clicksor

Clicksor

bisnis paling gratis

Saturday, January 8, 2011

Contoh Landasan Teori Skripsi Prososial

Download Disini : http://www.ziddu.com/download/13303154/BAB2.docrev4.rtf.html

BAB 2
LANDASAN TEORI

Dalam suatu penulisan ilmiah yang berhubungan dengan suatu penelitian, perlu adanya pembahasan mengenai teori yang digunakan. Landasan teori mencakup semua hal yang berkaitan dengan variabel penelitian, yaitu semua yang berkaitan dengan variabel empati dan perilaku prososial, tentu saja semua hal yang dianggap relevan atau sesuai pada penelitian yang akan dilaksanakan. Selain itu, landasan teori juga memuat dimensi atau aspek pada variabel yang nantinya dijadikan dasar penyusunan instrumen penelitian. Maka dari itu, teori yang sesuai akan mempermudah dalam pelaksanaan penelitian dan dapat memberi gambaran mengenai batasan penelitian.
2.1 Prososial
2.1.1 Pengertian Prososial
Prososial selalu dihubungkan dengan perilaku atau tindakan, yaitu perilaku prososial. Prososial diartikan sebagai sosial positif.. Baron dan Byrne (2004: 356), menyatakan bahwa perilaku prososial dapat dimengerti sebagai perilaku yang menguntungkan penerima, tetapi tidak memiliki keuntungan yang jelas bagi pelakunya. William (dalam Dayakisni dan Hudaniah, 2003: 177), membatasi perilaku prososial secara lebih rinci sebagai perilaku yang memiliki intensi untuk mengubah keadaan fisik atau psikologis penerima bantuan dari kurang baik menjadi lebih baik, dalam arti secara material maupun psikologis.
Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa perilaku prososial bertujuan untuk membantu meningkatkan well being orang lain. Pengertian tersebut menekankan pada maksud dari perilaku untuk menciptakan kesejahteraan fisik maupun psikis. Lebih jauh lagi, Brigham (dalam Dayakisni dan Hudaniah, 2003: 177) menyatakan bahwa perilaku prososial mempunyai maksud untuk menolong kesejahteraan orang lain. jadi kedermawanan, persahabatan, kerjasama, menolong, menyelamatkan, dan pengorbanan merupakan bentuk-bentuk perilaku prososial. Dengan demikian perilaku prososial mempunyai maksud untuk menyokong kesejahteraan orang lain.
Perilaku prososial meliputi segala bentuk tindakan yang dilakukan atau direncanakan untuk menolong orang lain, tanpa memperdulikan motif-motif si penolong. Berdasarkan batasan-batasan tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa perilaku prososial adalah segala bentuk perilaku yang memberikan konsekuensi positif bagi si penerima, baik dalam bentuk materi, fisik ataupun psikologis yang memberi keuntungan pada orang lain atau dirinya sendiri.

2.1.2. Aspek-Aspek Prososial
Untuk melakukan pengukuran terhadap perilaku prososial dapat dilihat melalui aspek aspek perilaku prososial. Menurut Mussen (1989: 360) aspek-aspek perilaku prososial adalah sebagai berikut:
a. Berbagi, yaitu kesediaan untuk berbagi perasaan dengan orang lain dalam suasana suka maupun duka.
Hal ini dilakukan apabila penerima menunjukkan kesukaan sebelum ada tindakan melalui dukungan verbal dan fisik
b. Menolong, yaitu kesediaan memberikan bantuan kepada orang lain baik materiil maupun moril.
Menolong meliputi membantu orang lain, memberitahu, menawarkan bantuan pada orang lain, atau melakukan sesuatu yang menunjang berlangsungnya kegiatan orang lain.
c. Memberi, yaitu kesedian untuk berderma, membantu secara sukarela sebagian barang miliknya kepada orang yang membutuhkan.
d. Kerjasama, yaitu kesediaan untuk bekerjasama dengan orang lain demi tercapainya suatu tujuan.

