainannya, besarnya peranan keluarga dan lingkungan sekolah
dalam pembentukan perilaku sosial mereka.
2. Hasil Jurnal Studi Islam mengemukakan bahwa Sekolah
Syariah dan Pendidikan Inklusi, yang ditulis sebgaimana ditulis
sebagai berikut ”Through comparative analysis, the study finds
five same characteristics of Islamic education and inclusive
education: (a) education as a right/duty; (b) education for all; (c)
the principle of non-segregation; (d) the holistic view of the pupil;
________________________________________
Page 25
25
(e) handicap seen in relation to external factors, especially school
environment. (Santoso, Muhammad Abdul Fattah , 2005.
Pemikiran tersebut sangat mendukung berkembangnya
Pendidikan Inklusif, hasil analisis perbandingan tersebut
menemukan lima karakteristik dari Pendidikan Islam dan
Pendidikan Inklusi, a) pendidikan sebagai suatu kewajiban, b)
pendidikan untuk semua, c) prinsip dari tidak adanya pemisahan,
d) suatu pandangan utuh dari peserta didik, dan e) mengerti
rintangan dalam hubungan dalam faktor-faktor eksternal,
khususnya lingkungan sekolah.
3. Dalam penelitian ini penulis berusaha memberikan
kontribusi dalam bentuk penyajian fakta dengan mendiskripsikan
moralitas peserta didik berkebutuhan khusus dan normal yang
belajar bersama-sama pada sekolah penyelenggara Pendidikan
Inklusif yang diharapkan memberikan makna dalam kehidupan,
dengan asumsi bahwa setiap manusia pada dasarnya memiliki
fitrah kesucian8, sehingga manusia tidak terhalang oleh kondisi-
kondisi fisik semata namun lebih kepada segi batiniah yang
mempunyai kekuatan yang tidak terhingga untuk mengantarkan
manusia pada posisi tertingginya, yaitu keutamaan atau
kebahagiaannya dalam melaksanakan kewajiban untuk berbuat
baik demi kemaslakhatan dirinya, lingkungan dan masa depannya
dengan memperhatikan dan mengedepankan nilai moralitas yang
dimilikinya, yaitu menjaga kerukunan dan tetap hormat sesuai
dengan derajat kedudukannya.
8 Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan (keburukan) dan
ketaqwaannya (kebaikan) (SQ Asy Syams (Matahari), 91: 8).
________________________________________
Page 26
26
F. Metode Penelitian
Penelitian ini membidik moralitas perilaku peserta didik
berkebutuhan khusus dan peserta didik normal yang belajar
bersama-sama dalam satu pembelajaran yang dilakukan dalam
kelas inklusif, dimana pembelajaran yang dilakukan oleh pendidik
(guru) diharapkan mampu mengakomodir keberagaman peserta
didik yang berbeda dalam kondisi fisik, intelegensi, sosial maupun
emosionalnya.
Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan sosiologis yang berpijak pada kebijakan lokal (local
wisdom), mengingat SD Hj. Isriati Semarang adalah sekolah di
Jawa Tengah, maka pendekatan yang digunakan terfokus pada
moralitas budaya Jawa.
Metode Pengumpulan data
1. Pengamatan (Observasi), adalah kegiatan yang akan
dilaksanakan dengan memusatkan perhatian terhadap obyek
yang menjadi sasaran penelitian (Arikunto,1985: 127).
Pengamatan dilakukan terhadap a) Perilaku peserta didik
berkebutuhan khusus yaitu mereka yang mengalami
ganngguan kesulitan belajar (Hyper aktif ringan dan Hyper
aktif berat), tuna laras (Dysruptive) (Gannguan Emosi dan
perilaku) dan authis, 2) Peserta didik normal yang belajar
bersama-sama dengan peserta didik berkebutuhan khusus, 3)
Pembelajaran guru di kelas inklusif, dengan harapan
diperoleh data yang berkaitan dengan perilaku peserta didik.
2. Wawancara (interview) adalah sebuah dialog yang dilakukan
untuk
memperoleh
informasi
dari
terwawancara
(Arikunto,1985:126). Wawancara dalam penelitian yang telah
________________________________________
Page 27
27
dilakukan untuk mengungkapkan sejarah perkembangan
penyelenggaran pendidikan inklusif, digunakan untuk
memperoleh data tentang jumlah anak berkebutuhan khusus
(ABK), jenis anak berkebutuhan khusus dan perilaku peserta
didik normal terhadap peserta didik berkebutuhan khusus,
serta data-data lain yang mendukung untuk memperjelas
analisis penelitian ini.
3. Telaah Dokumen adalah teknik penggalian data yang terdapat
dalam bentuk dokumen seperti buku, peraturan-peraturan,
catatan dan lainnya (Arikunto,1985: 131). Teknik ini
digunakan untuk memperoleh data tentang keadaan
lingkungan, sejarah penyelenggaran Pendidikan Inklusif,
pembelajaran dan perhatian guru pembimbing yang fokus
terhadap peserta didik berkebutuhan khusus.
Teknik Analisis Data
Deskripsi kualitatif dengan menggunakan bantuan
program SPSS9. Selanjutnya hasil tersebut diuji dengan teknik
triangulasi; yaitu menguji data yang peneliti peroleh dari satu
informan dengan informan yang lainnya. Sikap moralitas yang
akan dilihat yaitu: Pertama sikap hormat terhadap orang tua,
guru dan teman sebaya dan kedua sikap rukun terhadap orang
tua, guru dan teman sebaya.
G. Sistimatika Penulisan
Dalam menguraikan kronologi berpikir penulis untuk mencari
kebenaran dalam penulisan tesis ini, maka diuraikan pada bab-bab
sebagai berikut :
9
SPSS adalah suatu software yang berfungsi untuk menganalisis data,
melakukan perhitungan statistic baik untuk statistic parametrik maupun non
parametrik dengan basis windows (Imam Ghozali, 2001: 15)
________________________________________
Page 28
28
BAB I, Pendahuluan yang mengungkapkan fenomena
kehidupan peserta didik dalam tayangan televisi, berita mass
media serta dalam internet menunjukkan warna yang suram, untuk
itu penulis berasumsi bahwa situasi tersebut lebih disebabkan oleh
situasi yang tidak mendukung berkembangnya moralitas baik yang
telah tertanam pada diri individu dalam pelayanan pendidikan
yang diberlakukan di Indonesia, yang diungkap dalam latar
belakang masalah, untuk itu perlu diungkapkan permasalahan
tentang bagaimana moralitas peserta didik pada pendidikan inklusi
yang mampu mengakomodir semua keberbedaan peserta didik,
untuk mencari jawaban permasalahan tersebut informasi data dan
fakta dengan menggunakan observasi, wawancara, telaah dokumen
serta intrumen pertanyaan kepada peserta didik pada SD Hj. Isriati
Semarang sebagai tempat researh ini dilakukan, kemudian untuk
penguatan, apakah fakta tersebut telah mendukung
berlangsungnya pelayanan pendidikan yang seharusnya
diberlakukan.
BAB II, berisi tentang landasan-landasan konsep dan teori
sebagai penguat, teori tersebut antara lain, teori tentang moralitas,
etika dan akhlak yang membicarakan kajian tentang baik dan
buruk perbuatan manusia, serta prinsip moralitas budaya bangsa
Indonesia yaitu prinsip rukun dan prinsip hormat.
BAB III, pada bab ini dikupas pelayanan pendidikan dalam
bentuk Pendidikan Inklusif perlu diungkap sebagai wadah bahwa
moralitas perlu ditanamkan dan dibiasakan pada peserta didik
dengan learning to live together pada jenjang sekolah dasar yang
merupakan tahap awal peserta didik dalam berpikir, bertindak dan
merasakan perkembangan moralnya, SD Hj. Isriati Semarang,
dipilih dalam penelitian ini karena memiliki beraneka ragam
peserta didik dalam jenis berkebutuhan khusus.
________________________________________
Page 29
29
BAB IV, analisis deskripsi dengan menggunakan SPSS, untuk
menjawab permasalahan terungkap dalam bab ini dengan
mengungkapkan fakta moralitas peserta didik berkebutuhan
khusus, moralitas peserta didik non berkebutuhan khusus atau
normal 1 serta peserta didik non berkebutuhan khusus atau normal
2, dengan indikator sikap hormat dan sikap rukun peserta didik
terhadap orang tua, terhadap guru serta terhadap teman sebaya.
BAB V, berisi tentang kesimpulan, saran dan penutup dari
penelitian. Kesimpulan merupakan jawaban dari problem
penelitian yang telah ditulis pada rumusan masalah. Disamping itu
pada bab ini juga berisi saran yang ditujukan kepada pembaca baik
dari kalangan peneliti maupun dari pengambil kebijakan atau
birokrat dan penutup.
________________________________________
Page 30
30
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Definisi Moral, Etika dan Akhlak
Moral
Moral, konon diambil dari bahasa Latin mos (jamak, mores)
yang berarti kebiasaan, adat. Sementara moralitas secara lughowi juga
berasal dari kata mos bahasa Latin (jamak, mores) yang berarti
kebiasaan, adat istiadat. Kata ’bermoral’ mengacu pada bagaimana
suatu masyarakat yang berbudaya berperilaku, dan kata moralitas juga
merupakan kata sifat latin moralis mempunyai arti yang pada dasarnya
sama dengan moral hanya ada nada lebih abstrak. Kata moral dan
moralitas memiliki arti yang sama, maka dalam pengertian disini lebih
ditekankan pada penggunaan moralitas, karena sifatnya yang abstrak.
Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai
yang berkenaan dengan baik dan buruk (K.Berten, 2007: 7). Senada
dengan pengertian tersebut, W.Poespoprodjo mendefinisikan moralitas
sebagai ”kualitas dalam perbuatan manusia yang menunjukkan bahwa
perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk. Moralitas mencakup
tentang baik buruknya perbuatan manusia (W.Poespoprojo, 1998: 18).
Baron, dkk mengatakan, sebagaimana dikutip oleh Asri Budiningsih,
bahwa moral adalah hal-hal yang berhubungan dengan larangan dan
tindakan yang membicarakan salah atau benar (Asri Budinningsih,
2004: 24).
Moralitas seringkali dipahami sebagai suatu sikap moral atau
keseluruhan asas dan nilai yang berkenaan dengan baik dan buruk
(K.Berten, 2007: 7). Pengertian tentang baik dan buruk merupakan
sesuatu yang umum, yang terdapat dimana-mana. Dengan kata lain,
moralitas merupakan suatu fenomena manusiawi yang universal
(K.Berten, 2007: 12). Keharusan moral didasarkan pada kenyataan
________________________________________
Page 31
31
bahwa manusia mengatur tingkah lakunya menurut kaidah-kaidah atau
norma-norma (K.Berten, 2007: 14)
Moral adalah suatu aturan atau tata cara hidup yang bersifat
normatif yang sudah ikut serta bersama kita seiring dengan umur yang
kita jalani (Amin Abdulah: 167), sehingga titik tekan ”moral” adalah
aturan-aturan normatif yang perlu ditanamkan dan dilestarikan secara
sengaja baik oleh keluarga, lembaga pendidikan, lembaga pengajian
atau komunitas-komunitas yang bersinggungan dengan masyarakat.
Immanuel Kant, seorang pemuka madzab filsafat baru, yang
disebut filsafat kritis (critical philosophy), karena karyanya ini
memberikan Kant reputasi internasional, mengatakan bahwa moralitas
adalah hal keyakinan dan sikap batin dan bukan hal sekedar
penyesuaian dengan aturan dari luar, entah itu aturan hukum negara,
agama atau adat-istiadat (Frans Magnis-Suseno,1992). Menurut Kant,
moralitas meliputi melaksanakan panggilan kewajiban, dan tidak ada
kewajiban moral yang tidak sanggup dikerjakan. Tetapi demikian
dengan perasaan dan simpati bisa datang dan pergi terlepas dari
kehendak manusia, dan ia tidak dapat disatukan dengan peraturan H B
Acton, 2003: 22)
Seseorang dapat mengandalkan tatanan normatif itu. Seseorang
boleh “ikut-ikutan” dengan pandangan serta tatanan moral masyarakat.
