clicksor

Clicksor

bisnis paling gratis

Saturday, January 8, 2011

Makna di balik tumpeng

Download Disini : http://www.ziddu.com/download/13303458/Maknadibaliktumpeng.doc.html

Tumpeng adalah sejenis sajian olahan nasi yang dibuat dengan bentuk kerucut menyerupai kemuncak gunung (top of mountain), umumnya dibuat dalam dua jenis: nasi kuning dan nasi putih. Biasanya tumpeng dibuat ketika acara selamatan , seperti memperingati kelahiran anak, peresmian rumah dan gedung yang baru selesai dibangun, lulus sekolah, hingga naik jabatan.
Mengaitkan tumpeng dengan tradisi selamatan ini sangat identik dengan budaya khas suku bangsa di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa (Jawa, Sunda, dan Madura) dan Bali yang memandang tumpeng sebagai simbolisasi bersifat sakral. Meskipun begitu, banyak yang tidak memahami makna tumpeng, utamanya saja jika dilihat dari segi bentuknya. Karena yang lebih ditekankan adalah tradisi selamatannya. Hanya Bali yang masih terasa pengaruh Hindu yang dominan; sedangkan Pulau Jawa lebih menunjukkan keunikan, karena meski adanya pengaruh Islam , namun yang terjadi adalah akulturasi antara unsur Hindu-Islam-dan budaya lokal (syncretism). Maka tidak mengherankan jika pengaruh Hindu tersebut masih terjaga, bahkan hingga masa-masa kemudian telah menyatu sebagai bagian dari tradisi lokal di kalangan pemeluk keagamaan apapun di Indonesia. Selain itu, bukan hanya di lingkungan masyarakat pribumi; pada masa kolonial orang-orang Belanda dan keturunan (Indo) juga bahkan kerap melakukan tradisi selamatan dengan menyajikan tumpeng dan nasi kuning ketika sedang memperingati ulang tahun anak-anaknya, peresmian rumah yang baru dibangun, dan perpisahan seorang pejabat pemerintah yang dipindah tugas ke daerah lain.
Sebagaimana saya singgung di atas, dalam tradisi tumpeng dan juga selamatan itu sendiri terdapat unsur pengaruh Hindu yang kuat. Selain disertai dengan ritual berdoa untuk keselamatan bersama, tradisi tumpeng juga bisa dilihat dari simbolisasi tumpeng dengan bentuk kerucutnya (trapezium) yang mengingatkan pada bentuk miniatur gunung. Dan gunung sendiri bagi penganut Hindu diberi istilah méru, representasi dari sistem kosmos (alam raya). Pada masa kerajaan Hindu-Budha berkuasa di Indonesia, konsep méru ini dapat dilihat dari penempatan keraton (tempat tinggal raja) yang terletak di sekitar rangkaian pegunungan. Misalnya, Keraton Suradipati Kerajaan Sunda di Pakuan Pajajaran (berakhir eksistensinya pada tahun 1579 AD karena invasi kerajaan Islam Banten) terletak di sekitar tiga rangkaian pegunungan, yaitu Gunung Salak, Pangrango, dan Gedé (di wilayah Bogor sekarang).
Jika dikaitkan dengan bagian kemuncak tumpeng, maka hal itu melambangkan Tuhan sebagai penguasa kosmos; adapun aneka sayur dan lauk-pauk yang ditata di bagian bawah tumpeng melambangkan kehidupan (tumbuhan, hewan, dan manusia). Dalam kepercayaan Hindu-Jawa, alam terdiri dari alam tumbuh-tumbuhan, alam binatang, dan alam manusia. Di sini, alam tumbuh-tumbuhan diwujudkan melalui bahan-bahan, misalnya kacang panjang, urap , dan sayur kangkung; Alam fauna diwujudkan melalui daging hewan seperti ayam, kambing, sapi, dan babi ; adapun alam manusia diwujudkan dalam bentuk nasi tumpeng itu sendiri.
Maka jika memaknai bentuk tumpeng, terkandung harapan bagi yang mengadakan sebuah seremoni, yaitu kehidupan bisa semakin baik, menanjak naik dan tinggi seperti halnya bentuk kemuncak tumpeng itu sendiri. Misalnya bayi yang baru lahir diharapkan menjadi anak yang pintar dan sukses di masa depan; atau seseorang yang meninggal dapat menikmati kehidupan yang lebih baik di alam kematian. Filosofinya sederhananya saja: bentuk kerucut melambangkan gunungan (méru) sebagai sifat awal dan akhir, simbolisasi dari sifat alam dan manusia yang berawal dari Tuhan dan akan kembali lagi (berakhir) pada Tuhan.
Tumpeng dalam jenis dan Fungsi Seremonialnya
Menurut jenisnya, tumpeng dibagi dua, tumpeng nasi kuning dan tumpeng nasi putih. Kedua jenis tumpeng ini biasanya disajikan dalam perayaan kelahiran bayi, ulang tahun, syukuran, khitanan, perkawinan, atau upacara tolak bala. Yang membedakan, tumpeng nasi putih biasa disajikan dengan ayam ingkung (berbumbu aréh ), bacem tempe, dan ikan asin. Selain itu, jenis tumpeng dibedakan juga menurut fungsinya, antara lain:
a. Tumpeng Nasi Putih dan Nasi Kuning