Untuk melakukan pengukuran terhadap perilaku prososial dalam penelitian ini digunakan aspek aspek perilaku prososial tersebut karena aspek-aspek tersebut sesuai dengan perilaku prososial pada siswa kelas XI SMA N 1 Kutowinangun yang dijumpai pada fenomena yaitu mengenai perilaku prososial mereka yang menurun, padahal menurut Hoffman (dalam Goleman, 1997: 148) menyatakan bahwa pada akhir masa kanak-kanak, tingkat empati paling akhir muncul ketika anak-anak sudah sanggup memahami kesulitan yang ada dibalik situasi yang tampak dan menyadari bahwa situasi atau status seseorang dalam kehidupan dapat menjadi sumber beban stres kronis. Pada tahap ini, mereka dapat merasakan kesengsaraan suatu golongan, misalnya kaum miskin, kaum tertindas, mereka yang terkucil dari masyarakat. Pemahaman itu, dalam masa remaja dapat mendorong keyakinan moral yang berpusat pada kemauan untuk meringankan ketidakberuntungan dan ketidakadilan (Goleman, 1997: 1997).

2.1.3. Faktor Faktor yang Mempengaruhi Prososial
Campbell (dalam Sears, 1994: 50) menjelaskan bahwa faktor sosial dapat menentukan perilaku prososial individu. Adanya evolusi sosial, yaitu perkembangan sejarah dan kebudayaan atau peradaban manusia dapat menjelaskan perilaku prososial dasar, mulai dari pemeliharaan orang tua terhadap anaknya sampai menolong orang asing yang mengalami kesulitan. Menurutnya, secara bertahap dan selektif masyarakat manusia mengembangkan keterampilan, keyakinan, dan teknologi yang menunjang atau bermanfaat bagi kesejahteraan kelompok, maka perilaku prososial menjadi bagian dari aturan atau norma sosial. Norma yang penting bagi perilaku prososial adalah tanggung jawab sosial, norma timbal balik, dan kadilan sosial. Ketiga norma ini merupakan dasar budaya bagi perilaku prososial. Melalui proses sosialisasi, individu mempelajari aturan-aturan dan menampilkan perilaku sesuai dengan pedoman perilaku prososial. Proses belajar juga merupakan faktor yang menentukan perilaku prososial. Dalam masa perkembangan, anak mempelajari norma masyarakat tentang tindakan menolong. Di rumah, di sekolah, dan di dalam masyarakat, orang dewasa mengajarkan pada anak bahwa mereka harus menolong orang lain.Faktor-faktor spesifik yang mempengaruhi perilaku prososial yaitu, karakteristik situasi, karakterisrik penolong, dan karakteristik orang yang membutuhkan pertolongan (dalam Sears dkk, 1994: 61) :
1. Faktor Situasional, meliputi :
a. Kehadiran Orang Lain
Individu yang sendirian lebih cenderung memberikan reaksi jika terdapat situasi darurat ketimbang bila ada orang lain yang mengetahui situasi tersebut. Semakin banyak orang yang hadir, semakin kecil kemungkinan individu yang benar-benar memberikan pertolongan. Faktor ini sering disebut dengan efek penonton (bystander effect). Individu yang sendirian menyaksikan orang lain mengalami kesulitan, maka orang itu mempunyai tanggung jawab penuh untuk memberikan reaksi terhadap situasi tersebut.
b. Kondisi Lingkungan
Keadaan fisik lingkungan juga mempengaruhi kesediaan untuk membantu. Pengaruh kondisi lingkungan ini seperti cuaca, ukuran kota, dan derajat kebisingan.
c. Tekanan Waktu
Tekanan waktu menimbulkan dampak yang kuat terhadap pemberian bantuan. Individu yang tergesa-gesa karena waktu sering mengabaikan pertolongan yang ada di depannya.
2. Faktor penolong, meliputi :
a. Faktor Kepribadian
Adanya ciri kepribadian tertentu yang mendorong individu untuk memberikan pertolongan dalam beberapa jenis situasi dan tidak dalam situasi yang lain. Misalnya, individu yang mempunyai tingkat kebutuhan tinggi untuk diterima secara sosial, lebih cenderung memberikan sumbangan bagi kepentingan amal, tetapi hanya bila orang lain menyaksikannya. Individu tersebut dimotivasi oleh keinginan untuk memperoleh pujian dari orang lain sehingga berperilaku lebih prososial hanya bila tindakan itu diperhatikan.
b. Suasana Hati
Individu lebih terdorong untuk memberikan bantuan bila berada dalam suasana hati yang baik, dengan kata lain, suasana perasaan positif yang hangat meningkatkan kesediaan untuk melakukan perilaku prososial.
c. Rasa Bersalah
Keinginan untuk mengurangi rasa bersalah bisa menyebabkan individu menolong orang yang dirugikannya, atau berusaha menghilangkannya dengan melakukan tindakan yang baik.
d. Distres dan Rasa Empatik
Distres diri (personal distress) adalah reaksi pribadi individu terhadap penderitaan orang lain, seperti perasaan terkejut, takut, cemas, perihatin, tidak berdaya, atau perasaan apapun yang dialaminya. Sebaliknya, rasa empatik (empathic concern) adalah perasaan simpati dan perhatian terhadap orang lain, khususnya untuk berbagi pengalaman atau secara tidak langsung merasakan penderitaan orang lain. Distres diri terfokus pada diri sendiri yaitu memotivasi diri untuk
mengurangi kegelisahan diri sendiri dengan membantu orang yang membutuhkan, tetapi juga dapat melakukannya dengan menghindari situasi tersebut atau mengabaikan penderitaan di sekitarnya. Sebaliknya, rasa empatik terfokus pada si korban yaitu hanya dapat dikurangi dengan membantu orang yang berada dalam kesulitan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.
3. Orang yang membutuhkan pertolongan, meliputi :
a. Menolong orang yang disukai
Rasa suka awal individu terhadap orang lain dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti daya tarik fisik dan kesamaan. Karakteristik yang sama juga mempengaruhi pemberian bantuan pada orang yang mengalami kesulitan. Sedangkan individu yang memiliki daya tarik fisik mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk menerima bantuan.
Perilaku prososial juga dipengaruhi oleh jenis hubungan antara orang seperti yang terlihat dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, individu lebih suka menolong teman dekat daripada orang asing.
b. Menolong orang yang pantas ditolong
Individu membuat penilaian sejauh mana kelayakan kebutuhan yang diperlukan orang lain, apakah orang tersebut layak untuk diberi pertolongan atau tidak. Penilaian tersebut dengan cara menarik kesimpulan tentang sebab-sebab timbulnya kebutuhan orang tersebut. Individu lebih cenderung menolong orang lain bila yakin bahwa penyebab timbulnya masalah berada di luar kendali orang tersebut