Akan tetapi hanya tidak berseberangan dengan suara hatinya. Apabila
kesadaran moral subjek meragukan tatanan moral sosial itu, maka
seseorang tersebut harus secara otonom mencari apa yang sebenarnya
menjadi kewajibannya, seseorang tidak boleh mengikuti apa yang
diharapkan oleh lingkungannya (Fran Magnis Suseno, 1992).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, menjelaskan bahwa
moralitas adalah sopan santun, segala sesuatu yang berhubungan
dengan etiket atau adat sopan santun. Namun dalam Ensiklopedi
Indonesia, dijelaskan bahwa Moralitas memiliki makna: 1) Pola-pola
kaidah tingkah-laku, budi bahasa yang dipandang baik dan luhur
________________________________________
Page 32
32
dalam suatu lingkungan atau masyarakat tertentu. Secara terperinci
dapat dibedakan dalam (a) asas atau sifat moral, kebajikan; (b) sistem
atau ilmu pengetahuan tentang moral; (c) ajaran, makna atau
kesimpulan tentang moral; (d) peri keadaan yang sesuai dengan nilai
dan azas akhlak yang baik. 2) Drama: Bentuk Drama yang
berkembang di Eropa dalam abad pertengahan, kira-kira abad ke 14-
16, dimaksud untuk menunjukkan kepada penonton tentang
perjuangan abadi antara baik dan buruk dalam jiwa manusia. Tokoh-
tokoh lakon merupakan personifikasi kebajikan dan kejahatan. Drama
moralitas tumbuh terlepas dari drama misteri keagamaan, dan
merupakan langkah penting dalam penduniawian drama (Kamus
Bahasa Indonesia 1990: 2288-2289).
Moral yang diartikan juga sebagai akhlak adalah indikasi
seseorang yang paling sempurna imannya yaitu yang paling baik
akhlaknya. Yang lemah lembut dan tidak pernah menyakiti orang.
Seorang manusia tidak akan mencapai hakikat iman sebelum ia
mencintai orang lain, seperti ia mencintai dirinya (Sabda Rasulllullah
dalam Jalaluddin Rakhmat, 2003: 146-147).
Dengan demikian moralitas dapat disimpulkan sebagai kualitas
perbuatan atau tingkah laku manusia yang berhubungan dengan salah
atau benar, baik atau buruk yang diyakininya sebagai suatu aturan-
aturan normatif atau kaidah-kaidah dan berlaku dalam suatu komunitas
masyarakat tertentu yang dilakukan karena adanya suatu keharusan
atau kewajiban. Manusia diajak untuk membatinkan dirinya kepada
baik dan luhur. Dan tingkah laku manusia senantiasa tampil sebagai
akumulasi ekspresi10 aktualisasi potensi batin dan responsi11 pengaruh
lingkungan (Baharuddin, 2004: 393).
10
Ekspresi berarti bahwa tingkah laku menjadi media (sarana) untuk
mengekpresikan kondisi psikis.
11 Responsi berarti tingkah laku muncul sebagai respon (tanggapan) terhadap
stimulus lingkungan. Tingkah laku manusia senantiasa menampilkan dua sisi
ekspresi dan responsi. Perbedaan antara satu tingkah laku dengan tingkah laku
lainnya terletak pada prosentase masing-masing sisi.
________________________________________
Page 33
33
Etika
Kata etika seringkali dipakai bersamanan dengan kata moral,
ketika seseorang berbicara tentang etika, tak lepas pula dengan kajian
yang membicarakan baik atau buruk, benar atau salah. Untuk
memahami pengertian dan istilah etika berikut uraiannya. Etika12
adalah cabang filsafat yang juga disebut sebagai filsafat moral yang
mempersoalkan baik dan buruk (Purwadi, Joko Dwiyanto, 2006:14).
Beretika mengacu pada bagaimana seharusnya manusia
berperilaku. Etika memberikan nasehat-nasehat mengenai perilaku,
biasanya dalam bentuk ungkapan, mutiara-kata, peribahasa, dan
sebagainya yang menyiratkan, tetapi tidak menyatakan dengan tegas,
tujuan yang baik dan didambakan yang moga-moga akan dicapai
dengan menuruti nasehat itu, dan akibat-akibat jelek yang akan
menimpa jika petuah itu dilanggar (Jujun S.Suriasumantri, 2006: 24).
K.Berten mendefnisikan etika sebagai ilmu yang membahas
tentang moralitas atau tentang manusia sejauh berkaitan dengan
moralitas (K. Berten, 2007: 15), dalam mempelajari dan membahas
moralitas, etika menggunakan tiga pendekatan yang oleh Berten
diterangkan sebagai etika deskriptif yang melukiskan tingkah laku
moral, etika normatif yang membicarakan moral dan adanya diskusi-
diskusi yang membahas tentang moral, dan metaetika, dalam
pendekatan ini telah memberikan penilaian atau rekomendasi tentang
moral, apakah perbuatan manusia itu baik atau buruk, sebagai suatu
penegasan yang seakan memberikan klaim pada status moral.
12 Etika berasal dari kata Yunani yang artinya ’watak’. Sedangkan moral
berasal dari bahasa Latin mos yang merupakan bentuk tunggal, bentuk jamaknya
mores yang artinya ’kebiasaan’. Istilah etika atau morel dan dalam bahasa
Indonesia dapat diartikan kesusilaan. Obyek formal etika adalah kebaikan dan
keburukan atau bermoral dan tidak bermoral dari tingkah laku tersebut. Obyek
material etika adalah tingkah laku atau perbuatan manusia. Perbuatan yang
dilakukan secara sadar dan bebas. Dengan demikian, perbuatan yang dilakukan
secara tidak sadar dan tidak bebas tidak dapat dikenai penilaian moral.
________________________________________
Page 34
34
Rekomendasi perbuatan baik atau buruk oleh para filosof masih
menjadi pokok pembicaraan dalam dunia filsafat, ada dua golongan
dalam menjawab persoalan ini (Ahmad Amin,1975: 84), yaitu :
1. Golongan pertama, berpendapat bahwa tiap-tiap manusia
mempunyai instinc yang dapat memperbedakan antara yang hak
dan yang batal, baik dan buruk, berakhlak dan tidak. Kekuatan
ini kadang berbeda sedikit karena perbedaan masa dan milliu,
tetapi tetap berakar pada manusia. Maka tiap-tiap manusia
mempunyai semacam ilham13 yang dapat mengenal sesuatu
akan baik dan buruknya.
2. Golongan kedua berpendapat bahwa, pengertian manusia
tentang baik dan buruk akan sama dengan pengertian manusia
tentang sesuatu yang lainnya, ialah tergantung pada
pengalaman. Dan bisa tumbuh sebab kemajuan zaman,
kecerdasan berpikir dan beberapa pengalaman14
Pengertian baik menurut etik adalah sesuatu yang berharga
untuk satu tujuan, sebaliknya yang tidak berharga, tidak berguna untuk
tujuan, apabila yang merugikan, atau yang meyebabkan tidak tercapai
tujuan adalah buruk (Rahmat Djatnika,1996: 34), sehingga persoalan
baik akan terus menjadi bahan kajian yang sangat menarik untuk terus
ditelusuri dan diusahakan untuk ditemukan jawabannya.
Tokoh muslim yang membahas tentang etika, di abad
pertengahan yaitu Ibn Miskawaih, yang banyak berbicara tentang jiwa
dan etika (Azyumardi Azra, 1996: 83), memberikan kontribusi yang
13 Ilham ini didapat manusia ketika manusia melihat sesuatu, oleh karena
manusia dapat merasa bahwa itu baik atau buruk, meskipun manusia tidak belajar
ilmu pengetahuan atau menerima pendapat orang lain.Kekuatan ini bukan buah dari
milliu, zama atau pendidikan, tetapi adalah instinc, bagian dari tabiat manusia yang
diberikan Tuhan untuk dapat membedakan antara baik dan buruk.
14 Golongan dua ini berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai instinc untuk
mengetahui baik dan buruk, tetapi pengalamanlah yang dapat memberikan hukum
baik pada sebagian perbuatan dan hukum buruk pada bagian yang lainnya. Dan
yang membuat perubahan berpikir perorangan dan bangsa dalam memberikan ukum
pada sesuatu adalah karena luas dan lingkaran pengetahuannya serta banyak
pengalamannya
________________________________________
Page 35
35
besar, yang bisa dijadikan sebagai pijakan untuk memahami tentang
etika. Miskawaih memahami etika sebagai keadaan jiwa yang
mendalam yang menyebabkan munculnya perbuatan-perbuatan tanpa
pertimbangan yang mendalam.
Miskawaih memulai pembahasan etikanya dengan menganalisis
kebahagiaan dan mengidentifikasi kebaikan tertinggi guna
menyimpulkan kebahagiaan manusia selaku manusia. Kebahagiaan
haruslah menjadi tujuan tertinggi dengan sendirinya, karena
berhubungan dengan akal, yang merupakan hal yang paling mulia pada
diri manusia (Ibn Miskawaih, 1913: 10). Pendapat tersebut senada
dengan pendapat Aristoteles sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin
Rakhmat, mengatakan bahwa hidup yang baik adalah hidup yang
bahagiya. Jadi baik adalah bahagiya. Hidup yang bahagiya adalah
hidup yang sempurna karena memiliki semua hal yang baik
(kesehatan, kekayaan, persahabatan, pengetahuan, kebajikan atau
kemuliaan. Hal-hal yang baik itu komponen kebahagiaan, semua dicari
untuk bahagiya (Jalaluddin Rakhmat, 2004: 41).
Akhlak
Menurut etimologi akhlaq berasal dari bahasa Arab dan
merupakan kata jama’ dari kata al-Khalqu yang berarti ciptaan, dan al-
khuluqu yang mengandung beberapa arti, diantaranya : tabiat, yaitu
sifat dalam diri yang terbentuk oleh manusia tanpa dikehendaki dan
tanpa diupayakan; adat, yaitu sifat dalam diri yang diupayakan
manusia melalui latihan, yakni berdasarkan keinginannya; watak, yaitu
cakupannya meliputi hal-hal yang menjadi tabiat dan hal-hal yang
diupayakan hingga menjadi adat (Endang Saifuddin Anshari, 1993:
25).
Al Ghozali (wafat sekitar tahun 1111 M) mendefinisikan
(ta’rif) akhlaq sebagai keadaan yang tertanam dalam jiwa, dengan
keadaan jiwa tersebut mampu menimbulkan tindakan-tindakan dengan
________________________________________
Page 36
36
mudah dengan tanpa membutuhkan pemikiran dan penelitian terlebih
dahulu, jika ungkapan itu memunculkan tindakan baik dan terpuji
secara akal dan syara’ maka disebut akhlak baik, namun sebaliknya
jika memunculkan tindakan tercela maka disebut akhlak tercela (Al
Ghozali, Jilid III: 52).
Akhlak bukanlah merupakan ”perbuatan” baik ataupun
”pebuatan” buruk, juga bukan ”kekuatan” baik ataupun ”kekuatan”
buruk, juga bukan merupakan ”pembeda” antara baik dan buruk, akan
tetapi akhlak itu merupakan”hal” keadaan atau kondisi, dimana jiwa
mempunyai potensi yang bisa memunculkan daripadanya menahan
atau memberi. Jadi akhlaq itu adalah ibarat dari ”keadaan jiwa dan
bentuknya yang batiniah”(Zaki Mubarok,1924: 152). Akhlak adalah
situasi permanen dalam jiwa yang melahirkan bentuk-bentuk polalaku
tanpa melalui dorongan dari luar dan tanpa pengetahuan.
Tokoh muslim seangkatan dengan Al-Ghazali, Raghib al
Isfahani (wafat sekitar tahun 1108 M) dengan pemikiran akhlak
tentang konsep Nilai (khair). Ada tiga bentuk khair, yaitu khair li
dhatihi, khair li ghairihi, dan khair li dhatihi, khair li ghairihi.
Namun pada akhirnya konsep tersebut diklasifikasikan hanya menjadi
dua, yaitu : khair muthlaq (hakiki) dan khair muqayyad (kondisional).
Baik hakiki (khair muthlaq) adalah perbuatan baik yang dipilih
karena perbuatan itu sendiri dan setiap orang yang berakal
menginginkan perbuatan tersebut. Khair muthlaq ini tidak terikat
ruang dan waktu. Indikasi khair adalah memiliki manfaat, indah, dan
lezat. Oleh karena itu apapun tyang membawa manfaat dan
memotivasi untuk meraih kebaikan akhirat (khair ukhrawi) dan
kebahagiaan hakiki (sa’adah haqiqiyah) disebut juga khair dan
sa’adah. Akan tetapi sebaliknya, perbuatan seperti aniaya, tercela dan
merugikan diri ataupun orang lain, disebut sebagai tidak baik (sharr)
Baik kondisional (Khair muqayyad)adalah suatu perbuatan
yang selain memiliki sifat-sifat baik hakiki, didalamnya juga terdapat
________________________________________
Page 37
37
sifat-sifat khair sharr. Untuk menjustivikasi apakah sesuatu itu baik,
ditentukan dari sejauh mana sifat-sifat baik itu mampu memberikan
kontribusi pada sesuatu yang dinilai baik tersebut. Apabila baik yang
terdapat pada sesuatu itu mampu memberikan lebih dibandingkan
dengan sifat-sifat yang tidak baik, maka obyek tersebut dinilai khair
muqayyad.