Tumpeng memiliki dua jenis warna, yaitu putih dan kuning. Kedua warna tersebut sarat akan makna. Tumpeng berwarna putih artinya melambangkan kesucian; sedangkan yang berwarna kuning melambangkan rezeki yang melimpah (kekayaan) dan masa depan penuh harapan baik. Tumpeng nasi kuning biasanya dibuat pada acara kelahiran, ulang tahun, khitanan, pertunangan, syukuran dan upacara tolak bala (tolak wabah penyakit).
Keduanya sama berbentuk kerucut, namun dari segi kelengkapan ingredient-nya, memiliki perbedaan. Komposisi bahan tumpeng putih adalah ayam panggang bumbu aréh (ingkung), ikan asin, urap, telur pindang , bacem tahu dan tempe, sayur kluwih serta dendeng ragi. Sedangkan lauk pauk pada tumpeng kuning adalah tempe kering, kentang dan teri, sambal goreng hati, dendeng ragi, ayam goreng, perkedel, udang, dan telur dadar. Tiap komposisi bahan memiliki arti tersendiri. Misalnya ikan asin (teri) goreng melambangkan kegotongroyongan atau kebersamaan; Telur pindang berarti kebulatan tekad; dan sayur-sayuran melambangkan ketenteraman dan rezeki yang melimpah.
b. Tumpeng Nasi Putih
Adapun yang membedakan kedua jenis tumpeng ini biasanya dapat dilihat dari tumpeng putih yang tidak memakai ayam goreng, tetapi ayam panggang bumbu aréh selain bacem tahu dan tempe. Sedangkan tumpeng nasi kuning –sebenarnya- komposisi bahannya tidak jauh berbeda, namun biasanya ditambahkan perkedel, tempe dan kentang kering, abon, irisan ketimun, dan irisan telur dadar.
c. Tumpeng Robyong
Dalam adat Jawa tumpeng robyong dibuat saat upacara siraman pada acara perkawinan. Ciri dari tumpeng ini diletakkan dalam bakul dengan berbagai macam sayuran. Kemuncaknya diberi telur ayam, bawang merah, terasi, dan cabai (lihat gambaran tumpeng robyong di samping kiri). Di dalam bakul, selain nasi terdapat juga urap, ikan asin, dan telur ayam rebus.
d. Tumpeng Nujuh Bulan
Dibuat ketika acara memperingati kehamilan pada usia tujuh bulan. Di atas permukaan alas yang dialasi daun pisang, tumpeng nasi putih diletakkan di tengah dan dikelilingi oleh tujuh tumpeng berukuran kecil, yang dihiasi telur rebus, sayur-mayur dan lauk pauk.
e. Tumpeng Pungkur
Jenis tumpeng yang dibuat ketika ada kematian. Cirinya tumpeng dibelah dua, diletakkan saling membelakangi, dan ditaruh di alas (tampah), kemudian tumpeng dibawa ke pemakaman. Kenapa tumpeng ini diberi nama “pungkur” karena setelah dipotong vertikal lalu diletakkan saling membelakangi. Tumpeng ini pun dibuatnya sangat sederhana, yaitu hanya nasi putih yang dihias oleh sayuran di sekeliling tumpeng.
f. Tumpeng Nasi Uduk
Tumpeng jenis ini biasanya digunakan saat peringatan Maulid (kelahiran) Nabi Muhammad dan disebut juga dengan istilah tumpeng tasyakuran. Dibuat dalam komposisi bahan ayam ingkung bumbu aréh, lalapan, rambak goreng, dan kedele hitam goreng.
Sebenarnya, selain lima jenis tumpeng di atas, masih ada lagi beberapa jenis tumpeng lainnya. Dan mungkin sekali juga banyak jenis tumpeng yang muncul dari proses modifikasi, karena tumpeng sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya ketika memperingati momen dan peristiwa penting. Dengan demikian makna filosofis dari tumpeng sendiri terkadang sudah tidak tampak lagi seiring dijadikannya tumpeng sebagai bagian gaya hidup. Misalnya modifikasi tumpeng dapat dilihat dari diadakannya kursus-kursus pembuatan tumpeng yang menunjukkan kreasi dan variasinya, salah satunya pemilihan komposisi bahan lauk pauk dan sayuran yang disesuaikan dengan selera si pembuat tumpeng.
Referensi:
Ganie, Suryatini N. 2003. Upaboga di Indonesia: Ensiklopedia Pangan & Kumpulan Resep. Jakarta: Gaya Favorit.
Herayati, Yetti et.al. 1984-1985. Makanan: Wujud, Variasi dan Fungsinya serta Cara Penyajiannya pada Orang Sunda di Jawa Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Heine Geldern, R., “Conceptions of State and Kingship in Southeast Asia,” The Far Eastern Quarterly, Vol. 2, November 1942.
Moertjipto. 1993/1994. Makanan: Wujud, Variasi dan Fungsinya serta Cara Penyajiannya pada Orang Jawa Daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Rahman, Fadly. 2006. Menelusuri Kebiasaan Makan Daging Babi di Bali (tidak dipublikasikan)
Referensi tentang kehidupan sehari-hari Orang Belanda dan Indo di Hindia Belanda yang sepintas saya singgung dalam tulisan ini:
Muharyo. 1992. “Mereka Rindu Nederlands Indie”, Femina, No. 33/XX, 20-26 Agustus.
Pattynama, Pamela. “Keluarga Indis; Kehidupan Sehari-Hari pada Masa Sebelum Perang di Batavia” dalam Joost Cote & Loes Westerbeek (ed.). 2005. Recalling Indies: Kebudayaan Kolonial dan Identitas Poskolonial. Jakarta: Syarikat.
Stok-van Es, Ena. 1992. De Stille Roep van Insulinde. Holland: Zuid-Hollandsche Uitgevermaatschappij.

No comments:

Post a Comment