2.2 Empati
2.2.1 Pengertian Empati
Wiggins (1994: 59) berpendapat bahwa empati merupakan kemampuan untuk merasakan persepsi orang lain, yaitu memandang dan merasakan sesuatu seperti cara orang lain memandang dan merasakan.
Gottman (1997: 70) menyatakan bahwa empati merupakan kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain, dapat memahami orang lain, dan berusaha untuk mendengarkan keluhan-keluhan orang lain. Lebih lanjut Shapiro (1998: 52) menyatakan bahwa empati adalah kemampuan seseorang untuk memandang sesuatu dari sudut pandang orang lain dan mampu menyesuaikan kepeduliannya dengan perilaku yang tepat.
Chaplin (1999: 65) menyatakan bahwa empati adalah memproyeksikan perasaan sendiri pada satu kejadian, satu objek alami atau karya estetis.
Stein dan Book (2002: 139) berpendapat bahwa empati merupakan kemampuan untuk menyadari, memahami, dan menghargai perasaan dan pikiran orang lain.
Soekidjo (2003: 77) berpendapat bahwa empati merupakan kemampuan untuk menempatkan diri pada kedudukan orang lain, yakni orang-orang yang diajak berkomunikasi.
Berdasarkan beberapa teori yang telah diuraikan oleh beberapa tokoh di atas, maka dapat disimpulkan bahwa empati adalah suatu kemampuan merasakan dan memahami perasaan seseorang serta dapat menempatkan diri pada kedudukan orang lain dengan memberikan respon emosional yang tepat.
Dengan berempati seseorang benar-benar merasakan dan menghayati sebagai orang lain termasuk bagaimana mengamati serta menghadapi masalah dan keadaannya (Gunarsa, 1992: 71). Adanya empati terhadap orang lain, membuat seseorang akan mampu memahami orang lain, sehingga empati dianggap sebagai sesuatu yang efektif dalam usaha mengenali, memahami, dan mengevaluasi orang lain.
2.2.2 Faktor-Faktor Empati
Goleman (1997) (dalam shohibmoe.wordpress.com) menyatakan ada 3 (tiga) karakteristik kemampuan empati yaitu :
1. Mampu menerima sudut pandang orang lain
Individu mampu membedakan antara apa yang dikatakan atau dilakukan orang lain dengan reaksi dan penilaian individu itu sendiri. Dengan perkembangan aspek kognitif seseorang, kemampuan untuk menerima sudut pandang orang lain dan pemahaman terhadap perasaan orang lain akan lebih lengkap dan akurat sehingga ia akan mampu memberikan perlakuan dengan cara yang tepat.
2. Memiliki kepekaan terhadap perasaan orang lain
Individu mampu mengidentifikasi perasaan-perasaan orang lain dan peka terhadap hadirnya emosi dalam diri orang lain melalui pesan non verbal yang ditampakkan, misalnya nada bicara, gerak-gerik dan ekspresi wajah. Kepekaan yang sering diasah akan dapat membangkitkan reaksi spontan terhadap kondisi orang lain, bukan sekedar pengakuan saja.
3. Mampu mendengarkan orang lain
Mendengarkan merupakan sebuah ketrampilan yang perlu dimiliki untuk mengasah kemampuan empati. Sikap mau mendengar memberikan pemahaman yang lebih baik terhadap perasaan orang lain dan mampu membangkitkan penerimaan terhadap perbedaan yang terjadi.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi empati, antara lain : 1. Sosialisasi
Dengan adanya sosialisasi memungkinkan seseorang dapat mengalami sejumlah emosi, mengarahkan seseorang untuk melihat keadaan orang lain dan berpikir tentang orang lain.
2. Perkembangan kognitif
Empati dapat berkembang seiring dengan perkembangan kognitif yang mengarah kepada kematangan kognitif, sehingga dapat melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain (berbeda)
3. Mood dan Feeling
Situasi perasaan seseorang ketika berinteraksi dengan lingkungannya akan mempengaruhi cara seseorang dalam memberikan respon terhadap perasaan dan perilaku orang lain.
4. Situasi dan tempat
Situasi dan tempat tertentu dapat memberikan pengaruh terhadap proses empati seseorang. Pada situasi tertentu seseorang dapat berempati lebih baik dibanding situasi yang lain.
5. Komunikasi
Pengungkapan empati dipengaruhi oleh komunikasi (bahasa) yang digunakan seseorang. Perbedaan bahasa dan ketidakpahaman tentang komunikasi yang terjadi akan menjadi hambatan dalam proses empati.