Akhlak atau keadaan batin yang telah tertanam dan inheren di
dalam diri manusia, bisa dikatakan sebagai modal pertama dan utama,
dan kualitas perbuatan manusia tergantung bagaimana manusia itu
cerdas dalam kecenderungannya dan mengkondisikan kecenderungan,
apakah manusia cenderung kepada hal-hal yang baik, ataukah
sebaliknya. karena apabila manusia memiliki akhlak yang baik, maka
akan beruntunglah hidupnya, begitu pula sebaliknya apabila manusia
memiliki kecenderungan buruk maka hancurlah hidupnya.
Pengertian baik dan buruk menurut al-Quran adalah kenikmatan
dan musibah (pendapat mufassir dalm ibn Taimiyyah, 2004: 1). Dan
barang siapa mengikuti sunnah dalam perkataan maupun perbuatan
maka ia akan berbicara dengan baik dan benar. Dan barang siapa
mengikuti hawa nafsu maka ia akan berbicara bohong.
B. Perbedaan Moral, Etika dan Akhlak
Secara terminologi, pengertian moral, etika dan akhlak
memiliki definisi dan obyek kajian yang berbeda. Definisi moral lebih
menitik beratkan pada perbuatan, tindakan atau tingkah laku manusia.
Atau kualitas dari perbuatan, tindakan, tingkah laku, apakah
perbuatan itu bisa dikatakan baik atau buruk, benar atau salah.
Sedangkan etika memberikan penilaian tentang baik dan buruk,
tidak hanya memberikan gambaran tentang perbuatan baik atau buruk
manusia, namun juga memberikan penilaian tentang baik atau buruk
akan perbuatan atau tindakan yang dipilih oleh manusia sedang akhlak
tatanannya lebih menekankan bahwa pada hakikatnya dalam diri
________________________________________
Page 38
38
manuisia itu telah tertanam suatu keadaan dimana keduanya (baik dan
buruk) bersemayam di dalam tiap-tiap diri manusia atau dalam jiwa.
Untuk lebih jelasnya, perbedaan antara moral, etika dan akhlak
bisa dilihat dalam tabel sebagai berikut :
Tabel 2.1.
Perbedaan Moral, Etika dan akhlak
Bahasan
Definisi
Obyek Kajian
1. Moral
2. Etika
- Membicarakan
tentang baik dan
buruk, benar dan
salah
- Ajaran-ajaran tentang
kebaikan
- Bersifat sobyektif dan
relatif
- Bersumber dari aga-
ma, aturan, tradisi
dan idiologi
- Pengetahuan tentang
nilai-nilai baik dan
buruk
- Norma-norma yang
berlaku dalam masya-
rakat tertentu
- Ilmu tentang filsafat
moral
- Bersumber pada akal
sehat
- Kebiasaan atau adat istiadat
- Bagaimana
masyarakat
tertentu berperilaku
- Nilai perbuatan manusia
- Perbuatan manusia yang
merupakan
ekspresi,
aktualisasi dan responsi
dari keadaan jiwanya
- interaksi antar manusia
dalam suatu masyarakat
tertentu
- Orientasi untuk menentu-
kan pilihan baik atau buruk
- Menjawab pertanyaan ten-
tang baik dan buruk
- Bagaimana seharusnya ma-
nusia, berperilaku dalam
komunitas masyarakat
- Perilaku baik dan buruk
manusia
- Mengkaji filsafat moral
- Mengkaji tentang moralitas
- Hal-hal yang sangat praktis
dan dekat dengan kehidu-
pan sehari-hari
- Mendiskusikan moral, pili-
han mana yang baik dan
buruk.
- Memberikan penilaian apa-
kah perbuatan itu baik atau
buruk.
________________________________________
Page 39
39
3. Akhlak - Internalisasi dan in-
heren dalam diri
setiap manusia
- Bersumber dari sya-
riah Islam (al-Quran
dan al-Hadist)
- Sikap batin yang telah
tertanam pada diri
manusia
- Siratan-siratan hati
yang tenang dan pe-
nuh ketaatan dan ke-
patuhan
- Setiap manusia yang ber-
nyawa dan berakal.
- Mengkaji moral dan etika
(filsafat moral)
- Jiwa manusia (akal, hati
dan panca indra serta
hubungan ketiganya)
- Cakupannya: adat kebiasa-
an, kualitas perbuatan ma-
nusia, sikap batin yang
harus dilestarikan dengan
latihan dan sungguh-sung-
guh.
C. Persamaan Moral, Etika dan Akhlak
Secara etimologi, moral dan etika memiliki arti yang sama,
yaitu adat kebiasaan, hanya saja berbeda dari asalnya. Moral berasal
dari bahasa latin, dan etika berasal dari bahasa Yunani. Dan ahlak
berarti ciptaan, dan berasal dari bahasa Arab.
Kecenderungan manusia pada kebaikan terbukti dari persamaan
konsep-konsep pokok moral pada setiap peradaban dan zaman.
Perbedaan, jika terjadi terletak pada bentuk penerapan, atau pengertian
yang tidak sempurna terhadap konsep-konsep moral (Muhammad
Quraish Shihab, 1998: 255).
Dari uraian tentang moral, etika dan akhlak, penulis
menemukan titik singgung yang ada pada ketiganya, yaitu ketiga
tiganya membicarakan tentang perbuatan baik atau buruk, benar atau
salah atau tindakan manusia. Pada umumnya kalangan awam
cenderung untuk menyamaratakan begitu saja antara moral dan etika,
bahkan tidak sedikit yang mengacaukannya dengan istilah ’toto
kromo’, ’sopan santun’, budi pekerti (dalam ruang lingkup adat
________________________________________
Page 40
40
istiadat) atau dengan istilah ’akhlak’(dalam ruang agama)(Amin
Abdullah, 2004: 167).
Dalam kontek pembahasan tesis ini, moralitas yang dimaksud
dalam judul adalah moralitas Jawa, yaitu prilaku baik yang didasarkan
pada prinsip rukun dan prinsip hormat yang merupakan budaya leluhur
yang mampu mengokohkan sendi kehidupan sosial masyarakat Jawa.
D. Teori Moral, Etika dan Akhlak
Penelusuran kebenaran melalui sejarah filsafat memiliki
banyak konsep dan teori, begitu juga dengan teori moral, etika dan
akhlak, setiap teori yang lahir hampir selalu dilatar belakangi sejarah
kehidupan pencetusnya, sehingga menimbulkan teori yang berbeda-
beda walaupun mengungkap permasalahan yang sama.
1. Emotivisme
Perihal pokok dalam materi moral, etika adalah ”Baik” yang
dianggap sebagai suatu konsep unik unnalyzable. Moral ”baik”
menyarankan dalam penggunaan yang berkenaan dengan emosi.
Ketika menggunakan kata baik, tidak mewakili apapun, seperti ketika
menggunakan kata baik dalam kalimat hukuman, ”Ini adalah baik”,
mengacu pada penambahan ”adalah baik” tidak membedakan acuan
kepada apapun, hanya sebagai tanda berkenaan dengan emosi yang
menyatakan sikap manusia dan barangkali menimbulkan sikap serupa
pada orang lain, atau menimbulkan tindakan mereka kepada sesama
(W.D. Hudson).
Teori emotivism yang dkembangkan oleh C.L.Stevenson,
mengedepankan emotivism sebagai teori meta-ethical yang tajam yang
menggambarkan antara teori-teori. Argumentasi Stevenson
mengatakan kapan saja sutu pertimbangan moral dinyatakan, untuk
membedakan dua macam perbedaan antara : a). apa yang dikatakan
atau diasumsikan, sebagai kondisi yang berdasar pada fakta
________________________________________
Page 41
41
pertimbangan, b). evaluasi positif atau negatif yang ditempatkan pada
kejadian-kejadian fakta tersebut.
Emotivism yang diungkapkan adalah dengan mengambil
pertimbangan moral lebih menekankan pada express bukan kepada
report-attitudes, sebagai contoh tentang analisa ”Ini adalah baik”,
sesuai dengan teorinya, meminta dengan tegas bahwa berkenaan
dengan pernyataan ini, aku melakukan juga dan berkenaan dengan ini
aku ingin kau melakkannya juga.
Ada tiga kemungkinan yang membedakan, yang berkenaan
dengan emosi, yaitu :
a. Berkenaan dengan emosi mungkin bergantung kepada diskripsi,
yaitu perubahan yang kemudian diikuti dengan seketika, atau
sangat segera, dengan berubah dari yang sebelumnya.
b. Ungkapan emosi berkenaan dengan bagaimanapun suatu titik boleh
selalu datang ketika suatu perubahan di dalam suatu diskriptif
mengganggu, berkaitan dengan emosi.
c. Arti emosi mungkin berkaitan dengan diskriptif.
Emotivisme lahir sebagai teori moralitas yang menonjolkan
pengaruh positivisme logis dalam etika, konsep-konsep moral menurut
teori Emotivism adalah sesuatu yang unanalysable (W.D.Hudson) tak
dapat dianalisa, sebab penganut faham positivisme logic, senantiasa
mengehendaki adanya keserbapastian kriteria, sesuatu yang sulit
dipenuhi oleh konsep-konsep moral.
Dalam menelaah pertimbangan-pertimbangan moral (moral
judgement), kaum emotivis hanya berisi apresiasi-apresiasi dan
tuntutan-tuntutan. Mereka menyimpulkan bahwa pertimbangan-
pertimbangan moral dalam kenyataannya tidak dapat melukiskan
apapun dan hanya bersifat emotif belaka, hanya mengenai persetujuan-
persetujuan dan ketidak setujuan tentang sesuatu tindakan tertentu
(W.D.Hudson).
________________________________________
Page 42
42
2. Intuisionisme
Intuisi berarti suatu konsep yang menyatakan bahwa salah satu
sumber pengetahuan adalah dengan penangkapan kebenaran secara
langsung dan segera, (direct and immediate) (James Hasting). Atau
dapat pula dikatakan sebagai kekuatan batin yang dapat mengenai
sesuatu yang sebaiknya dengan selintas pandang dengan tiada
memandang buah dan akibatnya (Ahmad Amin, 1975: 105). Menurut
Bergson, intuisi adalah kemampuan manusia untuk meraih kenyataan
yang tidak tergantung pada posisi seseorang, dengan perkataan
kenyataan, intuisi adalah “a sympathy where by one carries oneself in
the interior of object to conside with what is unique and therefore
inexpressible in it “(Kolakowski, Bergson, 1985: 24)
Sedangkan akal praktis adalah merupakan bagian inti dari akal.
Dan dari sinilah akhirnya Kant sampai pada masalah intuisi
(Immanuel Kant, 1963:11-12). Dari pembedaan akal tersebut Kant
mengurai konsep umum moralitas yang berbasis pada empirikal dan
intelektual (ibid).
Teori intuisionisme ini juga berusaha memecahkan dilema-
dilema etis dengan berpijak pada intuisi, yaitu kemungkinan yang
dimiliki seseorang untuk mengetahui secara langsung apakah sesuatu
baik atau buruk. Dengan demikian seorang intuisionis mengetahui apa
yang baik dan apa yang buruk berdasarkan perasaan moralnya, bukan
berdasarkan situasi, kewajiban atau hak. Dengan intuisi kita dapat
meramalkan kemungkinan-kemunginan yang terjadi tetapi kita tidak
dapat mempertanggungjawabkan keputusan tersebut karena kita tidak
dapat menjelaskan proses pengambilan keputusan.
Menurut Henry Bergson seorang filosof Perancis. Uraiannya
mengatakan bahwa ”Bergson tidak benar-benar mengetahui apa yang
terjadi atau bagaimana perasaannya”. Uraian yang Bergson berikan
sangatlah lengkap namun demikian tampaknya mungkin juga tidak
mengetahui apa yang terjadi, meskipun Bergson dapat menceriterakan
________________________________________
Page 43
43
kembali banyak diantara apa yang dikatakan mengenai kejadian itu.
(Juhaya S.Praja, 2005: 31)
Perbedaan tersebut terletak pada ungkapan: pengetahuan
mengenai (knowledge about) dan pengetahuan tentang (knowledge of).
Pengetahuan mengenai (knowledge about) disebut pengetahuan
discursive atau pengetahuan simbolis, dan pengetahuan ini ada
perantaranya. Dan Pengetahuan tentang (knowledge of) disebut
pengetahuan yang langsung atau pengetahuan intuitif, dan
pengetahuan tersebut diperoleh secara langsung bandingkan dengan
ma’rifat qolbiyah dalam tasawuf (Ibid : 31).