2.2.3 Aspek-Aspek Empati
Erwin (1995: 31) menyebutkan aspek-aspek empati sebagai berikut :
- Kemampuan membedakan dan memberikan label terhadap perasaan atau emosi orang lain. Merupakan kemampuan seseorang untuk mengetahui sejauh mana perasaan atau emosi yang dialami orang lain itu melalui pemberian label dan membedakannya.
- Kemampuan mengasumsikan perspektif orang lain, merupakan kemampuan seseorang untuk dapat mengetahui bahwa perasaan atau atau emosi yang dialami orang lain itu menyenangkan atau tidak menyenangkan.
- Kapasitas dan kemampuan memberikan respon emosional, merupakan keemampuan seseorang untuk mengetahui perasaan atau emosi yang dialami orang lain baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan yang diungkap melalui pemahaman perasaannya.

Shapiro (1998: 52) menyebutkan aspek-aspek empati sebagai berikut :
a. Pemahaman terhadap orang lain.
Pemahaman terhadap orang lain adalah kemampuan kognitif yang dimiliki oleh individu, dimana mereka dapat mengenalitanda-tanda emosi, seperti menangis, tertawa, muka yang berseri-seri, wajah yang cemberut, dsb, sehingga mereka mampu menyesuaikan kepeduliannya dengan sikap yang benar terhadap setiap tanda-tanda emosi yang ditunjukkan orang lain, dengan memiliki sikap pemahaman terhadap orang lain, maka individu tersebut diharapkan memiliki empati yang tinggi.
b. Tanggung jawab sosial
Tanggung jawab sosial suatu kondisi pada diri individu karena mendapat tuntutan dari lingkungan, seperti peraturan yang harus ditaati, kewajiban yang harus dilaksanakan, serta perintah-perintah yang harus dilakukan, dan jika terjadi apa-apa pada individu yang bersangkutan bisa disalahkan. Individu yang dilatih tanggungjawab sejak kecil akan menjadi orang yang mampu memiliki empati yang tinggi, karena tanggungjawab dipicu oleh kepekaan terhadap penderitaan terhadap orang lain, suatu kesadaran bahwa kebutuhan dan hasrat seseorang dibatasi oleh kebutuhan dan hasrat orang lain.



Sedangkan menurut Stein dan Book (2002: 143) aspek-aspek empati adalah sebagai berikut:
a. Menahan emosi, yaitu kemampuan untuk mengendalikan diri supaya tidak segera bereaksi sebelum tahu dengan pasti apa yang sebenarnya sedang terjadi.
b. Menggali dan memberikan perhatian atas informasi yang diberikan orang lain, yaitu kemampuan individu untuk tidak segera mengambil kesimpulan atas peristiwa yang sedang dialami oleh orang lain berdasarkan praduganya, melainkan individu mengumpulkan informasi-informasi baru seputar diri orang lain tersebut,seperti pikiran, perasaan, keinginan dan harapannya, sehingga tanggapan individu terhadap orang lain tersebut menjadi lebih tepat.
c. Memusatkan perhatian pada sudut pandang orang lain, yaitu kemampuan individu dalam merasakan kebutuhan, aspirasi, keluhan, kebahagian, kecemasan, dan sakit hati yang dirasakan oleh orang lain.
Berdasarkan batasan-batasan di atas di ambil kesimpulan bahwa aspek-aspek empati yaitu memusatkan perhatian pada sudut pandang orang lain, pemahaman terhadap orang lain, dan kemampuan memberikan respon emosional secara tepat.


2.3. Hubungan antara Empati dengan Perilaku Prososial pada Siswa Kelas XI SMA N 1 Kutowinangun.
Dalam kehidupan ini banyak peristiwa yang lepas dari pandangan manusia, yang sejatinya dapat memberikan banyak pelajaran bagi perjalanan hidup manusia itu sendiri. Peristiwa yang mengharukan maupun membahagiakan tetap memiliki arti dalam kehidupan setiap manusia. Kemampuan manusia untuk memahami dan mengalami suatu perasaan positif dan negatif akan membantu manusia memahami makna kehidupan yang sebenarnya.
Empati adalah suatu kemampuan merasakan dan memahami perasaan seseorang serta dapat menempatkan diri pada kedudukan orang lain dengan memberikan respon emosional yang tepat. Dengan berempati seseorang benar-benar merasakan dan menghayati sebagai orang lain termasuk bagaimana mengamati serta menghadapi masalah dan keadaannya (Gunarsa, 1992: 71). Adanya empati terhadap orang lain, membuat seseorang akan mampu memahami orang lain, sehingga empati dianggap sebagai sesuatu yang efektif dalam usaha mengenali, memahami, dan mengevaluasi orang lain.
Gottman (1997: 70) menyatakan bahwa empati merupakan kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain, dapat memahami orang lain, dan berusaha untuk mendengarkan keluhan-keluhan orang lain Kemampuan merasakan perasaan ini membuat seorang yang empati seolah mengalami peristiwa yang sedang dialami oleh orang lain.
Lebih lanjut Shapiro (1998: 52) menyatakan bahwa empati adalah kemampuan seseorang untuk memandang sesuatu dari sudut pandang orang lain dan mampu menyesuaikan kepeduliannya dengan perilaku yang tepat. Dengan adanya empati membuat seseorang akan mampu memberikan respon yang tepat terhadap masalah yang sedang dialami orang lain, dengan memberi respon yang tepat itu nantinya akan diwujudkan dalam bentuk yang faktual yaitu berupa tindakan menolong / perilaku prososial.
Kemampuan berempati akan mampu menjadi kunci dalam keberhasilan bergaul dan bersosialisasi di masyarakat. Seseorang dapat diterima oleh orang lain jika ia mampu memahami kondisi (perasaan) orang lain dan memberikan perlakuan yang semestinya sesuai dengan harapan orang tersebut. Kemampuan empati perlu diasah setiap orang agar dirinya dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya.
Stein dan Book (2002: 139) berpendapat bahwa empati merupakan kemampuan untuk menyadari, memahami, dan menghargai perasaan dan pikiran orang lain. Lebih lanjut Soekidjo (2003: 77) berpendapat bahwa empati merupakan kemampuan untuk menempatkan diri pada kedudukan orang lain, yakni orang-orang yang diajak berkomunikasi. Tanpa kemampuan ini orang dapat menjadi terasing, salah menafsirkan perasaan sehingga mati rasa yang berakibat rusaknya suatu hubungan. Salah satu bentuk kurangnya empati adalah ketika seseorang cenderung menyamakan orang lain dengan dirinya sendiri, bukan memandangnya sebagai seorang individu yang unik.
Empati akan membantu seseorang memisahkan antara masalah dengan orangnya. Kemampuan empati akan mendorong kita mampu melihat permasalahan dengan lebih jernih dan menempatkan objektifitas dalam memecahkan masalah. Banyak alternatif yang memungkinkan dapat diambil manakala kita dapat berempati dengan orang lain dalam menghadapi masalah. Tanpa adanya empati sulit rasanya kita tahu apa yang sedang dihadapi seseorang karena kita tidak dapat memasuki perasaannya dan memahami kondisi yang sedang dialami.