Menurut Bergson, Intuisi ialah suatu sarana untuk mengetahui
secara langsung atau seketika (ibid : 32), intuisi tidak mengingkari
nilai pengalaman, inderawi yang biasa dan pengetahuan yang
disimpulkan darinya. Intuisi dapat menyingkapkan pada kita keadaan
yang senyatanya (Ibid : 33).
Dengan demikian teori intuitif belum mampu memberikan
kejelasan tentang sesuatu yang benar atau sesuatu yang baik, karena
masing-masing manusia akan memiliki dan mengungkapkan sesuai
dengan apa yang ada dalam masing-masing keadaan hati yang sangat
bersifat relatif, sehingga teori etika intuitif meurut penulis tetap akan
memberikan peluang untuk menelusuri tentang apa yang disebut baik,
benar yang begitu sulit untuk ditangkap oleh akal, indra dan
pengalaman, namun akan sangat dibantu dengan menjalankan syariah
sesuai dengan kemampuan dan kekuatan yang mampu dijalankan oleh
seseorang, sehingga dalam hal syariah kalau seseorang ingin baik
maka kerjakanlah begitu saja tanpa ada pertimbangan akal, karena
yang ada hanya ketaatan kepada sang Khalik.
Namun ketika manusia berhadapan dengan kegiatan sosial
peranan akal dijadikan sebagai alat berpikir untuk memberikan
pertimbangan, apakah tindakan seseorang bisa diterima oleh orang lain
atau lingkungan tersebut. Dalam hal lingkungan sosial peranan akal
________________________________________
Page 44
44
masih dibutuhkan dan dalam hal agama peranan akal dinomor duakan.
Perbuatan yang dilakukan hanya semata-mata ketaatan dan kepatuhan
kepada sang Khaliq sebatas manusia itu mengetahui dan mampu untuk
melaksanakan perbuatan tersebut.
Pokok Persoalan Etika, sebagai ilmu yang membahas tentang
tingkah laku moral, maka pokok persoalan etika adalah perbuatan
manusia itu sendiri, namun tidak semua perbuatan manusia menjadi
pokok persoalan etika.
Berikut ini macam-macam perbuatan manusia :
a. Perbuatan yang dilakukan dengan kehendak atau voluntary actions
yakni, perbuatan ini dilakukan dengan penuh kesadaran dan
pikiran, inilah perbuatan yang memiliki nilai etis atau dapat
dinilai dari sisi baik dan buruk.
b. Perbuatan yang dilakukan dengan tanpa kehendak atau involuntary
actions, seperti contoh denyut jantung, darah, bernafas, dan lain
sebagainya. Perbuatan ini dilakukan dengan tanpa kesadaran dan
pikiran. Sehingga perbuatan ini tidak memiliki nilai etis atau tidak
dapat dinilai dari sisi baik dan buruk, sehingga tidak masuk dalam
persoalan etika.
c. Perbuatan semu, yakni perbuatan yang berdimensi etik tetapi
dilakukan diluar kesadarannya atau hanya kehendaknya. Perbuatan
ini menjadi perbuatan etis yang bersyarat. Contoh perbuatan yang
dilakukan dalam keadaan tidur, perbuatan ini tidak dapat dinilai
baik atau buruk dan tidak dapat dituntut dari segi etika.
d. Perbuatan yang netral, yakni perbuatan dengan ikhtiar akan tetapi
tidak berdimensi etik. Misalnya ketika mengikuti perkuliahan kita
bebas memakai pakaian dengan lengan panjang atau pendek, hal
ini tidak bisa dinilai baik atau buruk sebab perbuatan itu bebas
dari tuntutan etika ( Umar Bakri, 1977: 3-4)
Persoalan baru yang muncul saat menerapkan nilai moral ialah
konflik yang menimbulkan dilema nurani mana yang baik, benar, yang
________________________________________
Page 45
45
mana yang tidak baik dan mana yang selayaknya. Disinilah, etika
memainkan peranannya, etika berkaitan dengan “apa yang seharusnya”
atau terkait dengan apa yang baik dan tidak baik untuk kita lakukan
serta apa yang salah dan apa yang benar. (Harlan B. Miller, 1988).
Dari pemahaman tersebut, maka etika menjadi acuan atau
panduan bagi ilmu dalam realisasi pengembangannya. Thomas Shanon
dalam Pengantar Bioetika (1995), untuk mengatasi konflik batin
dikemukakan teori-teori etika yang bermaksud untuk menyediakan
konsistensi dan koheren dalam mengambil keputusan–keputusan moral
(Deontologi dalam www// google).
3. Konsekuensialisme
Teori ini menjawab “apa yang harus kita lakukan”, dengan
memandang konsekuensi dari bebagai jawaban. Ini berarti bahwa
yang harus dianggap etis adalah konsekuensi yang membawa paling
banyak hal yang menguntungkan, melebihi segala hal merugikan,
atau yang mengakibatkan kebaikan terbesar bagi jumlah orang
terbesar. Manfaat paling besar dari teori ini adalah bahwa teori ini
sangat memperhatikan dampak aktual sebuah keputusan tertentu
dan memperhatikan bagaimana orang terpengaruh. Kelemahan dari
teori ini bahwa lingkungan tidak menyediakan standar untuk
mengukur hasilnya.
4. Deontologi
Pencetus dari teori Deontologi adalah filosof Jerman Immanuel
Kant. Deontologi berasal dari kata Yunani deon yang berarti
“kewajiban”. Teori ini menganut bahwa dalam menentukan apakah
tindakannya bersifat etis atau tidak, dijawab dengan kewajiban-
kewajiban moral.
Suatu perbuatan bersifat etis, bila memenuhi kewajiban atau
berpegang pada tanggungjawab, jadi yang paling penting adalah
kewajiban-kewajiban atau aturan-aturan, karena hanya dengan
________________________________________
Page 46
46
memperhatikan segi-segi moralitas ini dipastikan tidak akan
menyalahkan moral.
Manfaat paling besar yang dibawakan oleh etika deontologis
adalah kejelasan dan kepastian. Problem terbesar adalah bahwa
deontologi tidak peka terhadap konsekuensi-konsekuensi perbuatan.
Dengan hanya berfokus pada kewajiban, barangkali orang tidak
melihat beberapa aspek penting sebuah problem.
Menurut teori ini, perbuatan dikatakan baik apabila dilakukan
karena kehendak yang baik. Perbuatan adalah baik jika hanya
dilakukan karena kewajiban, dan juga karena wajib dilakukan. Dan
suatu perbuatan bersifat moral jika dilakukan semata-mata karena
hormat untuk hukum moral. Hukum moral mengandung imperatif
kategoris, artinya perintah yang mewajibkan begitu saja tanpa
syarat. Tindakan manusia terjadi begitu saja tanpa ada sebab
musababnya.
Menurut Immanuel Kant, tentang teori moralnya, sebagaimana
dijelaskan oleh K. Berten, dapat diuraikan dalam tiga hal yaitu : a)
”Engkau harus begitu saja” (Du sollst). Imperatif kategoris
menjiwai semua peraturan etis, misalnya hutang harus dibayar,
(senang atau tidak senang), janji harus ditepati, dan lain
sebagainya. b) Kalau hukum moral harus dipahami sebagai
imperatif kategoris, maka dalam bertindak secara moral, kehendak
harus otonom (menentukan dirinya sendiri) dan bukan heteronom
(ditentukan oleh faktor dari luar seperti kecenderungan atau emosi).
Dan c) Dengan menemukan otonomi kehendak maka manusia akan
menemukan kebebasan dalam bertindak, manusia itu bebas dalam
mentaati hukum moral.
Orang yang bertindak karena kewajiban, berarti melakukan apa
yang dianggapnya masuk akal. Apa yang masuk akal bukan semata-
mata apa yang memajukan kepentingan orang itu sendiri, tetapi apa
yang akan membawa tindakannya kedalam keharmonisan dengan
________________________________________
Page 47
47
tindakan-tindakan yang dilakukan orang lain sepanjang tindakan-
tindakan itu masuk akal juga (HB Acton, 2003: 84-85)
5. Etika Hak.
Teori ini memandang dengan menentukan hak dan tuntutan
moral yang ada didalamnya, selanjutnya dilema-dilema ini
dipecahkan dengan hirarkhi hak. Yang penting dalam hal ini adalah
tuntutan moral seseorang yaitu haknya ditanggapi dengan sungguh-
sungguh.
Teori hak ini pantas dihargai terutama karena tekanannya pada
nilai moral seorang manusia dan tuntutan moralnya dalam suatu
situasi konflik etis. Selain itu teori ini juga menjelaskan bagaimana
konflik hak antar individu. Teori ini menempatkan hak individu
dalam pusat perhatian yang menerangkan bagaimana memecahklan
konflik hak yang bisa timbul.
6. Teori-Teori Akhlak
Ada anggapan yang mengatakan bahwa akhlak itu tidak bisa
dirubah, anggapan ini dijawab oleh al-Ghazali dengan mengatakan
bahwa jika tingkah laku itu tidak dapat dirubah tentu tidak berguna
lagi perintah-perintah untuk memberikan wasiat, pesan, nasihat dan
pendidikan yang ada dalam agama.
Akhlak yang didefinisikan sebagai keadaan yang telah tertanam
dalam jiwa manusia (watak), apakah bisa dirubah atau dibentuk
kepada kecenderungan baik. Al-Ghazali mengatakan bahwa betapa
akhlak itu sebenarnya dapat menerima perubahan dengan memberikan
tamsil pada binatang. Bahwa binatang yang mempunyai watak buas,
rakus dan pembunuh, sebagaimana harimau, ternyata dalam
pertunjukan sirkus ternyata dapat menjadi binatang yang terdidik,
dapat menahan diri, kuda yang mempunyai watak melawan juga bisa
menjadi penurut dan tunduk. Ini membuktikan bahwa sebenarnya
________________________________________
Page 48
48
akhlak yang diidentikkan dengan watak itu sebenarnya dapat
menerima perubahan atau dapat diformat.
Namun al-Ghazali juga menjelaskan dan mengakui bahwa tidak
semua bentuk pada manusia menerima perubahan. Al-Ghazali
menjelaskan bahwa eksistensi alam ini terklasifikasi dalam dua
kategori. Pertama, sesuatu yang tidak termasuk dalam bingkai ikhtiar
manusia yaitu ciptaan Allah yang sudah diformat sempurna dalam
standar kemakhlukannya, sehingga tidak perlu lagi menerima
kesempurnaan atau perubahan, seperti susunan tata surya dan juga
susunan tubuh manusia. Kedua, sesuatu yang eksistensinya diformat
dalam kekurangan sehingga masih harus disempurnakan lewat wilayah
ikhtiar manusia.
Demikian halnya dengan akhlak, secara garis besar al-Ghazali
memberikan penjelasan bahwa akhlakpun sama dengan eksistensi
alam, yaitu ada yang sudah diformat sempurna seperti akhlak para
nabi yang secara alamiah mempunyai kesempurnaan akal dan polalaku
yang baik, keseimbangan nafsu dan amarah, bahkan secara otomatis
sudah tunduk pada akal dan syara’, dan ada yang diformat menerima
perubahan. Dan dalam form yang menerima perubahan inilah, manusia
mempunyai andil yang besar untuk melakukan perubahan menuju
kepada perbaikan. Lalu dengan cara apa manusia melakukan
perubahan tersebut. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa kenyataan
yang dijumpai pada watak manusia sangatlah berbeda-beda ada
manusia yang sangat baik sekali, baik, buruk dan jahat sekali. Penulis
merasa yakin dan sependapat dengan mengungkap kembali apa yang
telah di sampaikan al-Ghazali, untuk itu pemikirannya dalam usaha
memperbaiki akhlak.
E. Strategi Pembentukan Moralitas
Pendidikan moral sudah sangat lama dipermasalahkan, dimulai
dari pernyataan Meno yang terkenal itu kepada Socrates sebagai
________________________________________
Page 49
49
berikut: Socrates, apakah moral itu bisa diajarkan, atau hanya bisa
dicapai melalui praktik kehidupan sehari-hari? Seandainya melalui
pengajaran dan praktik tidak bisa dicapai, apakah moral bisa dicapai
secara alamiah atau dengan cara lain? (Nurul Zuriah, 2007: 20-21).
Pernyataan Meno diatas sampai sekarang masih terus diperdebatkan,
terutama dikalangan ahli psikologi dan filsafat moral dalam Beck, ed,
1987 (Ibid: 21).
Kalau moral dipahami sebagai suatu adat kebiasaan yang hanya
terjadi pada masyarakat tertentu, maka manusia akan sulit untuk
berpegang pada satu aturan saja, manusia akan terus berjalan menurut
keadaan dimana mereka hidup dan begitu banyak adat kebiasaan-adat
kebiasaan yang harus dipatuhi dan harus dihormati, namun sangat
penting untuk terus diupayakan supaya adat kebiasaan yang baik atau
moralitas perlu ditanamkan pada diri manusia supaya menjadi manusia
yang bermoral, dengan cara memberikan latihan yang terus menerus
dan dengan hati yang bersungguh-sungguh, yang akhirnya akan
tertanam kebiasaan baik tersebut.