Perilaku prososial erat kaitannya dengan empati, empati dianggap sebagai salah satu cara yang paling efektif dalam usaha memahami, mengenali, dan mengevaluasi orang lain. Empati merupakan syarat dasar dari terbentuknya perilaku prososial (Baron dan Byrne, 2005: 111). Lebih lanjut Stefan, dkk. (2004: 532) menegaskan bahwa empati adalah prediktor kuat bagi individu untuk memberikan pertolongan kepada orang lain.
Empati memerlukan kerjasama antara kemampuan menerima dan memahami secara kognitif dan afektif. Komponen kognitif melibatkan pemahaman terhadap perasaan orang lain, baik melalui tanda-tanda maupun melalui pengambilan perspektif yang kompleks (Sari, 2003: 5).
Dalam konteks perilaku prososial, penolong memahami bahwa orang yang ada di sekitarnya sedang dalam kesulitan. Selanjutnya di samping kemampuan kognitif, empati juga melibatkan kemampuan afektif, yaitu respon emosional yang sesuai, sehingga apabila penolong memahami bahwa ada orang yang sedang dalam kesulitan, penolong akan mampu merasakan betapa orang tersebut sangat membutuhkan pertolongan. Selanjutnya empati membutuhkan peengambilan keputusan untuk bertindak dengan perspektif afektif, sehingga pemahaman dan perasaan tersebut di atas dapat diwujudkan dalam bentuk perilaku.
Erwin (1995: 31) menyebutkan salah satu dari aspek empati adalah kapasitas dan kemampuan memberikan respon emosional secara tepat, dengan adanya kemampuan memberi respon secara tepat akan mendorong seseorang untuk menolong atau membantu penderitaan orang lain. Empati pada seseorang dapat menumbuhkan keinginan untuk menolong, sehingga dirinya akan memiliki kesediaan untuk memberi bantuan secara sukarela baik bantuan berupa materiil maupun moril kepada orang yang membutuhkannya.
Shapiro (1998: 52) menyebut aspek empati yaitu pemahaman terhadap orang lain, dan tanggung jawab sosial. Seseorang yang memiliki empati dapat memahami apa yang dipikirkan dan dirasakan orang lain yaitu dirinya dapat mengenali tanda-tanda emosi seperti kesedihan / kesenangan yang dirasakan oleh orang lain, sehingga dirinya memiliki kesediaan untuk berbagi perasaan dan secara sukarela memberikan bantuan, sesuai dengan apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh orang yang membutuhkan bantuan tersebut.
Aspek tangggung jawab sosial membuat seseorang memiliki kesediaan untuk membantu orang lain yang membutuhkan dan memiliki kesediaan untuk berbagi perasaan secara sukarela seperti memberikan pertolongan tanpa disertai motif-motif tertentu.berbeda dengan orang yang tingkat empatinya rendah, dalam berinteraksi dengan orang lain dirinya tidak dapat memahami apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh orang lain, sehingga ketika orang lain mengalami masalah maka dirinya tidak tergerak hatinya untuk bersedia menolong untuk memecahkan masalahnya.
Pada siswa yang tingkat empatinya rendah, siswa tersebut kurang memiliki tanggung jawab sosial sehingga tidak memiliki kepekaan terhadap lingkungan dan penderitaan orang lain di sekitarnya. Kurangnya tanggung jawab sosial tersebut membuat siswa kurang memiliki kesediaan untuk membantu orang lain.
Berikut akan dijelaskan alur pikir penelitian tentang empati dan perilaku prososial, serta hal-hal apa saja yang terkait di dalamnya melalui bagan di bawah ini:




Gambar 2.1
Bagan Alur Pikir Penelitian Antara Empati dengan Prososial



Berdasarkan gambar tersebut, dapat dijelaskan bahwa empati individu terhadap orang lain didahului oleh adanya komponen kemampuan kognitif dan komponen kemampuan afektif. Empati memerlukan kerjasama antara kemampuan menerima dan memahami secara kognitif dan afektif. Komponen kognitif melibatkan pemahaman terhadap perasaan orang lain, baik melalui tanda-tanda maupun melalui pengambilan perspektif yang kompleks (Sari, 2003: 5).
Dalam konteks perilaku prososial, penolong memahami bahwa orang yang ada di sekitarnya sedang dalam situasi kesulitan. Selanjutnya di samping kemampuan kognitif, empati juga melibatkan kemampuan afektif, yaitu respon emosional yang sesuai, sehingga apabila penolong memahami bahwa ada orang yang sedang dalam kesulitan, penolong akan mampu merasakan betapa orang tersebut sangat membutuhkan pertolongan. Selanjutnya empati membutuhkan peengambilan keputusan untuk bertindak dengan perspektif afektif, sehingga pemahaman dan perasaan tersebut di atas dapat diwujudkan dalam bentuk perilaku yang berupa pemberian bantuan.

2.4. Hipotesis
Hipotesis yang dikemukakan adalah. “Ada pengaruh empati terhadap perilaku prososial siswa kelas XI SMAN 1 Kutowinangun, Kabupaten Kebumen tahun 2010”. Jika empati yang dimiliki siswa tinggi, maka perilaku prososialnya juga tinggi, dan sebaliknya jika empatinya rendah, maka perilaku prososialnya juga rendah.

2 comments:

  1. assalamualaikum,,
    saya reni,,,
    saya membaca blog anda kebetulan isi blog anda sesuai dengan penelitian yang akan saya angkat...
    klo boleh bisakah saya meminta penelitian di atas sebagai referensi tambahan bagi penelitian saya???

    ReplyDelete
  2. boleh nanya dong, daftar pusakanya apa aja ya?

    ReplyDelete