Mujahadah dan Riyadhah.
Al-Ghazali tidak memberikan definisi maupun teknik satu
persatu tentang mujahadah dan riyadhah. Nampaknya al-Ghazali
memberikan isyarat bahwa keduanya merupakan satu kesatuan utuh
yang dilaksanakan secara bersamaan.
Adapun yang dimaksud dengan kedua kata itu sebagai kata
kunci pembuka tabir akhlak bahwa akhlak itu dapat diformat dengan
mendorong hati dan jiwa, memberikan beban sebagai suatu kewajiban,
dan membiasakan secara kontinew untuk melakukan suatu aktivitas,
sehingga aktifitas itu tidak terasa menjadi beban dan kewajiban yang
pada gilirannya terciptalah suatu akhlak yang merupakan watak dan
tabiat, hal ini berarti berlaku pula pada kecenderungan kepada akhlak
baik atau positif) maupun akhlak buruk atau negatif.
________________________________________
Page 50
50
Tidak bisa dipungkiri bahwa kenyataan sering dijumpai bahwa
watak manusia sangatlah berbeda-beda ada manusia yang sangat baik
sekali, baik, buruk dan jahat sekali, dan sifat-sifat kemarahan dan
kesyahwatan akan terus menyertahi manusia selama hidupnya,
sehingga tidak mungkin sifat-sifat itu dihilangkan dari dirinya. Tetapi
yang diinginkan adalah supaya manusia mampu mengendalikan dan
membimbing dengan jalan melatih dan bersungguh-sungguh. Dan
menempatkan sifat-sifat itu dalam kedudukan sedang atau
pertengahan, yakni antara sifat melampaui batas dan sifat menyia-
nyiakan. Sehingga tetap masih dikendalikan oleh akal pikiran yang
sehat (Al-Ghazali,1983: 510).
Kebijakan atau jalan Tengah
Sementara filosofis muslim lainnya yang berbicara tentang
bahasan etika, Ibn Miskawaih, mencoba berpikir bagaimana caranya
agar manusia mampu melatih jiwa sehingga mampu mencapai
kebahagiaan yang sempurna. Bagi Miskawaih, jiwa dipandang sebagai
sesuatu yang berbeda dengan badan. Jiwa membedakan manusia
kepada makhluk lain. Jiwa tidak hanya merupakan sistem aksiden
karena dalam dirinya sendiri memiliki kekuatan untuk membedakan
antara aksiden dengan esensial dan tidak dibatasi pada kesadaran akan
hal-hal yang aksidensi oleh indra (Sayyed Hossein Nasr,2003: 312) .
Kebijakan15, ia mengembangkan seperangkat aspek kebajikan
yang berkaitan dengan kebijaksanaan, keberhasilan, kebahagiaan,
keadilan, dan kesolekhan, yang menguraikan tentang perkembangan
moral yang hendak dicapai. Ia mencoba mengkombinasikan
15 Kebijakan menurut Ibn Miskawaih merupakan bagian dalam jiwa yang
memiliki posisi tengah yang disebut juga dengan al hikmah. Posisi ini berada
diantara kehinaan yaitu bodoh (al saft) dan dungu (al balh). Kebodohan
menggunakan wilayah berpikir pada sesuatu yang tidak baik, sedangkan dungu
adalah sengaja menyingkirkan wilayah berpikir. Adapun yang menjadi posisi
tengahnya adalah kepandaian. Salah satu ujung yang mengapit posisi tengah adalah
kondisi mental yang berlebihan sedang yang satunya dalam kondisi kurang (Ibn
Miskawaih,1923:23).
________________________________________
Page 51
51
pembagian kebijakan versi Plato dan pemahaman Aristoteles, dimana
keduanya diperlakukan sebagai satu kesatuan yang utuh (Ibn
Miskawaih,1913: 24)
Ibn Miskawaih membicarakan etika sebagai kebijakan,
menurutnya kebijakan merupakan bagian dalam jiwa yang memiliki
posisi tengah yang disebut juga dengan al hikmah. Posisi ini berada
diantara kehinaan yaitu bodoh (al saft) dan dungu (al balh).
Kebodohan menggunakan wilayah berpikir pada sesuatu yang tidak
baik, sedangkan dungu adalah sengaja menyingkirkan wilayah
berpikir. Adapun yang menjadi posisi tengahnya adalah kepandaian.
Salah satu ujung yang mengapit posisi tengah adalah kondisi mental
yang berlebihan sedang yang satunya dalam kondisi kurang (Ibn
Miskawaih,1923: 23). Ibn Miskawaih, menyebutkan kekuatan jiwa (al
quwwatun nafsiyah) sebagaimana dikatakan Platinus, keutamaan-
keutamaan dan keburukan-keburukannya yang berkaitan dengannya.
Adapun yang berkaitan dengan keutamaan, pembagiannya menjadi
empat bagian, yaitu : kearifan, sederhana, keberanian,dan keadilan.
1. Kearifan, merupakan keutamaan dari jiwa berpikir yang
mengetahui, terletak pada mengetahui yang ada, atau
mengetahuai yang ilahiah dan manusiawi;
2. Sederhana, merupakan keutamaan dari bagian hawa nafsu.
Keutamaan ini tampak pada diri manuisa ketika manusia
tersebut mengarahkan hawa nafsu menurut penilaian baik dan
buruknya, sehingga manusia tidak tersesat oleh hawa nafsunya
dan manusia bebas dari hamba hawa nafsu;
3. Keberanian, keberanian jiwa amarah yang muncul pada diri
seseorang ketika jiwa ini tunduk dan patuh terhadap jiwa
berpikir serta menggunakan penilaian baik dalam menghadapi
hal-hal yang membahayakan;
4. Keadilan, juga merupakan kebajikan jiwa, yang timbul akibat
menyatunya tiga kebajikan yang tersebut diatas, ketiganya
________________________________________
Page 52
52
bertindak selaras (tidak kontradiksi) (Ibn Miskawaih, 1994:
45)
Jiwa, Menurut Ibn Miskawaih, Jiwa manusia dibagi menjadi
tiga fakultas jiwa. Pertama, fakultas berpikir (al-quwwah al-natiqah)
ia merupakan jiwa tertinggi untuk berpikir dan menangkap fakta.
Organ tubuh yang digunakan adalah otak. Kedua, fakultas amarah (al-
quwwah al-qadabiyah), yakni jiwa keberanian untuk menghadapi
resiko, ambisi pada kekuasaan, kedudukan dan kehormatan. Organ
tubuh yang digunakan adalah hati. Ketiga, fakultas nafsu sahwat (al-
quwwah al-syahwiyyah), yakni dorongan nafsu makan, keinginan
terhadap kelezatan, minuman, seksual, dan segala macam inderawi.
(Suparman Syukur,2004: 327), merupakan substansi yang independen
yang mengembalikan badan dan ia bersifat kekal. Esensi jiwa tidak
akan mati dan terlibat dalam gerak abadi serta sirkulasi (keatas
menuju akal dan akal aktif, dan kebawah menuju ke materi) dan
kebahagiaan akan tumbuh melalui yang pertama (akal aktif) dan
kemalangan akan tumbuh melalui yang kedua (materi).
Raghib al-Isfahani, menjelaskan secara psikologis, munculnya
perilaku seseorang melalui tahapan-tahapan sebagai berikut : lintasan
pikiran (saanih), ide (khaitir), dari keduanya muncul kehendak
(iraadah), kemudian cita-cita (hazm), sampai akhirnya muncul
termanivestasi dalam perbuatan (’amal) (Amril M, 2002: 32). Menurut
Raghib, benih perbuatan moral dimulai pada tahap ide (khaitir), oleh
karena itu pada tahap ini sebaiknya seseorang dituntut untuk
melakukan pengujian-pengujian terhadap ide yang dimilikinya,
sehingga pada tahap ini bisa dikontrol atau dimanag dengan baik
sebelum samapai pada kehendak.
Menurut Elizabeth B.Hurlock (1978) perilaku yang dapat
disebut Moralitas yang sesungguhnya tidak saja sesuai dengan standar
sosial melainkan juga dilaksanakan dengan sukarela. Ia muncul
bersamaan dari peralihan kekuasaan eksternal ke internal dan terdiri
________________________________________
Page 53
53
atas tingkah laku yang diatur dari dalam, yang disertai tanggung jawab
pribadi untuk tindakan masing-masing.
Tindakan sukarela yang disertahi dengan tanggung jawab
pribadi untuk tindakan masing-masing tidaklah bisa dipaksakan atau
diajarkan, tindakan ini menyangkut sikap batin yang telah dipola
dengan kebiasaan-kebiasaan yang telah ditanamkan oleh
lingkungannya. Sehingga untuk membentuk moralitas peserta didik
dengan pembiasaan perlunya diberikan latihan-latihan yang sungguh-
sungguh (Imam Gazali).
Gagasan yang ditimbulkan dari hasil pemikirian yang cerdas
pentingnya selalu diekpresikan dalam kehidupan nyata dalam bentuk
penyampaikan informasi-informasi atau tulisan-tulisan yang
membutuhkan tindak lanjut. Dengan sarana pendidikan, peserta didik
memperoleh informasi-informasi yang baik yang akan dijadikan
sebagai sesuatu yang akan tertananm didalam hatinya.
Dengan informasi yang baik peserta didik terus akan
mengakumulasi dengan jalan melakukan atau bertindak sesuai dengan
arahan dan bimbingan dari pendidik dan orang-orang yang
menanamkan kebaikan tersebut pada perkembangan hidupnya selama
peserta didik megalami perkembangan moral dalam usia sekolah dasar
(7-12 tahun).
Kepatuhan terhadap Agama
Menurut Raghib al-Isfahani, bahwa landasan kemuliaan agama
adalah kesucian jiwa yang dicapai melalui pendidikan, kesederhanaan,
kesabaran, dan keadilan. Kesempurnaan bisa dicapai melalui
kebijaksanaan dengan jalan melaksanakan perintah-perintah agama,
kedermawanan melalui kesederhanaan, keberanian melalui kesabaran,
dan kebenaran berbuat diperoleh melalui keadilan (Suparman Syukur
2004: 199). Karena hidup selanjutnya bukan untuk mencari, namun
pentingnya diisi dengan perbuatan-perbuatan yang baik sehingga
________________________________________
Page 54
54
dengan isian perbuatan-perbuatan yang baik tersebut mampu
menunjukkan hidupnya untuk menuju kepada tujuan akhir hakikinya
yaitu mencapai kebahagiannya untuk menuju Tuhan.
Sebagaimana diungkapkan Muhammad Noor Syam bahwa
khusus dalam tingkah laku manusia, manusia sebagai subyek telah
memiliki potensi-potensi kebaikan sesuai dengan kodratnya,
disamping kecenderungan dan dorongan-dorongan ke arah yang tidak
baik (Jalaludin, abdullah Idi, 2007: 116), lihat pula QS Asy Syams: 8,
yang artinya ”Pada dasarnya Allah telah mengilhamkan kepada jiwa
itu (jalan) kefasikan (keburukan) dan ketaqwaannya (kebaikan)”.
Tugas manusialah untuk melatih, terutama para pendidik dan
orang tua, dengan demikian, peserta didik yang mendapat pengajaran
dan pembelajaran di sekolah, pentingnya tugas guru untuk melatih dan
memberikan bantuan pada peserta didik untuk mengembangkan
potensi-potensi yang ada pada peserta didik (Zuharini dalam
Jalaludin, abdullah Idi, 2007: 118).
Peranan guru dan perancang pembelajaran dalam
mengembangkan strategi pembelajaran moral mestinya harus lebih
banyak memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
mengambil peran moral, baik di dalam lingkungan keluarga,
lingkungan sekolah, lingkungan teman sebaya dan lingkungan
masyarakarat yang lebih luas. Kesempatan untuk mengambil peran
sosial nampaknya meberikan kontribusi yang signifikan dalam
perkembangan moral. Penelitian Holstein dalam Kohlberg &Turriel,
memperlihatkan bahwa anak-anak yang maju dalam perkembangan
moral, memiliki orang tua yang juga maju dalam penalaran moral.
Orang tua yang berusaha mengenal pandangan anak, dan yang
mendorong terjadinya dialog, mempunyai anak yang secara moral
lebih matang.(C.Asri Budiningsih, 2004: 84)
Pendapat senada juga dikemukakan oleh Kolhberg (Cremers,
1995) disamping di dalam keluarga, pengambilan peran dalam
________________________________________
Page 55
55
kelompok keluarga, pengambilan peran dalam kelompok sebaya, di
sekolah dan di masyarakat yang lebih luas, akan meningkatkan
perkembangan moralnya (Ibid). Pada diri peserta didik telah tertanam
potensi utama yang terus dilatih dengan stimulus-stimulus yang positif
sebagaimana menurut tokoh muslim yang dikenal dengan hujat al-
Islam, Al Ghozali menawarkan suatu konsep, yang bukan saja bersifat
lahiriah namun lebih bersifat batiniah, yaitu akhlaq sebagaimana
Sabda Rasulullah SAW, bahwa Mukmin yang paling sempurna
imannya adalah yang paling baik akhlaknya. Yang lemah lembut dan
tidak pernah menyakiti orang (Jalaluddin Rakhmat, 2003: 146-147).
Dan karena akhlaklah yang akan membawa dia kepada jalan
keselamatan (Jalaluddin Rakhmat, 2003: 145).
Al-Ghazali memberikan pemahaman untuk penelusuran yang
sering menyertahi akhlak dengan empat opsi, yaitu pola laku positif
atau negatif, kemampuan untuk mengakses keduanya, pengetahuan
tentang keduanya, serta situasi jiwa dalam kecenderungannya terhadap
salah satunya. Lebih lanjut dijelaskan bahwa akhlak bukanlah bentuk
polalaku, kemampuan untuk membentuk polalaku, maupun
pengetahuan tentang polalaku.
Polalaku itu tidak disebut akhlak manakala tidak menetap
dalam jiwa karena akhlak tidak bersifat temporer. Sebagai contoh
seseorang yang memberikan infak karena sesuatu karena sebab-sebab
tertentu, seseorang yang marah, karena merasa didzalimi, dan setelah
seseorang itu tahu atau sadar, dimana didalam hatinya masih ada
guratan-guratan yang diketahuinya, sehingga hal semcam ini belum
dikatakan seorang yang berakhlak, karena tindakannya disebabkan
adanya dorongan-dorongan dan pertimbangan-pertimbangan dari luar
dirinya.
Ada empat rukun yang harus dipenuhi, agar diketahui
kesemprunaan suatu akhlak, yaitu 1) kekuatan ilmu, 2) kekuatan
marah, 3) kekuatan nafsu syahwat dan 4) kekuatan berlaku adil.
________________________________________
Page 56
56
Keempat rukun ini harus merupakan satu kesatuan utuh. Sebagaimana
bentuk lahir, wajah misalnya, tidak bisa dikatakan sempurna
keindahannya manakala hanya berfokus pada keindahaan kedua
matanya saja, sementara apresiasi hidung diabaikan, demikian juga
dengan keempat rukun tersebut.
Kekuatan Ilmu
Kekuatan ilmu adalah kemampuan membedakan antara yang
baik dan buruk (positif atau negatif), manakala signal kemampuan ini
kuat maka akan melahirkan hikmah atau kebijaksanaan. Selanjutnya
kemampuan ini akan lebih bermakna manakala disertahi dengan
kemampuan mengekang dan melepaskan dorongan amarah menurut
batas yang dibutuhkan oleh hikmah itu sendiri dan kekuatan nafsu
syahwat berada dibawah isyaratnya. Sementara kekuatan keadilan
bertindak sebagai penyeimbang yang meletakkan kekuatan-kekuatan
garis lurus dengan batasan-batasan masing-masing.
Kekuatan marah yang sempurna adalah manakala berada dalam
garis lurus batasannya, dan ia akan melahirkan syaja’ah (keberanian),
dan manakala ia melampaui batasan tersebut maka yang lahir adalah
sikap tahawwur (berani tanpa pengetahuan), dan manakala lemah tidak
sampai pada batas yang ditentukan maka lahirlah sikap penakut, lemah
melaksanakan apa yang seharusnya dilaksanakan.
Dari beberapa uraian tersebut, al-Ghazali memberikan
penekanan bahwa pokok-pokok akhlak dan dasar-dasarnya ada empat
yaitu hikmah16, keberanian17, menjaga keharmonisan diri atau
16 Hikmah adalah situasi jiwa yang dapat dipergunakan untuk mengatur marah
dan nafsu syahwat dan mendorongnya menurut kehendak pengetahuan. Pemakaian
dan pengendaliannya diatur oleh kehendak pengetahuan.
17 Keberanian adalah suatu keadaan jiwa yang merupakan sifat kemarahan,
tetapi yang dituntun dengan sifat akal pikiran untuk terus maju atau mengekangnya
________________________________________
Page 57
57
kelapangan dada18 dan keadilan19. Dan dari keempat sendi-sendi
pokok tersebut, timbulnya semua akhlak yang baik dan terpuji.
E. Cakupan Moralitas Peserta Didik
1. Moralitas Peserta Didik
Perkembangan Moral (moral development) berkaitan dengan
aturan20 dan konvensi tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh
manusia dalam interaksinya dengan orang lain (John W.Santrock,
2002: 287), yang diungkapkan dalam bentuk 1) Berpikir, 2) Bertindak
dan 3 ) Perasaan (Ibid).
Peneliti Perkembangan Moral, Pieget memicu tentang adanya
pemikiran isu-isu moral, dalam observasi dan wawancara yang
ekstensip terhadap anak-anak berusia 4–12 tahun. Piaget mengamati
anak-anak tersebut bermain kelereng sambil berusaha mempelajari
bagaimana anak-anak tersebut menggunakan dan memikirkan aturan-
aturan permainan. Piaget juga bertanya kepada anak-anak tentang
aturan-aturan etis, seperti mencuri, berbohong, hukuman dan keadilan
(Ibid).
Kesimpulan yang diperoleh Piaget menyebutkan bahwa ada dua
cara yang jelas-jelas berbeda dalam berpikir tentang moralitas,
tergantung pada kedewasaan perkembangan mereka, kedua cara
tersebut adalah :
18 Kelapangan dada ialah mendidik kekuatan syahwat atau kemauan dengan
didikan yang bersendikan akal pikiran serta syariat agama.
19
Keadilan ialah suatu kekuatan dalam jiwa yang dapat membimbing
kemarahan dan syahwat itu dan membawanya kearah yang sesuai dengan hikmah
dan kebijaksanaan. Ada kalanya dibiarkan dan adakalanya dikekang dan semua ini
dengan mengingat keadaan dan suasana yang sedang dihadapinya (Ihya Ulumuddin
Imam al-Ghazali,1983:506-507).
20 Dalam mempelajari aturan-aturan ini para pakar perkembangan anak menguji
tiga bidang yang berbeda, pertama bagaimana anak-anak berpikir atau bernalar
tentang aturan-aturan untuk perilaku etis, kedua, bagaimana anak-anak
sesungguhnya berperilaku dalam keadaan moral dan ketiga bagaimana anak-anak
merasakan moral itu.
________________________________________
Page 58
58
1) Heteronomous morality yaitu tahap perkembangan moral yang
terjadi pada anak-anak berusia 4-7 tahun. Keadilan dan aturan-
aturan dibayangkan sebagai sifat-sifat dunia yang tidak boleh
berubah.
2) Autonomous morality yaitu tahap perkembangan moral yang
terjadi pada anak-anak yang lebih tua (kira–kira usia 10 dan
lebih), pada fase ini anak-anak menjadi sadar bahwa aturan-aturan
dan hukum-hukum diciptakan oleh manusia dan di dalam menilai
suatu tindakan, seseorang harus mempertimbangkan maksud-
maksud pelaku dan juga akibat-akibatnya. Dan anak-anak usia 7-
10 tahun berada di dalam suatu transisi diantara dua tahap yang
menunjukkan beberapa ciri dari keduanya.
Dijelaskan lebih lanjut bahwa pemikir heteronomous dalam
menilai kebenaran atau kebaikan perilaku dengan mempertimbangkan
akibat-akibat dari perilaku itu, bukan maksud-maksud dari pelaku.
Sebagaimana dicontohkan bahwa memecahkan dua belas gelas
secara tidak sengaja lebih buruk daripada memecahkan satu gelas
secara sengaja ketika mencoba mencuri sepotong kue. Bagi pemikir
otonomous, yang benar adalah sebaliknya, maksud pelaku dianggap
sebagai yang terpenting. Pemikir heteronomous juga yakin bahwa
aturan tidak boleh diubah dan digugurkan oleh smua otoritas yang
berkuasa. Mereka menolak ketika diajukan aturan-aturan baru harus
diperkenalkan. Mereka bersikeras bahwa aturan-aturan harus selalu
sama dan tidak boleh diubah. Untuk melihat perbedaan pemikir
heteronomous dan pemikir otonomous, lebih jelasnya bisa dilihat
dalam tabel sebagai berikut :
________________________________________
Page 59
59
Tabel 2.2.
Ciri-ciri Pemikir Heteronomous dan Otonomous
No
Pemikir Heteronomous
Pemikir Otonomous
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
- Dilakukan anak berusia 4-
10 tahun
- Mempertimbanggkan aki-
bat-akibat dari perilaku .
- Aturan bersifat kaku, tidak
boleh diubah
- Menolak aturan-aturan
yang baru diperkenalkan
- Tunduk pada aturan-aturan
sosial yang telah dibuat
- Yakin akan adanya
keadilan yang immanen
(immanent justice)21
- Merasa khawatir setelah
melakukan pelanggaran.
- Dilakukan anak diatas usia 10
tahun
- Mempertimbangkan maksud-
maksud dari pelaku
- Aturan bersifat fleksibel, bisa
dibuat kesepakatan
- Menerima perubahan, tidak
bersifat kaku
- Tunduk pada perubahan
aturan denga kesepakatan
- Hukuman tidak serta merta
diberlakukan begitu saja
- Hukuman hanya terjadi pada
seseorang yang relevan
menyaksikan kesala-han dan
bahwa hukuman juga tidak
terelakan
Piaget berpendapat bahwa, seraya berkembang anak-anak juga
menjadi lebih canggih, dalam berpikir tentang persoalan-persoalan
sosial khususnya tentang kemungkinan-kemungkinan dan kondisi-
kondisi kerja sama. Pieget yakin bahwa pemahaman sosial ini terjadi
melalui relasi-relasi teman sebaya (Dalam kelompok teman sebaya,
dimana semua anggota memiliki kekuasaan dan status yang sama,
rencana-rencana dirundingkan dan dikoordinasikan, dan ketidak
setujuan diungkapkan dan pada akhirnya disepakati) yang saling
memberi dan menerima (Ibid.: 288)
Sekolah dan relasi dengan para guru merupakan aspek-aspek
kehidupan anak yang semakin tersetruktur. Pemahaman diri anak
berkembang, dan perubahan-perubahan dalam gender dan
21 Immanent justice adalah konsep bahwa apabila suatu aturan dilanggar,
hukuman akan dikenakan segera.
________________________________________
Page 60
60
perkembangan moral menandai perkembangan selama tahun-tahun
sekolah dasar setingkat anak usia 7-12 tahun (John W. Santrock, 2002:
342).
Islam mulai menerapkan pemberlakuan syariah bagi anak-anak
usia baligh (7-12), pada usia tersebut anak-anak telah diwajiban untuk
melakukan syariah seperti shalat, merupakan ibadah pertama yang
dimintai pertanggungan jawab di hadapan Tuhannya. Dengan
demikian anak pada usia tersebut telah dianggap mampu bertanggung
jawab akan kewajibannya. Sebagaimana
penelitian
akan
perkembangan moral yang dilakukan oleh Kohlberg, yang menyatakan
bahwa perkembangan moral manusia ada dalam tahapan-tahapan yang
sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan intelektualnya.
Menurut penulis pada dasarnya manusia termasuk peserta didik
telah memiliki potensi moral (baik dan buruk) yang telah tertanam
didalam batinnya (diri), baik buruk akan tumbuh dan berkembang
sangat dipengaruhi oleh stimulus-stimulus dan tauladan-tauladan
yang melingkupinya. Permasalahannya bagaimana mengkondisikan
dan mengarahkan peserta didik pada kecenderungan akal aktif (potensi
batiniah baik), atau peserta didik dengan moralitas baik.
2. Faktor-faktor Pembentuk Moralitas Peserta Didik
Pendidikan formal yang dilaksanakan dalam dunia
persekolahan, hampir memakan waktu kurang lebih 16 tahun (sekolah
dasar enam tahun, sekolah menengah pertama tiga tahun, sekolah
menengah atas tiga tahun dan perguruan tinggi kurang lebih empat
tahun) waktu yang cukup untuk membentuk moralitas peserta didik
Adat kebiasaan yang terbentuk merupakan suatu perbuatan
yang dilakukan dengan berulang-ulang, perbuatan tersebut akan
menjadi kebiasaan, karena dua faktor, pertama adanya kesukaan hati
kepada suatu pekerjaan, dan kedua menerima kesukaan itu dengan
melahirkan suatu perbuatan (Ahmad Amin,1975: 21).
________________________________________
Page 61
61
Dan sifat urat syaraf itu menerima suatu perubahan, jisim atau
benda termasuk manusia disebut menerima perubahan, bila dapat
dirubah menurut bentuk-bentuk baru, dan bila dapat dirubah, maka
akan tetap dalam perubahan itu, kertas yang dilipat terasa pertama kali
sedikit menerima penolakan, maka apabila terus diupayakan dan
dipaksakan maka lambat laun akan dapat berubah dalam bentukan itu
(Ibid: 22).
Dalam bentukan yang dikehendaki sebagaimana peserta didik
yang dikehendaki dalam pembentukan moralitas yang dijunjung tinggi
maka akan memiliki moralitas yang baik dan kebiasaaan moralitas
yang baik yang telah terbentuk akan mepunyai dua sifat, pertama
memberikan kemudahan pada perbuatan itu karena telah menjadi
kebiasaan dan kedua menghemat waktu dan perhatian, karena manusia
itu hampir menjadi segolongan adat kebiasaan yang berjalan di
permukaan bumi dan nilainya akan bergantung kepada kebiasaannya
(ibdi: 32)
Butler mengemukakan bahwa sejumlah peserta didik untuk
setiap angkatan termasuk pada usia 6-12 tahun haruslah dididik untuk
mengetahui dan mengagumi kitab suci. Sedang Dernihkevich
menghendaki agar kurikulum berisikan moralitas yang tinggi
(Jalaludin, abdullah Idi, 2007: 109). Dan tugas utama pendidikan
adalah mempersiapkan peserta didik kearah kematangan akal dengan
memberikan pengetahuan. Sedangkan tugas utama guru/pendidik
adalah memberikan pendidikan dan pengajaran (pengetahuan) kepada
peserta didik. (Ibid : 115).
Peserta didik mempunyai bermacam-macam kebutuhan,
pemenuhan kebutuhan ini merupakan syarat yang penting bagi
perkembangan pribadi yang sehat dan utuh. Kebutuhan tersebut antara
lain Kebutuhan rasa kasih sayang, kebutuhan rasa aman, rasa harga
diri, kebebasan, sukses dan ingin tahu. (Khoiron Rosyadi, 2004: 195).
Kebutuhan dasar peserta didik tersebut merupakan haknya yang musti
________________________________________
Page 62
62
diberikan oleh keluarga, pendidik pada saat pembelajaran dan
pembentukan masa perkembangannya, sehingga masa-masa yang
sangat menentukan tersebut benar-benar memperoleh porsi yang akan
mengantarkan dan sekaligus sebagai basic landasan dasar pada masa-
masa pengisian hidup berikutnya.
Perkembangan anak pada khususnya sangat tergantung pada
lingkungan dimana mereka hidup, dan peserta didik yang hidup
bersama keluarga, bersama-sama dengan teman sebayanya dan
lingkungan sekolah hampir kurang lebih 6 (enam) jam sehari, tentu
sedikit banyak akan memberikan pengaruh terhadap penanaman moral
mereka terutama cara-cara temannya berpikir, temannya bertindak
dalam menyikapi atau merespon suatu sikap atau tindakan, temannya
berkata, kondisi temannya, cara temannya berpakaian, temannya
bersikap, karena pada dasarnya manusia hidup itu banyak meniru
(Akhmad Abdullah, 1975)
Seorang pendidik atau guru mempunyai peranan yang sangat
strategis dan besar dalam memberikan, menkondisikan, membuat
situasi pembelajaran menjadi berarti, John Dewey sebagaimana
dikutip Wasty Soemanto, ingin mengubah hambatan dalam demokrasi
pendidikan dengan jalan :
1. Memberi kesempatan pada murid/peserta didik untuk belajar
perorangan
2. memberi kesempatan murid untuk belajar melalui pengalaman
3. Memberi motivasi, dan bukan perintah. Ini berarti akan
memberikan tujuan yang dapat menjelaskan ke arah kegiatan
belajar yang merupakan kebutuhan pokok peserta didik
4. Mengikut sertakan murid di dalam setiap aspek kegiatan
belajar yang merupakan kebutuhan poko peserta didik
5. menyadarkan murid bahwa hidup itu dinamis. Oleh karena itu,
murid harus dihadapkan dengan dunia yang selalu berubah
________________________________________
Page 63
63
dengan kemerdekaan beraktifitas, dengan orientasi kehidupan
masa kini (Jalaluddin & Abdullah Idi, 2007: 93)
Dan apa yang berguna bagi manusia sebesar-besarnya apabila
manusia itu mendapat ahli pendidik yang baik dan bahaya akan
menimpanya, apabila manusia mendapat pendidik yang buruk,
sebagaimana difirmankan dalam al-Quran, bahwa manusia lahir dalam
keadaan fitrah, keluarga dan lingkunganlah yang akan membentuknya
menjadi manusia yang ingkar dan tidak berguna.
Koordinasi antar guru agar semua bekerja sama membina
moralitas siswa dalam setiap mata pelajaran masing-masing. Misalnya,
guru mata pelajaran sejarah menyisipkan pesan moral dengan memberi
tugas, "Carilah apa hikmah yang dapat diambil dalam kehidupan kita
sehari-hari tentang peristiwa Sumpah Pemuda 1928". Guru mata
pelajaran bahasa Inggris: "Buatlah kata-kata mutiara yang dapat
dipraktikkan dan merupakan nasehat kebaikan yang ditulis dalam
bentuk bahasa Inggris", dan tentunya semua mata pelajaran, bisa
diformat dalam bentuk–bentuk petuah dan nasehat akan kebaikan.
Dengan tetap mengutamakan mutu dari disiplin ilmu yang
disampaikan, hendaknya pesan-pesan moral diberikan dalam semua
mata pelajaran, tidak terlalu sering agar tidak jenuh, dan tidak terlalu
jarang agar tidak diabaikan. Maka dalam setiap even pendidikan,
lingkungan sekolah khususnya perangkat guru pentingnya
membiasakan dengan membentuk kebiasaan yang baik sebagaimana
diungkapkan bahwa dengan menabur gagasan, maka akan memetik
perbuatan, dengan menabur perbuatan akan memetik kebiasaan,
dengan memetik kebiasaan akan terbentuklah karakter atau sifat baik,
dan sentralnya adalah nasib (Ary Ginanjar, 2005: xliii)
Robert J. Havinghurst mengemukakan, bahwa peserta didik pada
masa usia 6-12 tahun harus melaksanakan tugas perkembangan,
sebagai berikut:
________________________________________
Page 64
64
1. Mempelajari kecakapan-kecakapan jasmaniah yang dibutuhkan
untuk permainan sehari-hari;
2. Membentuk sikap yang baik terhadap diri sendiri sebagai suatu
makhluk yang tumbuh;
3. Belajar bergaul dengan teman sebaya;
4. Mempelajari peranan sosial laki-laki atau perempuan;
5. Memperkembangkan kecakapan dasar dalam menulis; membaca
dan berhitung;
6. Memperkembangkan pengertian yang perlu unuk kehidupan
sehari-hari;
7. Memperkembangkan kata hati, kesusilaan dan ukuran-ukuran
nilai;
8. Memperkembangkan sikap terhadap lembaga dan kelompok
sosial (Khoiron Rosyadi, 2004: 194).
Untuk menguatkan dan meninggikan pendidikan moral,
terutama akhlaknya, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
yaitu :
1. Meluaskan lingkungan pikiran, artinya terus berusaha untuk
belajar dengan semangat;
2. Berkawan dengan orang-orang terpilih, bukan berarti menolak
berkawan dengan orang awam namun lebih membekali diri
dengan lingkungan yang berpikir baik dan bijak. Karena pada
dasarnya manusia hidup suka mencontoh;
3. Membaca dan menyelidiki perjuangan para pahlawan dan yang
berpikiran luar biasa;
4. Supaya manusia memaksakan dirinya melakukan perbuatan
baik bagi umum, berbuat baik adalah kewajiban manusia,
karena kualitas antara lain terletak pada perbuatan baiknya;
5. Apa yang telah disampaikan di dalam kebiasaan tentang
menekan jiwa melakukan perbuatan yang tidak ada maksud
kecuali menundukkan jiwa. Dan menderma dengan perbuatan-
________________________________________
Page 65
65
perbuatan setiap haridengan maksud membiasakan jiwa agar
taat, memelihara kekuatan penolaksehingga diterima ajakan
baik dan ditolak ajakan buruk (Ahmad Amin,1975: 63-66).
Bahwa pendidikan moral peserta didik pentingnya didasari
dengan kekuatan nilai yang dimulai dengan ketenangan hati nurani
yang suci maka keberhasilan pendidikan moral yang dibiasakan dan
dipaksakan pada awalnya akan menampakkan hasilnya.
Hasilnya adalah peserta didik yang bermoral yang mampu
mengaktualisasikan dirinya dengan perbuatan-perbuatan yang tidak
saja baik namun lehih kepada perbuatan-perbutan mulia, yang
dilakukan tidak karena ingin keuntungan, ingin di puji, ingin
dihormati namun perbuatan yang dilandasi dengan syariah namun
juga seringkali menggunakan akal pikirnya. Akal, syariah dan
dorongan hati yang suci akan terbentuk manusia digital, manusia baru
yang sesuai dengan tatanan transenden (manusia yang memiliki rukh).
Pendidikan Inklusif sebagai wadah dan model pelayanan yang
mampu membentuk serta mengembangkan moral peserta didik, karena
peserta didik dilatih sekaligus dihadapkan pada kehidupan yang nyata
(Learn to live together), mereka hidup tidak ada batasan antara yang
pandai dan yang kurang pandai, yang beruntung secara fisik maupun
yang kurang beruntung (anak berkebutuhan khusus), mereka yang
berasal dari keturunan kaya atau miskin, rumpun atau etnis, manusia
yang termarginalkan, dan lain sebagainya. Pendidikan inklusif adalah
pendidikan untuk semua (education for all), pendidikan masa depan
(education for future), dan pendidikan islami (Islamic education).
________________________________________
Page 66
66
BAB III
MORALITAS PESERTA DIDIK PENDIDIKAN
INKLUSIF
A. Pengertian dan konsep Pendidikan Inklusif.
Setiap gagasan yang muncul, selalu dilatarbelakangi adanya
sejarah kehidupan atau fenomena di dalam masyarakat, sebgaimana
halnya pendidikan inklusif yang memberikan pelayanan pada
semua, diawali dengan adanya manusia yang hanya dipandang
dengan sebelah mata, mereka hanya dipandang hanya dari segi fisik
yang nyata atau kasat mata, padahal pada dasarnya manusia itu
memiliki akal pikir, kemampuan, dan kondisi batin yang sulit untuk
didiskripsikan.
Manusia yang diabaikan, tidak diperhatikan, tidak dihargai
yang akhirnya memberi kekuatan untuk mengungkapkan tekanan
dan keadaan dirinya atau kelompoknya kepermukaan yang
selanjutnya baru mendapatkan perhatian umum, diawali tidak
dianggapnya orang-orang disability, yang sebetulnya mereka hanya
secara fisik tampak tidak mampu, namun secara non fisik atau
batiniah memiliki kekuatan yang luar biasa.
Disinilah seringkali manusia banyak kelirunya ketika
memandang sesuatu hanya dari segi lahiriah saja. Anggapan keliru
tersebut memunculkan penanganan dan pelayanan yang keliru pula.
Sebagaimana pemberian pelayanan yang seharusnya diberikan
kepada kelompok disabel, memunculkan berbagai model pelayanan
pendidikan.
Model yang telah diperkenalkan sejak abad XX yaitu model
mainstreaming, menurut Berry, mainstreaming menekankan tiga
unsur yang mempunyai ciri-ciri: suatu rangkaian jenis-jenis layanan
pendidikan bagi siswa-siswa yang memiliki hambatan, pengurangan
jumlah anak-anak yang ’ditarik keluar’ dari kelas-kelas reguler, dan
________________________________________
Page 67
67
penambahan ketetapan-ketetapan bagi layanan pendidikan di dalam
kelas-kelas reguler ketimbang diluar kelas-kelas tersebut (J.David
Smith,2006: 42).
Berry mengatakan bahwa embrio bagi kelahiran istilah
mainstreaming yang telah dikembangkan dimana-mana dengan
istilah least restrictive environment, pada artikel Dunn tahun 1968
berjudul ”Special Education for for the Mildly Retardet: is Much of
it Justifiable?” dalam artikel tersebut Dunn meminta para pendidik
khusus agar mempertimbangkan dengan seksama dengan adanya
hal-hal yang menunjukkan adanya kemajuan akademik yang lebih
besar pada anak-anak yang memiliki hambatan, yang ditempatkan
dikelas-kelas reguler daripada di kelas-kelas khusus.
Menurut Dunn (1968) tekanan untuk meneruskan dan
memperluas program (kelas-kelas khusus) menjadi hal yang tidak
diinginkan bagi kebanyakan anak-anak yang dipandang akan
memerlukannya (Ibid: 42). Dia juga menekankan labeling kepada
anak-anak untuk ditempatkan di kelas khusus membuat stigma yang
sangat destruktif bagi konsep diri mereka. Juga pemindahan anak
dari kelas reguler ke kelas khusus mungkin memberikan pengaruh
yang signifikan pada perasaan rendah diri dan problem penerimaan
diri ( Ibid). Keadaan ini berlaku pula pada situasi sekarang, bahkan
di Jawa Tengah dimana penempatan peserta didik pada sekolah luar
biasa (sekolah khusus) akan bisa menimbulkan traumatik bagi
peserta didik itu dan juga orang tua.
Dikatakan lebih lanjut oleh Lilly (1970), setelah publikasi
artikel ini muncul berbagai seruan untuk mengaktifkan pemikiran
Dunn pada kebijakan-kebijakan dan praktik-praktik pendidikan
suatu ”zero reject model” yang menganjurkan bahwa tidak seorang
anak pun dengan keterbelakangan mental ’ditolak’ dari kelas
reguler dan ditempatkan di kelas khusus (Ibid: 43)
________________________________________
Page 68
68
Berkenaan dengan promosi tersebut diatas, kebijakan yang
diambil oleh Council for Exception Children Policies Comission,
(1973) selanjutnya menetapkan bahwa semua siswa yang ”memiliki
hambatan” sebaiknya menghabiskan waktu secukupnya saja di luar
kelas reguler, hanya sebanyak yang diperlukan untuk mengontrol
variabel-variabel pengajaran mereka (Ibid: 43). Oleh Will (1986),
sekretaris dari badan tersebut membuat istilah dalam REI (Reguler
Education Initiative) menegaskan dengan menyatukan pendidikan
khusus dan reguler, satu ’tanggung jawab bersama’ akan tercipta
sehingga akan melayani anak-anak tanpa stigma label-label
diagnostik atau kelas-kelas yang terpisah (Ibid: 43)
Dijelaskan oleh Heller dan Schilit (1987), yang harus
diperhatikan bahwa sangat penting untuk diketahui kalau
pendidikan khusus tidak bisa mencari solusi-solusi institusional
bagi masalah-masalah individu tanpa mengubah situasi dan kondisi
dalam institusi tersebut. Menurut Mc Laughlian dan Warren (
1992), lembaga bisa diubah secara mendasar hanya sekolahlah yang
harus diubah secara mendasar”. Intinya pendidikan khusus bisa
diubah secara mendasar, hanya jika institusi sekolah umum diubah,
hal ini ditemukan berulang-ulang dalam literatur-literatur mengenai
perubahan pendidikan khusus yang telah ditulis dalam tahun
terakhir (Ibid : 44}.
Istilah inklusi yang dianggap istilah baru untuk
mendiskripsikan penyatuan bagi anak-anak berkelainan
(penyandang hambatan/cacat) ke dalam program-program sekolah
(dan juga diartikan sebagai menyatukan anak-anak berkelainan
(penyandang hambatan/cacat) dengan cara-cara yang realistis dan
komprehensif dalam kehidupan pendidikan yang menyeluruh( Ibid
:45).
Perhatian yang besar terhadap semua peserta didik tanpa
melihat perbedaan, utamanya kondisi fisik atau melihat hambatan
________________________________________
Page 69
69
faktual adalah suatu komitmen untuk melibatkan siswa-siswa atau
peserta didik yang memiliki hambatan dalam setiap tingkat
pendidikan mereka yang memungkinkan (Ibid: 46), hal ini sejalan
dengan ajaran Islam dalam Al-Quran, bahwa manusia pada
dasarnya sama, kecuali ketaqwaannya, sebagaimana tersurat dalam
surat al-Hujarat (49): 13 yang artinya ”Sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa
diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal.”
Dalam buku J. Smith menggunakan istilah optimal inclusion
sebagai filosofi yang dipilihnya dengan pengertian untuk
mendorong pendidik agar berusaha menemukan jenis dan tingkat
inklusi yang memuaskan tiap individu siswa/peserta didik. Tujuan
utamanya, secara faktual adalah membantu pembaca menjadi
pendidik profesional yang dapat melihat sebagai yang utama dan
pertama kali dalam setiap keadaan, sedangkan cara atau hambatan
yang dimilikinya itu hanyalah satu karakter dari individualitasnya
(Ibid). Pemikiran tersebut dilatar belakangi bila hambatan
dipandang sebagai sesuatu yang sekunder bagi semua individu
siswa, pikiran itu mungkin berubah sekaligus merefleksikan
keterbukaan dan penerimaan yang lebih besar bagi seseorang serta
optimisme yang lebih besar dalam memperlakukan para penyandang
hambatan dengan lebih santun. (Ibid: 46)
Pendidikan inklusif merupakan perkembangan pelayanan
pendidikan terkini dari model pendidikan bagi anak berkebutuhan
khusus, dimana prinsip mendasar dari pendidikan inklusif, selama
memungkinkan, semua anak atau peserta didik seyogyanya belajar
________________________________________
Page 70
70
bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang
mungkin ada pada mereka.” (pernyataan Salamanca,1994)
Inklusi itu masa depan, milik ras manusia, hak asasi manusia,
pengupayaan agar bisa hidup berdampingan satu sama lain,
bukanlah sesuatu hal yang harus dilakukan kepada seseorang atau
untuk seseorang, dilakukan bersama bagi satu sama lain, bukanlah
sesuatu yang kita lakukan sedikit saja ( Marsha Forest, 2005: 19).
Pendidikan inklusi mempunyai pengertian yang beragam.
Stainback dan Stainback (1990) mengemukakan bahwa sekolah
inklusi adalah sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang
sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak,
menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap
siswa, maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh
para guru agar anak-anak berhasil. Lebih dari itu, sekolah inklusi
juga merupakan tempat setiap anak dapat diterima, menjadi bagian
dari kelas tersebut, dan saling membantu dengan guru dan teman
sebayanya, maupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan
individualnya dapat terpenuhi.
Menurut Heller, Holtzman&Messick (1982), mengatakan
bahwa layanan ini merekomendasikan agar pendidikan khusus
secara segregatif hanya diberikan terbatas berdasarkan hasil
identifikasi yang tepat. Beberapa pakar bahkan mengemukakan
bahwa sangat sulit untuk melakukan identifikasi dan penempatan
anak berkelainan secara tepat, karena karakteristik mereka yang
sangat heterogen.
Beberapa peneliti kemudian melakukan metaanalisis (analisis
lanjut) atas hasil banyak penelitian sejenis. Hasil analisis yang
dilakukan oleh Carlberg dan Kavale (1980) terhadap 50 buah
penelitian, Wang dan Baker (1985/1986) terhadap 11 buah
penelitian, dan Baker (1994) terhadap 13 buah penelitian
menunjukkan bahwa pendidikan inklusif berdampak positif, baik
________________________________________
Page 71
71
terhadap perkembangan akademik maupun sosial anak berkelainan
dan teman sebayanya ( www.google.Pendidikan Inclusive).
Dalam J. Smith menggunakan istilah optimal inclusion sebagai
filosofi yang dipilihnya dengan pengertian untuk mendorong
pendidik agar berusaha menemukan jenis dan tingkat inklusi yang
memuaskan tiap individu siswa/peserta didik. Tujuan utamanya,
secara faktual adalah membantu pembaca menjadi pendidik
profesional yang dapat melihat sebagai yang utama dan pertama
kali dalam setiap keadaan, sedangkan cara atau hambatan yang
dimilikinya itu hanyalah satu karakter dari individualitasnya (Ibid).
Pemikiran tersebut dilatar belakangi bila hambatan dipandang
sebagai sesuatu yang sekunder bagi semua individu siswa, pikiran
itu mungkin berubah sekaligus merefleksikan keterbukaan dan
penerimaan yang lebih besar bagi seseorang serta optimisme yang
lebih besar dalam memperlakukan para penyandang hambatan
dengan lebih santun. (Ibid: 46)
Pelayanan pendidikan yang selama ini diberlakukan seakan
membentuk kotak-kotak pelayanan pendidikan, yang secara
psikhologis sangat merugikan peserta didik dalam bersosialisasi,
yang mustinya dalam peletakan dasar dalam pembelajaran ini harus
diberikan dengan suguhan-suguhan menyeluruh tentang kehidupan
nyata, bahwa disekeliling kehidupannya ada kehidupan yang
berbeda dari dirinya, namun kenyataan yang sering ditemukan
dalam dunia pendidikan hanyalah keterbatasan-keterbatan yang
tidak mampu memberikan sumbangan yang bermakna bagi
perkembangan peserta didik khususnya perkembangan moralnya
dalam menuju kedewasaannya, karena dalam masa pembelajaran,
peserta didik/remaja sekolah adalah masa untuk belajar menjadi
orang dewasa, bukan untuk menjadi remaja yang sukses (Elias,
Maurice J.et all, 2003: 33)
________________________________________
Page 72
72
Pengkotak-kotakan pemberian pelayanan pendidikan, yang
selama ini dipraktekkan dalam dunia pendidikan, utamanya praktek
pembatasan-pembatasan bagi peserta didik yang berkelainan (tuna
netra, tunadaksa, dll) menarik perhatian internasional dan nasional
sehingga menumbuhkan ide bagi lembaga-lembaga yang komitmen
terhadap dunia pendidikan dan hak asasi manusia.
Lembaga dunia maupun nasional yang komitment terhadap
pendidikan, khususnya pelayanan itu harus diberikan dalam bentuk
inklusif. lembaga-lembga tersebut menaruh perhatian lebih dan
konsisten memberikan landasan-landasan untuk penanganan,
perkembangan serta penggarapan bagi pendidikan inklusif sebagai
suatu pelayanan pendidikan masa depan (education for future),
lembaga Internasional dan Nasional tersebut antara lain adalah :
• Deklarasi Dunia tentang Pendidikan untuk Semua (PUS) pada
tahun 1990,
• Pernyataan Salamanca dan Kerangka Aksi mengenai
Pendidikan Berkebutuhan Khusus tahun 1994,
• Kerangka Dakar, Pendidikan Untuk Semua (PUS) tahun 2000,
• Deklarasi Bangkok tentang Pendidikan tahun 2004, para
Menteri dan para Pejabat Tinggi Kementerian dari 10 negara
Asia Tenggara, bertemu dalam forum kementerian tanggal 26
Mei di Bangkok, Thailand. Untuk mendiskusikan isu
”peningkatan akses terhadap, dan kualitas dari, pendidikan
melalui lingkungan belajar yang ramah anak”. Indonesia
diwakili oleh Bapak Indra Jati Sidi, Ph.D yang menjabat Dirjen
Dikdasmen.
• Rekomendasi Simposium Internasional tentang Inklusi dan
Penghapusan Hambantan untuk Belajar, Patisipasi dan
Perkembangan tahun 2005,
- Inklusi
- Sekolah ramah Anak
• Peraturan Standar tentang Persamaan Kesempatan bagi Para
Penyandang Cacat tahun 1993,
• Undang-Undang tentang Penyandang Cacat tahun 1997,
• Deklarasi Bandung dengan Tema Indonesia menuju Inklusi
tahun 2004,
• Konggres Internasional ke-8 tentang mengikutsertakan anak
penyandang kecacatan ke dalam masyarakat, menuju
________________________________________
Page 73
73
kewarganegaraan yang penuh pada tahuan 2004 (Kompendium,
2006).
Lembaga-lembaga nasional maupun internasional tersebut
memberikan kekuatan dan dukungan yang besar demi
terselenggaranya pendidikan inklusif bagi semua penyelenggara
inklusi untuk lebih inten dan konsisten dalam meningkatkan
pelayanan
pendidikan
untuk
semua
tanpa
melihat,
mempermasalahkan perbedaan yang ada dalam diri peserta didik,
utamanya bagi peserta didik berkelainan (secara fisik) dan peserta
didik berkebutuhan khusus (kognitif). Realitasnya secara inheren,
pelayanan bagi peserta didik berkebutuhan khusus yang memiliki
kelambanan belajar (slow learner) dan peserta didik yang memiliki
kecerdasan diatas rata-rata (cerdas istimewa), telah dilaksanakan
oleh sekolah-sekolah reguler pada umumnya.
Sumber http://www.pdfqueen.com/contoh-soal-tes-iq-sd
No comments:
Post a Comment